Sekolah adalah taman sekaligus rumah bagi tumbuhnya pengetahuan dan kebajikan. Di situ, tidak seharusnya ada asap rokok yang mengotori udara dan pandangan, dan tidak seharusnya ada tangan yang melukai pemilik asa masa depan.
PELAKITA.ID – Kasus pemukulan seorang siswa karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah kembali memantik perdebatan publik. Di satu sisi, perilaku siswa yang melanggar aturan sekolah dan kawasan tanpa rokok (KTR) jelas tidak dapat dibenarkan.
Di sisi lain, tindakan kekerasan fisik oleh tenaga pendidik—dalam bentuk tamparan atau pemukulan—tidak bisa dijadikan cara menyelesaikan pelanggaran disiplin.
Aktivis perempuan asal Makassar, Lusia Palulingan, menegaskan bahwa dua hal ini harus dipahami secara terpisah: pelanggaran tata tertib sekolah dan tindak kekerasan fisik adalah dua bentuk kesalahan yang berbeda, dan keduanya sama-sama tidak bisa dibenarkan.
“Merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran,” ujar Lusia. “Termasuk merokok di ruang publik, apalagi jika kabupaten atau kota tersebut sudah memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Tetapi menampar siswa adalah kekerasan fisik yang melanggar hukum.”
Menurut Lusia, tindakan kekerasan terhadap siswa jelas bertentangan dengan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, yang secara eksplisit melarang bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun seksual di lingkungan pendidikan.
Pasal 5 ayat (1) regulasi tersebut menyatakan:
“Setiap satuan pendidikan wajib mencegah terjadinya kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, seksual, dan diskriminatif di lingkungan satuan pendidikan.”
Selain itu, Pasal 9 ayat (1) menegaskan: “Pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik dilarang melakukan kekerasan dalam bentuk apapun di satuan pendidikan.”
Tindakan semacam ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan.
Dalam Pasal 54 ayat (1) disebutkan: “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”
“Guru, kepala sekolah, dan seluruh tenaga pendidik memiliki posisi moral dan hukum sebagai pelindung anak, bukan pelaku kekerasan,” tegas Lusia. “Kita tidak bisa melawan kesalahan dengan kesalahan yang lain.”
Dua Kesalahan yang Tak Saling Meniadakan
Fenomena siswa merokok di sekolah memang masih menjadi masalah serius di banyak daerah. Padahal, banyak kota termasuk Makassar hingga Maros telah menerapkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang menjadikan sekolah sebagai area bebas asap rokok.
Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenai sanksi administratif, namun tetap harus ditangani dengan pendekatan edukatif, bukan represif.
Lusia menilai, banyak sekolah masih belum memahami bahwa penegakan disiplin tidak boleh dilakukan dengan kekerasan.
“Kedisiplinan bukan berarti kekerasan. Mengajar tanggung jawab tidak berarti menampar. Pendidikan sejati justru lahir dari proses mendidik dengan empati,” katanya.
Menurutnya, sekolah dapat tetap tegas tanpa melakukan kekerasan.
“Sekolah dapat menerapkan sanksi ringan, sedang, atau berat tanpa melakukan kekerasan,” jelas Lusia.
“Sekolah harusnya melakukan upaya penegakan disiplin berdasarkan peraturan sekolah, bukan berdasarkan emosi atau tindakan spontan.”
Ia menekankan bahwa setiap sekolah idealnya memiliki tata tertib internal yang mengatur bentuk pelanggaran dan konsekuensi yang sesuai.
Sanksi bisa berupa teguran, konseling, surat peringatan, pembinaan oleh guru BK, hingga pemanggilan orang tua. Semua itu sah dilakukan selama dijalankan dengan prinsip mendidik, bukan menghukum secara fisik.
Pendekatan yang kasar justru menciptakan trauma dan rasa takut, bukan kesadaran. Anak yang mendapat kekerasan fisik di sekolah cenderung kehilangan rasa percaya diri dan bisa meniru perilaku agresif tersebut di kemudian hari.
Sekolah sebagai Ruang Aman
Bagi Lusia Palulingan, sekolah harus menjadi ruang aman (safe space) bagi anak untuk belajar, tumbuh, dan memperbaiki diri. Dalam konteks itu, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai penjaga martabat kemanusiaan anak didiknya.
“Sekolah seharusnya menjadi tempat anak belajar memahami batas dan tanggung jawab, bukan tempat di mana mereka ditakut-takuti atau dipermalukan,” ujarnya. “Jika siswa merokok, itu tanda ada yang perlu dibenahi dalam sistem pengawasan, pembinaan, dan komunikasi antara guru dan murid.”
Pendekatan dialogis, edukatif, dan konseling menurutnya jauh lebih efektif daripada hukuman fisik. Guru dan pihak sekolah sebaiknya melibatkan orang tua, wali kelas, dan konselor untuk membantu siswa memahami konsekuensi perilakunya.
Kasus seperti ini, bagi Lusia, menjadi cermin dari tantangan dunia pendidikan kita hari ini—antara menegakkan disiplin dan mempertahankan kemanusiaan. Ia menekankan pentingnya membangun budaya sekolah yang sehat, bebas rokok, dan bebas kekerasan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena sama-sama berakar dari nilai penghormatan terhadap kehidupan.
“Merokok merusak tubuh, tapi kekerasan merusak jiwa,” ujarnya. “Sekolah tidak boleh menoleransi keduanya.”
Lusia mengajak semua pihak—guru, orang tua, dan pemerintah daerah—untuk bersama-sama memperkuat sistem pendidikan yang berkeadilan dan berempati.
Menurutnya, reformasi pendidikan moral tidak bisa dimulai dengan amarah, tetapi dengan keteladanan dan komunikasi yang mendidik.
Menegakkan Hukum, Memulihkan Rasa Kemanusiaan
Kita tidak sedang dihadapkan pada pilihan antara menghukum siswa atau melindungi guru. Kita sedang dihadapkan pada ujian kemanusiaan: bagaimana menegakkan hukum tanpa kehilangan nurani.
Sekolah adalah taman bagi tumbuhnya pengetahuan dan kebajikan. Di taman itu, tidak seharusnya ada asap rokok yang mengotori udara, dan tidak seharusnya ada tangan yang melukai.
Apa yang dibutuhkan adalah ketegasan yang berakal sehat—menegakkan aturan dengan kasih, bukan dengan kekerasan. Dan di sinilah suara Lusia Palulungan menjadi pengingat moral:
“Melarang merokok adalah bagian dari menegakkan disiplin. Tapi melarang dengan tidak menggunakan kekerasan fisik adalah bagian dari menjaga kemanusiaan. Dua-duanya sama penting, dan keduanya harus ditegakkan di sekolah.”
Penulis Denun
