PELAKITA.ID – Ketertarikan saya pada seni sastra telah membawa langkah ini menelusuri makna, cara menulis, dan memahami sebuah karya tulis.
Berbeda dengan mereka yang lebih dahulu berkenalan dengan karya-karya besar seperti milik Pramoedya Ananta Toer atau bahkan Multatuli, saya justru terlebih dahulu dipertemukan—dan dihidupkan—oleh puisi-puisi WS Rendra, novel-novel Mas Jazuli Iman, serta karya Leila S. Chudori.
Pada Minggu, 15 Juni 2025, saya mengikuti Workshop Menarasikan Seni Rupa Melalui Penulisan Kreatif di Institut Kesenian Makassar (IKM). Workshop ini merupakan pra-event dari Pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6.
Di sini, saya merasa seperti singgah di sebuah ruang belajar yang terbuka, tempat berbagi sekaligus menyerap pengetahuan. Terlebih, acara ini digelar secara gratis—rasanya seperti mencuri ilmu di Imperium Yunani.
Saat menjejakkan kaki di ruangan itu, saya kembali merefleksikan diri. Apa yang sebenarnya saya cari di sini? Toh saya adalah mahasiswa kesehatan, dan kini mulai menyelami dunia sastra, penulisan, dan membaca. Tapi, apa salahnya? Bukankah tak ada yang keliru dengan pendekatan multidisipliner? Apa salahnya memiliki idealisme?
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh kaum muda,” kata Tan Malaka.
Materi pertama dibawakan oleh Maysir Yulanwar—seorang fotografer, penulis, sekaligus desainer grafis buku dan majalah. Ia memaparkan cara menuliskan berita secara kreatif, yaitu dengan ‘memasak’ isu atau kejadian terkini menggunakan bumbu sastra dan metafora, tanpa mengorbankan nilai moral dan etika penulisan.
“Tingkatkan kualitas tulisan, hidupkan tulisan, tapi jangan abaikan etika jurnalistik: faktual, aktual, kredibel, independen, dan berpihak kepada masyarakat,” tegas Maysir.
Kutipan itu saya catat dalam-dalam, terutama saat membandingkan dengan kondisi tulisan dan pemberitaan hari ini yang tak jarang terjebak dalam ideologi hoaks. Etika menjadi fondasi yang harus dijaga.
Selanjutnya, saya mendengar pemaparan dari Rusdin Tompo, Koordinator Satupena Sulawesi Selatan. Ia menyampaikan satu kalimat yang begitu mengena:
“Problematika penulis sering kali bukan soal apa yang mau ditulis, tapi apa yang mau disampaikan.”
Beliau menekankan bahwa ide sebenarnya tak jauh dari keseharian kita. Setiap karya seni memiliki maknanya sendiri, dan tergantung pada bagaimana kita ‘mengantar’ makna itu—dengan bridging atau penghubung yang tepat dalam narasi agar menjadi logis dan kuat.
Bagi Rusdin, keterkaitan antara seni rupa dan sastra sangat erat. Menarasikan seni rupa melalui sudut pandang kreatif adalah bentuk inter-subjektivitas imajiner antara pencipta narasi dan penikmat seni rupa. Sastra, sekali lagi, menjadi penghubung antar bentuk seni.
Menulis tentang sebuah karya seni membuat saya semakin mencintai sastra—apapun bentuk dan ukurannya. Sekecil dan sependek apapun, sastra tetaplah bentuk perlawanan.
Membaca novel dan menulis puisi adalah bentuk perlawanan untuk menjaga nilai-nilai dasar dalam berperilaku. Sementara memahami sains dan filsafat adalah cara membentuk kepekaan sosial, rasa keadilan, dan kemakmuran dalam cara berpikir.
___
Bagai Mencuri Ilmu di Imperium Yunani, Oleh: Ahmad Amanullah (Mahasiswa Politeknik Kesehatan)