PELAKITA.ID – Di tanah Sulawesi Selatan, nilai-nilai luhur telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, termaktub dalam falsafah hidup yang dikenal sebagai siri’ na pacce.
Siri’ dimaknai sebagai harga diri, rasa malu, dan kehormatan yang dijaga dengan sepenuh jiwa.
Sementara pacce adalah empati mendalam—perasaan iba yang melahirkan solidaritas, keberanian berkorban, dan kepekaan terhadap penderitaan sesama. Kedua nilai ini bukan sekadar etika lokal, melainkan fondasi moral yang membentuk karakter dan arah hidup, bahkan hingga titik pengorbanan tertinggi.
Jika kita tilik dari perspektif Islam, siri’ na pacce sejatinya sejalan dengan konsep ghirah—yakni semangat suci yang mendorong seorang Muslim untuk menjaga kehormatan dirinya, keluarganya, dan agamanya.
Ghirah bukanlah luapan emosi tak terkendali, melainkan nyala kesadaran ruhani yang membatasi manusia dari pelanggaran terhadap nilai-nilai ilahi. Ia hadir sebagai energi batin yang melindungi martabat, membela kebenaran, dan menegakkan kemuliaan hidup sesuai dengan syariat.
Dalam siri’, kita menemukan cerminan dari ghirah terhadap kehormatan pribadi. Masyarakat Bugis-Makassar meyakini bahwa kehilangan siri’ berarti kehilangan makna hidup itu sendiri.
Ungkapan mereka berbunyi, “Narekko na siri’mu, nakko nasaba mupi makkita”—jika engkau telah kehilangan siri’, maka seakan-akan engkau telah kehilangan segalanya. Di sini, harga diri bukan hanya soal status sosial, tapi menyangkut integritas batin yang tidak rela berbuat salah atau membiarkan kemungkaran merajalela.
Dalam Islam, rasa malu seperti ini adalah bentuk ghirah terhadap diri, yang menghalangi seseorang dari perbuatan keji karena kesadarannya akan pengawasan Allah. Seperti sabda Nabi Muhammad, “Al-hayā’u syu’batun min al-īmān”—malu adalah bagian dari iman.
Adapun pacce merupakan ekspresi sosial dari ghirah yang lebih luas. Ia hidup dalam kepedulian terhadap penderitaan orang lain, dalam keberanian mengambil bagian dalam beban sosial.
Seseorang yang memiliki pacce takkan tinggal diam saat tetangganya kelaparan, sahabatnya dizalimi, atau masyarakatnya tertindas. Ia bangkit bukan karena ambisi pribadi, melainkan dorongan hati yang tidak sanggup melihat ketidakadilan. Inilah bentuk ghirah terhadap keadilan—yang dalam Islam disebut amar ma’ruf nahi munkar.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya…” (HR. Muslim). Di sinilah pacce dan ghirah bertemu: dalam keberanian membela kebenaran demi kasih sayang kepada sesama.
Sayangnya, di tengah dunia modern yang semakin individualistik, nilai-nilai seperti siri’ na pacce dan ghirah sering dianggap kuno, bahkan ekstrem.
Rasa malu dipandang sebagai penghalang kebebasan. Kepedulian terhadap sesama dianggap mengganggu ruang pribadi. Maka tidak mengherankan jika kita menjumpai generasi yang tak malu berbohong, tak gelisah saat menipu, dan tak peduli ketika saudaranya disakiti. Di sinilah kita menyaksikan dunia yang mulai kehilangan ruh.
Yang kita perlukan hari ini adalah kebangkitan ghirah dalam wujud yang arif dan membumi. Bukan semangat marah yang membakar, tetapi semangat jernih yang membela.
Bukan siri’ yang kaku dan berbalut ego, tetapi siri’ yang lembut karena takut kepada Tuhan. Bukan pacce yang emosional dan reaktif, tetapi pacce yang membangun jembatan, menumbuhkan solidaritas, dan menebar kasih sayang.
Dalam titik temu antara Islam dan budaya Bugis-Makassar, kita menemukan napas spiritual yang sama: menjaga kehormatan dan membela sesama bukan karena gengsi, tapi karena cinta—kepada Allah, kepada manusia, dan kepada kebenaran.
Maka siri’ na pacce bukanlah sekadar peninggalan budaya, tetapi cermin dari sebuah ghirah yang hidup dalam jiwa. Ketika ghirah memudar, makna hidup ikut meredup. Dan saat siri’ na pacce mati, manusia tinggal menjadi tubuh tanpa ruh.
Refleksi ini mengajak kita untuk kembali memaknai siri’ na pacce dan ghirah bukan hanya sebagai warisan leluhur atau konsep spiritual, tetapi sebagai cahaya yang menuntun hidup sehari-hari. Di tengah dunia yang penuh ego dan ketakpedulian, mungkin yang paling kita butuhkan bukan sekadar hukum dan narasi besar, tetapi nyala ghirah yang mampu menghidupkan kembali siri’ na pacce dalam laku hidup yang beriman, beradab, dan penuh kasih.
Gowa, 18 Juni 2025
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.