PELAKITA.ID – Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan secara simbolis 80.000 Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Simbolisme atau Transformasi?
Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan secara simbolis 80.000 Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Peresmian ini berlangsung pada Senin, 21 Juli 2025, di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, dan diproyeksikan sebagai tonggak baru dalam penguatan ekonomi rakyat berbasis gotong royong. D
engan satu sentuhan tombol, Prabowo menyatakan dimulainya operasional koperasi desa secara nasional, termasuk di wilayah pesisir.
Program ini hadir dengan visi ambisius: membangun pusat ekonomi desa melalui gerai-gerai pelayanan seperti kios pupuk dan sarana pertanian/perikanan, kantor pos dan logistik, toko sembako, unit simpan pinjam, klinik desa, hingga apotek.
Namun di balik kemeriahan seremoni itu, pertanyaan-pertanyaan fundamental pun muncul: bagaimana menjamin koperasi desa, khususnya di wilayah pesisir, tidak mengulangi kegagalan KUD Mina pada masa lalu?
Lantas, bagaimana memastikan koperasi benar-benar sesuai konteks, mampu menjawab potensi lokal dan kompleksitas pelaku ekonomi pesisir seperti nelayan, pembudidaya, pengolah, hingga pemasar?
KUD Mina: Modernisasi Tanpa Legitimasi
Pada masa Orde Baru, KUD Mina dibentuk dengan tujuan memodernisasi perikanan rakyat melalui penyediaan BBM bersubsidi, alat tangkap, sembako, dan jaminan harga ikan.
Namun dalam praktiknya, KUD Mina gagal berfungsi optimal akibat lemahnya manajemen, maraknya penyelewengan, kredit macet, dan—yang paling mendasar—ketidakmampuan memahami struktur sosial pesisir yang kental dengan sistem patronase dan kelembagaan lokal.
Granovetter dalam teori embeddedness menegaskan bahwa tindakan ekonomi selalu terikat pada struktur sosial.
KUD Mina hadir sebagai lembaga formal yang tercerabut dari akar sosial, tanpa mengakui atau menyinergikan keberadaan patron lokal seperti juragan kapal dan punggawa.
Akibatnya, koperasi menjadi shadow institution—megah secara struktural, tetapi mati dalam praktik sosial. Gramsci pun mengingatkan: tanpa hegemoni kultural, institusi modern hanyalah alat dominasi kosong tanpa legitimasi rakyat.
Kompleksitas yang Tidak Boleh Dilupakan
Untuk menghindari kegagalan serupa, penting memahami kompleksitas masyarakat pesisir. Dalam perikanan tangkap, terdapat struktur sosial khas: punggawa atau juragan kapal, punggawa laut atau nakhoda, dan sawi atau anak buah kapal.
Relasi patron-klien sangat kuat; punggawa memegang kendali atas modal sosial, finansial, dan bahkan politik. Ketergantungan pada utang musiman menjadi hal yang biasa, terutama saat musim paceklik atau gelombang tinggi.
Selain itu, pembudidaya ikan, udang, dan rumput laut—yang mayoritas berskala kecil—juga rentan terhadap fluktuasi harga pakan dan benih, serta terjerat dalam lingkaran ketergantungan pada tengkulak.
Sementara itu, pengolah hasil perikanan—yang kebanyakan adalah perempuan—beroperasi secara informal dengan upah rendah dan akses terbatas terhadap modal, teknologi, dan pasar.
Di sisi hilir, para pemasar menghadapi rantai distribusi yang panjang dan timpang, di mana keuntungan terbesar dinikmati tengkulak dan pemodal kota.
Dalam konteks ini, koperasi menjadi sangat relevan sebagai alat perjuangan kolektif. Koperasi yang demokratis, profesional, dan berbasis potensi lokal dapat menjadi sarana konsolidasi kekuatan ekonomi nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pedagang kecil, agar mereka tidak lagi berhadapan sendiri-sendiri dengan struktur pasar yang eksploitatif.
Koperasi Merah Putih: Solidaritas Ekonomi atau Kapitalisme Negara?
Secara teori, Kopdes MP menawarkan integrasi ekonomi dari hulu ke hilir—dari produksi primer, pengolahan, distribusi, hingga layanan sosial. Namun di lapangan, program ini tidak bebas dari persoalan.
Misalnya, terjadi konflik dalam pembentukan koperasi di Sulawesi Tenggara akibat dominasi keluarga kepala desa dalam struktur pengurus, dan penolakan warga di Banten karena koperasi dianggap dipaksakan.
Model usaha Kopdes MP juga terkesan seragam dan kurang kontekstual—lebih banyak berwujud kios Elpiji dan sembako, alih-alih fokus pada potensi pesisir seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, dan ekspor hasil laut.
Di sisi lain, skema pembiayaan koperasi yang mengandalkan utang bank tanpa agunan dan dijamin negara menimbulkan risiko fiskal bagi desa jika koperasi gagal membayar cicilan.
Analisis Sosiologi Kritis: Modal Simbolik dan Reproduksi Ketergantungan
Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa koperasi kerap dijadikan alat akumulasi modal simbolik oleh elite lokal. Status sebagai pengurus koperasi menjadi ajang pencitraan politik, bukan wadah pengabdian ekonomi.
Gramsci menekankan pentingnya hegemoni budaya: koperasi hanya akan berhasil jika nilai, ide, dan strukturnya diterima dan dimiliki oleh masyarakat. Marx melihat koperasi berbasis utang bank dan jaminan negara sebagai bentuk kapitalisme negara—ketika risiko ekonomi dialihkan dari bank ke negara, lalu ke rakyat.
Alih-alih membebaskan rakyat dari cengkeraman kapital, koperasi yang dikelola top-down justru berisiko melanggengkan ketergantungan baru—yakni kapitalisme utang yang dibungkus retorika kerakyatan.
Rekomendasi Transformatif
Agar Kopdes MP benar-benar transformatif dan tidak mengulangi kesalahan KUD Mina, koperasi pesisir harus diintegrasikan dengan kelembagaan lokal seperti punggawa, kelompok nelayan, tokoh adat, dan patron tradisional.
Pendekatan embeddedness menjadi kunci keberhasilan. Pendidikan koperasi perlu berbasis kesadaran kritis dan kontekstual, menyasar seluruh anggota, bukan hanya pengurus.
Pelatihan harus mencakup manajemen usaha tangkap, budidaya, pengolahan, hingga pemasaran ekspor. Rencana usaha koperasi sebaiknya fokus pada penguatan posisi tawar nelayan dan pembudidaya—misalnya melalui penyediaan BBM kolektif, armada tangkap bersama, pabrik es, cold storage, serta unit pengolahan hasil laut.
Skema pembiayaan perlu berkeadilan: mengombinasikan modal anggota, dana bergulir, dan pinjaman berbasis kinerja, bukan menjebak desa dalam utang struktural. Pendampingan jangka panjang sangat diperlukan, dengan melibatkan tenaga yang memahami ekonomi pesisir dan sosiologi kelembagaan lokal.
Koperasi sebagai Alat Pembebasan
Koperasi Merah Putih di pesisir hanya akan menjadi gerakan pembebasan jika menempatkan masyarakat pesisir—nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar—sebagai subjek utama yang menentukan arah dan masa depan mereka sendiri.
Dalam pandangan Bourdieu, koperasi sejati bukan hanya organisasi ekonomi, tapi juga arena pembentukan habitus baru: cara berpikir dan bertindak bersama sebagai produsen dan distributor yang bermartabat.
Masyarakat pesisir tidak membutuhkan koperasi yang sekadar menambah utang atau mengganti patron lama dengan patron baru, melainkan koperasi yang membangun solidaritas, kedaulatan ekonomi, dan kepemilikan bersama.
Prinsip “dari anggota, oleh anggota, untuk anggota” yang diwariskan Pelopor Rochdale di Inggris (1844), dan ditegaskan kembali oleh Mohammad Hatta di Indonesia, harus menjadi ruh utama koperasi.
Hanya dengan prinsip inilah koperasi benar-benar menjadi alat pembebasan rakyat—bukan kapitalisme negara yang dibalut simbolisme kerakyatan.
Editor Denun
