PELAKITA.ID – Dr. Atit Kanti, S.Si M.Sc, Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI memberi gambaran tentang dampak keberadaan manusia, tentang pertambahan penduduk dan lahan yang semakin sempit yang berdampak pada kelestarian spesies-spesies di Indonesia.
Saat menjadi pembicara pada seminar daring Konservasi Ikan Terancam Punah Di Indonesia yang digelar oleh Direktorat Pengelolaan Ruang Laut, Sub-direktorat Konservasi dan Keanekaragama Hayati bersama WCS Indonesia Program, Dr Atit mengingatkan adanya ancaman pada beberapa wilayah.
Acara tersebut juga menghadirkan narasumber dari KKP yaitu, Ir. Andi Rusandi, M.Si yang merupakan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, KKP, lalu Dr. Noviar Andayani, Country Director WCS Indonesia Program serta Gayatri Reksodihardjo-Lilley, M.Sc, Direktur Pelaksana Yayasan LINI.
Sebagai Keynote Speech adalah Dr. Ir. Aryo Hanggono, DEA, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP dan dimoderatori oleh Riyanni Djangkaru, Presenter dan Co-founder PT Divemag Indonesia.
Menurut Dr Atit, demi pangan, demi memenuhi kebutuhan penduduk yang bertambah dari tahun ke tahun, laut diekspolitasi secara besar-besaran. Ada indikasi persentase perubahan bentang alam dan kepunahan sumber daya perairan.
“Negara kita negara kelautan, ada kerusakan di Papua, ada pembalakan liar di Sumatera, lahan yang semakin terbatas di Jawa karena penduduk. Ini berdampak pada individu-individu (spesies),” katanya.
Menurutnya, pihaknya diberi kewenangan untuk aspek saintifik, mengidentifikasi adanya jenis-jenis baru, di darat dan di laut termasuk yang langka (endangered).
Dia menyebut bahwa wilayah-wilayah seperti Papua Barat, Banten, Sulawesi sama dengan PNG atau India yang mempunyai kekayaan atau biodiversitas yang masih perlu dieksplorasi.
“Papua Barat adalah primadona. Banten, tetap ada biodiversitas tersembunyi yang perlu dieksplorasi. PNG, India, Sulawesi masih perlu dieksplor, ini daerah emas megabiodiveristy,” katanya.
Satu hal yang disampaikannya adalah betapa negara-negara yang tidak punya keragaman hayati atau non-bodiveritas malah aktif mengkapamnyakan melalui jurnal internaisonal atau dengan kata lain, dari Indonesia sangat sedikit hasil riset atau paper terkait ini.
“Ikan merupakan spesies yang paling banyak, 34 ribu di dunia ada 5 000-an di Indonesia Indonesia dibanding mamalia dan reptil, tetapi 15 persen terancam punah. Di dunia ada sekitar 8 ribu spesies terancam punah,” tambahnya.
“Laju kepunahan sangat cepat, 50 tahun ke depan, banyak jenis mamalia yang terancam.” Menurut Dr Atit, ancaman pada spesies ini karena dieksploitas langsung, karena merupakan obyek jual beli, karena polusi dan karena adanya invasif spesies.
Hewan-hawan aquatik menurut Dr Atit adalah yang sangat menggoda untuk jadi bahan konsumsi dan akan menjadi masalah besar jika tak ditangani dengan baik.
Secara umum, ada beberapa aktivitas yang mengancam hewan-hawan tak bertulang belakang maupun bertulang belakang. “Karena eksploitasi pertanian, perubahan tata lahan dan karena penambahan polulasi manusia, atau permukiman demikian pula polusi,” sebutnya.
Dia juga menyebut bahwa pada appendiks CITES sudah ada 59 spesies laut yang perlu dilindungi karena ancaman kelangkaan ini.
“Memang sudah ada perundang-undangan yang melindungi, sudah masuk dalam perundangan termasuk di level internasional. Sudah on the track, hanya tinggal perlu sinergi untuk Kementerian Lembaga dan teman-teman LSM,” sebutnya.
Khusus untuk hiu dan pari ada 22 spesies dan 33 jenis ikan yang perlu perlindungan penuh meski untuk perlindungan penuh terbatas ada 308 spesies akuatik. “Ada 14 spesies yang IUCN red list di Indonesia, pari dan hiu yang akan kita garap,” katanya.
Di ujung paparannya Dr Atit menegaskan bahwa hasil pembahasan oleh Kelompok Kerja Perlindungan Biota Perairan terancam punah prioritas merupakan hasil kerja bersama para pihak dalam hal ini LIPI dan KKP.