PELAKITA.ID – Ada empat dimensi yang dipaparkan dan dielaborasi pada kegiatan Sosialisasi Program Prioritas Ditjen Perikanan Tangkap 2020 (13 sampai 15 Juli 2020). Keempatnya adalah perencanaan pembangunan perikanan tangkap 2021, pengelolaan dan pengembangan pelabuhan perikanan, pengelolaan perizinan dan kenelayanan serta pengelolaan sumber daya ikan.
Pada hari ketiga, Selasa 15 Juli 2020, ada sekurangnya tiga isu menarik yang bagikan sekaligus klarifikasi berkaitan capaian pengelolaan perizinan dan kenelayanan.
Koordinasi perizinan kapal
Menurut Dodiet Rachmadi, S.Pi, Kepala seksi pemantauan perizinan dari Direktorat Perizinan dan Kenelayanan, saat ini sudah ada MoU dengan Kementerian Perhubungan terkait pertukaran data dan informasi perizinan kapal.
“Sudah ada, tinggal dilaksanakan. Tinggal bagaimana penarikan dan pertukaran, kita coba intergrasikan. Kita insisasi, nanti akan sosialisasi ke daerah-deerah, tipikal seperti apa, apa saja yang dibutuhkan,” katanya saat menjawab pertanyaan peserta dari beberapa daerah pada pertemuan virtual di atas.
Menurutnya, ini berkaitan dengan sistem data base nasional.
“Kapal di bawah 1 GT atau di bawah 10 GT, minimal ada namanya TDKP Tanda Dafar Kapal Ikan, dulu BPKP, hanya sekali akan diintegrasikan dengan data-data nelayan.
“Nanti di kami ada data kapalnya, nama kapal, dan kemudian, ukuran, nyambungnya hanya di NIK, ini terkait Dukcapil, ke data nelayan Kusuka, yang nyampung di NIK,” imbuhnya.
Menurut Dodiet, sangat penting dilakukan pencatatan kapal untuk seluruh ukuran, d bawah 1 GT sampai 10 GT bahkan lebih.
Pengelolaan WPP antar provinsi
Hal lain yang dipaparkan adalah izin operasi di WPP berdampingan. Menurut Dodiet, Sesuai Permen 30, boleh diberikan WPP berdampingan.
“Tapi kalau masuk ke dalam wilayahnya kewenangan daerah, perlu dibahas apakah WPP berdampak atau masuk ke dalam provinsi lain atau tidak.
“Di Pusat, WPP 572 dan 573, dari Sumatera hingga ujung timur, NTB selalu kalau mereka minta dua, berdampingan itu bisa,” kata Dodiet.
Menurutnya, secara aturan diperbolahkan. “Tetapi perlu dipertimbangkan kewenangan daerah. Jadi misalnya, dari NTB batas sampai mana. Kalau memang bersebelahan Bali atau NTT harus ada kerjasamanya, itu namanya andon,” paparnya.
Dia juga menyebut bahwa bisa saja akses atau akun user diberikan ke kabupaten-kota jika ingin mengetahui situasi atau perkembangan dimaksud. “Terkat PPKP, kita bisa berikan askes untuk user, tapi perlu dikoordinasikan ke provinsi,” lanjut Dodiet.
Perlindungan nelayan (asuransi dan kampung nelayan)
Poin ketiga yang dibahas di hari ketiga ini adalah upaya perlindungan nelayan dan pembangunan kampung nelayan dan pelibatan BUMN. Tanggapan datang dari Saumlaki, Bima dan Pekalongan dan dijawab oleh oleh Mahrus, Kasi Kelembagaan.
Terkait BUMN, Mahrus menyebut bahwa ada 12 ribu desa pesisir dan sudah ada kesepakatan bersama dengan DJPT dengan beberapa BUMN dengan BUMN Perbankan.
“Ada BRI, ada Mandiri, dan sekarang berproses BNI. Ini ada ruang lingkup perjanjian kerjasama melingkupi pemberdayaan nelayan, dengan BUMN, dengan Jasindo,” sebutnya.
“Kita melakukan kerjasama di stu dan terbuka, usulan ini kami fasilitasi Kampung Nelayan di kabupaten kota, jika ada BUMN nasional atau sswasta di situ yang akan menggulirkan CSR, kami akan bantu fasilitasi ke nelayan,” tanggap Mahrus.
Hal lain yang disampaikan adakah kerjasama KKP dan Kementerian PUPR. “Untuk Kampung Nelayan kalau skala besar dikordinasikan dengan PUPR, ada juga direktorat yang secara khusus, kawasan kampung nelayan secara fisik,” katanya.
“Beberapa kali dikooridinaskan meski tak banyak, piliahan sepert pada 11 perbaikan Kampung Nelayan. Misalnya, di Pontianak, Tegal,” imbuhnya. Menurut Mahrus, anggaran fisik untuk pembangunan fisik kampung nelayan di KKP hingga 2020 belum ada.
Kontributor: Jawadin