Tema Sumpah Pemuda 2025, “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu,” adalah panggilan dari masa depan. Sebuah ajakan untuk bergerak bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral, ekologis, dan spiritual.
Oleh Muliadi Saleh
PELAKITA.ID – Setiap 28 Oktober, sejarah memanggil kita untuk berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Suara para pemuda 1928 masih bergema dalam waktu:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Kalimat itu lahir dari dada-dada muda yang bergetar oleh cinta tanah air—bukan sekadar teks yang dihafal di ruang upacara. Mereka bersumpah untuk menyatukan bangsa di tengah keterpecahan zaman kolonial. Namun kini, hampir seabad kemudian, generasi muda dihadapkan pada tantangan yang berbeda: bumi yang sakit, teknologi yang kehilangan nurani, dan kemanusiaan yang kian timpang.
Mungkin inilah saatnya pemuda menulis sumpah baru—bukan untuk mengganti yang lama, melainkan untuk menyalakan kembali maknanya dalam wajah dunia yang berubah begitu cepat.
Tema Sumpah Pemuda 2025, “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu,” adalah panggilan dari masa depan. Sebuah ajakan untuk bergerak bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral, ekologis, dan spiritual.
Sumpah untuk Iklim: Menjaga Nafas Bumi
Bumi hari ini bukan sekadar tempat berpijak—ia sedang megap-megap. Suhu meningkat, laut menelan garis pantai, hutan terbakar, udara kian sesak. Dari Kalimantan hingga Papua, kisah kehilangan ekologis terus terbuka.
Di tengah situasi ini, banyak anak muda memilih untuk tidak diam. Mereka turun ke jalan, menanam pohon, menggelar kampanye hijau, dan mengubah gaya hidup. Inilah generasi yang memahami bahwa mencintai tanah air kini berarti juga menjaga udara yang dihirup dan air yang diminum.
Nasionalisme mereka bukan sekadar kibaran bendera, tetapi juga desiran angin, daun yang bergoyang, dan riak sungai yang ingin tetap hidup.
Gerakan hijau anak muda di berbagai kota—dari komunitas ekologis, petani muda, hingga aktivis iklim digital—adalah wujud baru Sumpah Pemuda ekologis.
Dulu mereka bersatu demi kemerdekaan; kini mereka bersatu demi keberlanjutan.
Sebab apa arti merdeka, jika bumi tempat berpijak tak lagi mampu menampung kehidupan?
Sumpah untuk Etika: Menjaga Nurani di Era AI
Namun tantangan zaman tidak berhenti pada kerusakan alam. Kita kini hidup di era kecerdasan buatan (AI)—mesin yang mampu menulis, berbicara, bahkan berpikir lebih cepat dari manusia. Dunia tampak semakin canggih, tetapi apakah juga semakin bijak?
Etika menjadi wilayah baru perjuangan moral pemuda. Di tengah derasnya arus algoritma, mereka harus belajar menimbang antara kemudahan dan kebenaran, antara efisiensi dan kemanusiaan.
Sumpah Pemuda abad ini bisa berarti berani berkata:
“Kami bersatu untuk menjaga nalar, agar teknologi tidak menghancurkan nurani.”
Bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menegaskan bahwa mesin tidak boleh menggantikan empati. Bahwa di balik setiap inovasi, harus ada pertimbangan moral.
Pemuda yang menulis kode program hari ini sesungguhnya sedang menulis masa depan peradaban. Etika digital menjadi medan baru nasionalisme—bukan untuk menutup diri dari dunia, tetapi untuk memastikan kemajuan tetap berpihak pada manusia.
Sumpah untuk Keadilan: Merajut Kemanusiaan
Di balik gemerlap kota dan kemajuan teknologi, masih banyak pemuda hidup dalam ketimpangan. Ada yang berjuang di pelosok dengan keterbatasan pendidikan, ada yang meninggalkan kampung karena pekerjaan tak pasti, ada pula yang suaranya diabaikan karena dianggap kecil.
Keadilan kini menjadi panggilan baru kebangsaan.
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kesadaran bahwa perbedaan tidak boleh memisahkan. Sumpah baru hari ini harus lahir dari kesadaran bahwa ketidakadilan tidak boleh dibiarkan. Solidaritas bukan sekadar slogan, melainkan tindakan yang memulihkan martabat manusia.
Pemuda yang membantu di pengungsian, yang mengajar di daerah tertinggal, yang membela korban diskriminasi—mereka adalah pewaris sejati semangat Sumpah Pemuda.
Karena bersatu bukan hanya berarti satu bahasa, tetapi satu hati yang tidak tega melihat sesama menderita.
Pemuda Pemudi Bergerak: Menyalakan Api Baru
Jika 1928 adalah zaman kesadaran identitas, maka 2025 adalah zaman kesadaran tanggung jawab global.
Pemuda Indonesia kini tidak hanya bicara tentang “kita” dalam lingkup bangsa, tetapi juga dalam konteks kemanusiaan semesta.
Gerakan mereka lintas isu—dari digitalisasi desa, energi bersih, hingga kampanye anti-hoaks dan keadilan gender.
Mereka bukan lagi sekadar generasi penerus, melainkan generasi pengarah arah.
Sumpah Pemuda dulu diucapkan di Gedung Kramat Raya; kini gema itu berpindah ke layar-layar, ruang komunitas, dan ladang ide.
Bersatu bukan lagi hanya kata, tetapi tindakan bersama di tengah dunia yang retak oleh ego.
Sumpah untuk Menjaga Bumi dan Kemanusiaan
Di tengah semua tantangan itu, pemuda hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Mereka mewarisi idealisme masa lalu, tetapi harus menghadapi realitas baru yang lebih kompleks.
Namun satu hal tak berubah: semangat untuk bergerak dan bersatu.
Mungkin Sumpah Pemuda baru itu bisa kita ucapkan begini:
Kami, putra-putri bumi, bersumpah menjaga kehidupan dalam segala dinamikanya.
Kami, generasi digital, bersumpah menyalakan etika di tengah kemajuan.
Kami, anak-anak kemanusiaan, bersumpah menegakkan keadilan tanpa ketimpangan.
Itulah wajah baru nasionalisme di abad ini—bukan sekadar cinta tanah air, tetapi cinta semesta.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya yang mengenang sejarahnya, tetapi juga yang menulis sumpah-sumpah barunya dengan tindakan dan keberanian.
Pemuda yang bergerak hari ini adalah penjaga masa depan Indonesia—dan masa depan bumi.
