Kereta Cepat Jakarta–Bandung: Antara Profit dan Benefit

  • Whatsapp
Ilustrasi

Sejak awal, proyek KCJB tidak lahir dari perhitungan untung-rugi jangka pendek, melainkan dari keyakinan bahwa utang yang produktif adalah investasi bagi generasi berikutnya. Menurut laporan Kompas dan CNBC Indonesia, total biaya proyek ini mencapai sekitar US$ 7,3 miliar, naik dari perkiraan awal US$ 6,07 miliar.¹

Oleh: Mustamin Raga
(Alumni Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pascasarjana Universitas Hasanuddin)

PELAKITA.ID – Negara ini, dari masa ke masa, selalu bergulat antara dua cara pandang: antara mereka yang berhitung dan mereka yang berkeyakinan. Antara yang menakar masa depan dengan angka laba, dan yang membacanya dengan kacamata manfaat.

Ketika pemerintah memutuskan membangun Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), perdebatan publik pun merebak. Pertanyaannya seragam: apakah proyek ini menguntungkan? Layakkah negara berutang untuk membangun rel baja yang disebut terlalu mahal bagi jarak yang terlalu pendek?

Namun, sejatinya persoalan utama bukan pada mahal atau murahnya proyek, melainkan bagaimana kita menilai arti pembangunan itu sendiri.

Sejak awal, proyek KCJB tidak lahir dari perhitungan untung-rugi jangka pendek, melainkan dari keyakinan bahwa utang yang produktif adalah investasi bagi generasi berikutnya. Menurut laporan Kompas dan CNBC Indonesia, total biaya proyek ini mencapai sekitar US$ 7,3 miliar, naik dari perkiraan awal US$ 6,07 miliar.¹

Sebagian besar dana tersebut berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) sebesar US$ 4,55 miliar² dengan bunga kompetitif dan tenor panjang.

Banyak yang mencibir: “Mengapa harus berutang?” Tetapi pemerintah memiliki dasar ekonomi yang kuat. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2023 tercatat hanya sekitar 39,06%,³ jauh di bawah ambang batas aman 60% yang ditetapkan IMF dan Bank Dunia.
Artinya, secara makroekonomi, Indonesia masih memiliki ruang fiskal yang sehat untuk mendorong proyek strategis berskala besar.

Negara yang tumbuh tak mungkin menghindari utang. Yang bijak adalah memastikan setiap utang melahirkan nilai tambah yang melampaui bunga dan cicilannya.

Profit vs Benefit: Angka dan Makna

Di sinilah banyak orang keliru memahami makna pembangunan. Mereka menuntut setiap proyek negara berorientasi profit seperti korporasi, padahal pemerintah tidak sedang berbisnis, melainkan berkhidmat.

Perbedaan antara profit dan benefit adalah perbedaan antara angka dan makna. Profit berhenti di laporan keuangan, sementara benefit hidup dalam denyut ekonomi rakyat.

Kereta cepat Jakarta–Bandung bukan sekadar soal waktu tempuh 36–45 menit. Ia adalah simbol tentang kecepatan yang mengubah cara bangsa bekerja dan berpikir.

Bayangkan berapa jam produktivitas yang diselamatkan setiap hari oleh ribuan pekerja, pelajar, investor, dan pedagang yang selama ini terjebak macet di Tol Cipularang.

Bandung kini bukan lagi kota akhir pekan semata, melainkan perpanjangan dari nadi ekonomi Jakarta. Ketika jarak menjadi sependek perjalanan sarapan dan makan siang, kolaborasi antarkota menjadi keniscayaan.

Lebih jauh, proyek ini menghadirkan transfer teknologi bernilai tinggi. Puluhan insinyur muda Indonesia kini memahami sistem perkeretaapian cepat, mulai dari konstruksi rel, sinyal digital, hingga perawatan armada Whoosh.

Ini bukan sekadar proyek transportasi, melainkan sekolah besar teknologi nasional.

Efek turunannya meluas: kawasan perumahan di Tegalluar tumbuh pesat, industri di Padalarang menggeliat, dan investasi properti di sepanjang lintasan meningkat drastis. Selama fase pembangunan saja, pemerintah mencatat lebih dari 13.000 lapangan kerja langsung tercipta, serta menstimulasi efek ekonomi hingga Rp 350 triliun.⁴ Namun angka itu hanyalah permukaan. Nilai sejati KCJB terletak pada konektivitas wilayah, percepatan mobilitas, dan tumbuhnya rasa percaya diri nasional.

Karena tidak semua manfaat pembangunan dapat diterjemahkan menjadi tarif tiket. Ada manfaat yang hanya bisa dihitung dengan nurani: waktu bersama keluarga, peluang kerja di dua kota, dan kebanggaan bahwa Indonesia kini memiliki kereta cepat pertama di Asia Tenggara.

Kepantasan Negara Turut Membiayai

Sebagian pihak kembali mencibir ketika pemerintah ikut menutup kekurangan biaya proyek ini. Namun di sinilah logika kenegaraan harus berdiri lebih tinggi dari logika korporasi. Negara berhak dan wajib membantu karena manfaat KCJB berskala nasional, bukan sektoral.

Seperti halnya jalan tol, pelabuhan, dan bandara, tidak semua investasi publik bisa dikembalikan lewat tiket, tetapi semuanya memperkuat sendi kehidupan bangsa.

Manfaat KCJB bagi negara terbagi dalam tiga lapis:

  1. Ekonomi langsung – peningkatan mobilitas manusia dan barang, penghematan waktu kerja, serta percepatan arus modal antara dua kota yang menyumbang lebih dari 20% PDB nasional.

  2. Sosial-ekologis – pengurangan kendaraan pribadi di tol, penurunan emisi karbon, dan promosi gaya hidup transportasi publik berkelanjutan.

  3. Psikologis-kultural – tumbuhnya rasa percaya diri nasional bahwa Indonesia mampu sejajar dengan negara berteknologi maju.

Karenanya, pantas jika negara ikut menanggung sebagian biayanya. Yang dinikmati bukan hanya penumpang berbayar, tetapi seluruh bangsa yang merasakan produktivitas baru, meningkatnya investasi, dan reputasi internasional yang lebih kuat.

Utang dan subsidi negara bukan untuk menutup rugi, melainkan membayar ongkos kemajuan.
Dan kemajuan itu, seperti rel baja yang membelah sawah dan gunung, tak ternilai dalam angka laba.

Whoosh, Simbol Manfaat yang Nyata

Kini, ketika kereta Whoosh meluncur dari Halim menuju Tegalluar dengan suara khasnya — whoooss! — ia seakan menyapu semua keraguan yang dulu pernah menghujani proyek ini.

Di setiap kursi yang diisi pekerja, mahasiswa, dan wisatawan, kita melihat wajah-wajah baru dari manfaat pembangunan yang hidup.
Mereka yang dulu berangkat subuh kini bisa berangkat setelah matahari terbit.
Mereka yang dulu tiba malam kini bisa pulang petang, makan malam bersama keluarga.
Mereka yang dulu menempuh jalan penuh klakson kini melaju dalam diam, menatap sawah, gunung, dan langit yang berlari bersama rel.

Whoosh bukan sekadar onomatope kecepatan, melainkan suara dari masa depan — masa depan yang tak lagi memisahkan antara untung dan manfaat, tetapi menyatukannya dalam satu kata: kemajuan.


Gerhana Alauddin, 18 Oktober 2025

Catatan Kaki:

  1. Kompas.com dan CNBC Indonesia (2023) — Total biaya proyek mencapai US$ 7,3 miliar.

  2. China Development Bank Loan Agreement, PT KCIC (2023) — Pinjaman US$ 4,55 miliar.

  3. Kementerian Keuangan RI, APBN Kita (Desember 2023) — Rasio utang terhadap PDB 39,06%.

  4. Kemenko Marves, Press Release (2023) — Potensi efek berganda ekonomi mencapai Rp 350 triliun.