Rumput Laut Sulsel, Penggerak Transisi Biru menuju Kemandirian Pangan Nasional

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Pak Prabowo mesti memberikan titik tekan pengembangan dan stimulus kebijakan bahwa rumput laut Sulsel, adalah juga penggerak Transisi Biru menuju Kemandirian Pangan Nasional yang menjadi cita-cita mulianya. 

PELAKITA.ID – Tahun 2024 menjadi tonggak penting bagi Sulawesi Selatan. Provinsi ini mencatatkan capaian luar biasa dengan produksi rumput laut yang menembus angka 4 juta ton.

Penulis mencatat capaian 3,7 juta ton dalam tahun 2023 atau ada peningkatan signifikan.

Hemat penulis, angka tersebut bukan semata membuktikan kekuatan sektor perikanan budidaya daerah, tetapi juga menempatkan Sulawesi Selatan sebagai penghasil rumput laut terbesar di Indonesia yang patut diperhitungkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto yang sedang mencanangkan kemandirian pangan nasional.

Muhammad Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, menyampaikan angkat 4 juta ton sebagai momentum untuk mengkonsolidasi kekuatan internal dan eksternal Pemerintah Sulawesi Selatan.

Dia berharap ada intervensi permodalan untuk memaksimalkan value ekonomi rumput laut ini termasuk membuka ruang investasi asing melalui diversifikasi produk olahan.

Ekosistem mendukung

Capaian di atas tentu tidak datang begitu saja. Ada banyak faktor yang saling berkaitan dan saling menguatkan, mulai dari alam yang mendukung, masyarakat pesisir yang adaptif, hingga kebijakan yang terus berpihak pada pembangunan maritim berkelanjutan.

Petani rumput tentu tidak akan bercocok tanam rumput laut jika tak membaca peluang ekonomi. Peluang itu ada pada sejumla pembeli dan pabrikan yang masih bertahan di Sulawesi Selatan.

Penulis berkunjung dan mengapresiasi daya tahan pengolah rumput laut yang masih bertahan seperti PT Giwang di Takalar, PT Bantimurung Indah di Maros hingga PT BLG di Pinrang yang terus berproduksi. Kapasitas beragam, mulai dari yang menghasilkan puluhan ton chip dan karagenan hingga yang ribuan ton.

Nah, ada keberlanjutan yang terus terjaga terkait pasokan rumput laut hingga raw material.

Secara geografis, Sulawesi Selatan memiliki bentang pesisir yang panjang dan beragam, membentang dari kawasan barat hingga timur dengan perairan yang relatif tenang dan kaya nutrisi. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah pantainya sangat ideal untuk budidaya rumput laut.

Di banyak titik, lautnya cukup dangkal dan jernih, dua syarat penting untuk pertumbuhan rumput laut yang sehat dan produktif. Takalar, Jeneponto, Maros, Bulukumba, Bantaeng, Pangkep, dan Kepulauan Selayar adalah beberapa contoh kawasan yang selama ini dikenal sebagai kantong-kantong produksi rumput laut unggulan.

Selain itu, ketersediaan ruang budidaya menjadi nilai tambah tersendiri. Wilayah pesisir Sulawesi Selatan memiliki banyak titik potensial yang dapat dimanfaatkan, tidak hanya di laut terbuka, tetapi juga di sekitar pulau-pulau kecil dan daerah pesisir lainnya.

Dalam praktiknya, banyak petani yang juga mengintegrasikan budidaya rumput laut dengan sistem tambak atau aktivitas perikanan lainnya. Ini menciptakan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan.

Teknologi budidaya pun semakin berkembang dan mulai diadaptasi secara luas oleh masyarakat. Metode seperti long line dan tancap sudah akrab digunakan oleh petani, didukung dengan pelatihan dari berbagai pihak. Meski sederhana, metode ini terbukti mampu mendorong produktivitas secara signifikan.

Keterlibatan lembaga riset, universitas, dan berbagai organisasi mitra turut memperkaya pengetahuan petani sekaligus mendorong transfer teknologi yang kontekstual dan sesuai dengan kondisi lokal.

Universitas Hasanuddin sebagai misal, bahkan telah punya teknologi pemanfaatan reaktor pengeringan rumput laut yang ditemukan di bawah payung Teaching Industry mereka.

Penulis telah melihat prototype-nya dan dianggap menarik untuk dijadikan entry point investasi skala besar.

Di sisi lain, kekuatan terbesar Sulawesi Selatan justru terletak pada manusianya. Budaya bahari telah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat pesisir.

Bagi banyak keluarga, budidaya rumput laut bukan hanya pekerjaan, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak muda pun ikut terlibat, begitu pula perempuan yang memainkan peran penting dalam pengolahan, pengeringan, hingga pemasaran hasil panen.

Dukungan dari pemerintah juga tak bisa diabaikan. Berbagai program pendampingan dan fasilitasi diberikan, mulai dari bantuan bibit, pelatihan teknis, hingga upaya membuka akses pasar yang lebih luas.

Penulis membaca adanya jalur distribusi yang baik dan keberadaan industri pengolahan di Makassar dan kota-kota sekitarnya turut mempercepat proses dari panen ke konsumen, baik di dalam negeri maupun untuk kebutuhan ekspor.

Dengan jaringan pasar yang menjangkau Asia Timur hingga Eropa, rumput laut dari Sulawesi Selatan tidak hanya mengisi kebutuhan domestik, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.

Masih ada tantangan

Meski capaian ini membanggakan, sektor rumput laut juga menghadapi tantangan. Perubahan iklim, fluktuasi harga internasional, dan kebutuhan akan bibit unggul menjadi pekerjaan rumah yang terus dicarikan solusinya.

Untuk itu, langkah ke depan perlu diarahkan pada diversifikasi produk olahan, penguatan standar mutu, dan pengembangan industri hilir berbasis teknologi ramah lingkungan dan tentu perluasan skala investasi, tak semata menanam tetapi mengembangkan nilai bisnis dan keragaman utiliti rumput laut.

Dalam konteks transisi menuju ekonomi biru, rumput laut memiliki keunggulan strategis sebagai komoditas yang ramah lingkungan.

Pemerintahan Prabowo Subianto mestinya diyakinkan bahwa selain bernilai ekonomi tinggi, tanaman laut ini juga berperan dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan ekosistem perairan.

Pak Prabowo mesti memberikan titik tekan pengembangan dan stimulus kebijakan bahwa rumput laut Sulsel, adalah juga penggerak Transisi Biru menuju Kemandirian Pangan Nasional yang menjadi cita-cita mulianya.

Bahwa, Sulawesi Selatan memiliki peluang besar untuk memimpin gerakan ini—bukan hanya sebagai penghasil, tetapi juga sebagai pelopor inovasi dalam pemanfaatan rumput laut untuk masa depan yang lebih hijau.

Dengan segala kekuatan yang dimilikinya—dari alam yang subur, budaya yang mengakar, teknologi yang terjangkau, hingga kebijakan yang progresif—Sulawesi Selatan membuktikan bahwa pembangunan sektor perikanan budidaya dapat menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Produksi 4 juta ton rumput laut pada tahun 2024 bukanlah titik akhir, melainkan pijakan menuju masa depan maritim Indonesia yang lebih cerah dan inklusif.

Kamaruddin Azis, Founder Pelakita.ID
Tamarunang, 20 Juni 2025