PELAKITA.ID – Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL), Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Andi Rusandi menyebut untuk tahun 2020 hingga 2024, Pemerintah telah menetapkan 20 jenis ikan terancam punah prioritas.
Menurutnya, ini bermula dari identifikasi atas 308 spesies atau 7 taksa. Kesemuanya terancam punah atau dilindungi dimana terdapat 35 spesies sebagai bagian dari taksa mamalia laut.
“Kriteria ini menurut Appendiks CITES, dikaitkan pada tingkat eksploitasi dan pemanfaatannya serta target konservasinya,” sebutnya saat menjadi pembicara pada seminar daring ‘Konservasi Ikan Terancam Punah’ pada 14 Juli 2020.
Dia juga menjelaskan bahwa keduapuluh jenis ikan prioritas tersebut didasarkan pada pertimbangan skala prioritas, pada rekomendasi perlindngan penuh. “Tidak mutlak pada level genus tergantung kebutuhan pengelolaan, hal pembobotan kriteria dan isu yang paling krusial termasuk indikator dan capaiannya,” jelasnya.
Ada 20 jenis
Pelakita.ID mencatat keduapuluh spesies dimaksud. Mereka adalah jenis hiu yang masuk appendiks CITES, pari appendiks CITES, hiu paus, pari perlindungan penuh, penyu, karang hius, napoleon, sidat, duyung, cetacea (paus dan lumba-lumba).
Lalu ada teripang, hiu berjalan, kima dan lola, Banggai Cardinal Fish (BCF), arwana, biota endemik danau purba, kuda laut, bambu laut atau akar bahar, terubuk dan belida.
Sesuai paparan Andi Rusandi, penyusunan rekomendasi perlindungan biota prioritas 2020 hingga 2024 ini didasarkan pada pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya. Yaitu, dalam tahun 2013, dimana KKP dan LIPI telah menyusun daftar 111 spesies perairan terancam punah prioritas perlindungan.
“Tahun 2019, Tim KKHL dengan tim P28 LIPI menyusun tindak lanjut pengatruran 111 spesies terancam punah. Tahun 2018-2020, SK kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI no. B-3449/PH.1/KS0204/IX/2019 membentuk tim Pokja Perlindungan Biota Perairan Terancam punah sebanyak 308 spesies (dari 7 taksa),” jelas Andi.
“Tahun 2020, Kapus P2B LIPI menyampaikan 308 spesies perairan terancam punah prioritas perlindungan melalui Surat No.B-835/IPH.1/KS.02.04/V/2020,” imbuhnya.
Menurutnya, strategi utama konservasi meliputi pengelolaan spesies dan habitat, pengelolaan kebijakan dan penegakan hukum, meningkatkan akses pendataan, membangun kemitraan, penyadartahuan dan peningkatan kapasitas.
Berkaca pada BCF.
Dari keduapuluh spesies tersebut, salah satunya adalah BCF atau Banggai Cardinal Fish.
Menurut Gayatri Reksodihardjo-Lilley, M.Sc, dari Yayasan LINI yang telah berpengalaman dalam fasilitasi program konservasi BCF, fokus pihaknya pada BCF ditunjukkan sejak adanya penyusunan aksi nasional konservasi BCF dalam tahun 2017.
Lokasi yang selama in menjadi area pendampingan LINI adalah di Banggai, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut.
Menurut Gayatri, terkait BCF, ini dirillis oleh peneliti BCF dari dari Amerika bernaa Gelly, yang menemukan bahwa dalam tahun 2007, BCF dapat ditemui pada area 50 kilometer persegi.
“Dalam tahun 2015, oleh tim survey, hanya meliputi 23 kilometer persegi. Total populasi yang disebut Pak Gelly, 1,4 juta ikan, capungan Banggai,” katanya saat menjadi pembicara pada acara yang sama.
Saat itu, menurt Gayatri, Gelly bekerjasama dengan masyarakat dan kemudian, setiap tahun ada monitoring. “Sejak 2012, KKP telah melakukan melakukan monitoring di 24 sites, sebagai base line. Setiap tahun dilakukan monitoring populasi di 24 sites,” jelasnya.
“Titik nol di 2017 sampai 2019, untuk ikan dewasa trend-nya prositif, walaupun dari 24 sites, ada yang menurun dan meningkat,” katanya.
Bagi Gayatri, ada korelasi antara situasi ini dengan makro habitatnya, biologi spesies, dan ekologi. Dia juag menyebut bahwa ikan BCF sangat unik. Di alam bisa berusia hingga 2 tahun namun di akuariaum bisa 3-5 tahun.
“Jantan ambil telur dan masuk ke mulutnya, disimpan 21 hari dan menetap di mulut si jantan. Setelah 28 hari begitu dia keluar, komplit dewasa, selama si jantan menetaskan dalam mulut ini, nggak makan,” ungkapnya terkait perilaku biologi BCF.
“Sangat melindungai anak, ini jantan terhebat di dunia. Bayi tidak ada fase larva. Di terumbu karang, BCF bersembunyi di bulu babi, jantan kadang makan anaknya juga, begitu dia keluar, dia makan juga,” tambahnya. Bayi-bayi BCF bertahan hidup dengan memilih tinggal di dekat bulu babi, di anemon.
“Populasi mengalami kepunahan, pernah memang ada, lalu hilang. Pada awal sebelum perlindungan jadi saat ini di daerah Banggai Laut, Baggai Kepulauan, sudah resmi dilindungi sejak 2019. Sudah semakin baik pengelolaannya,” katanya.
Hal lain yang dikhawatirkan Gayatri adalah ketika habitat hidup BCF terusik. Meski pemerintah daerah sudah mencoba mencegah penurunan jumlah namun aktivitas oleh warga masih dapat mengganggu eksistensi BCF.
“Populasi mikro habitat menurut karena bulu babi dimanfaatkan untuk dimakan telurnya. Perlu konservasi,” imbuhnya.
Yang bisa dilakukan menurut Gayatri adalah menyelamatkan kehidupan di alam melalui pendekatan sains. “Perlu aksi konservasi, penyadartahuan, dan mengajak masyakat untuk menghargai lingkungan dan sekitarnya,” tutupnya.