Raja Ampat bukan hanya gugusan pulau indah yang sering kita lihat di brosur pariwisata. Ia adalah episentrum biodiversitas laut dunia. Ia adalah rumah bagi ribuan spesies ikan, terumbu karang, hingga lamun yang menjadi tempat tinggal dugong—makhluk laut yang kini semakin langka.
PELAKITA.ID – Bayangkan sebuah pagi di Raja Ampat. Kabut tipis menyapu permukaan laut, ikan-ikan kecil melompat di kejernihan air, dan karang-karang berkilau memantulkan cahaya matahari pertama.
Di kejauhan, perahu nelayan tradisional melintas pelan, seolah berdialog dengan alam yang sejak lama mereka rawat. Di sini, laut bukan sekadar ruang ekonomi—ia adalah ruang hidup.
Namun, bayangan ini kini mulai pudar. Deru mesin berat dan izin tambang nikel mulai mengintai, masuk melalui celah regulasi dan logika pembangunan yang buta akan daya lenting ekologi.
Raja Ampat bukan hanya gugusan pulau indah yang sering kita lihat di brosur pariwisata. Ia adalah episentrum biodiversitas laut dunia. Ia adalah rumah bagi ribuan spesies ikan, terumbu karang, hingga lamun yang menjadi tempat tinggal dugong—makhluk laut yang kini semakin langka.
Tapi lebih dari itu, Raja Ampat adalah ruang hidup bagi masyarakat adat yang telah menjaga lautnya dengan kearifan lokal selama puluhan generasi.
Ketika tambang masuk, bukan hanya tanah yang dikoyak, tetapi juga tatanan sosial, budaya, dan ekologis yang selama ini hidup dalam keseimbangan.

Aktivitas tambang di kawasan Geopark dan pulau kecil seperti Raja Ampat bukanlah sebuah opsi pembangunan yang berkelanjutan. Ia adalah bentuk kegagalan berpikir jangka panjang.
Membangun Indonesia bukan berarti menjual masa depan anak cucu kita.
Bukan pula menggadaikan warisan ekologis demi memenuhi hasrat sesaat atas logam yang akan berkarat. Dunia kini bergerak menuju energi terbarukan dan ekonomi berkelanjutan, tetapi ironisnya, kita masih terjebak pada logika ekstraksi yang terbukti hanya menyisakan kerusakan dan konflik.
Lantas, untuk siapa tambang itu hadir? Untuk siapa hutan dibabat, laut dikotori, dan masyarakat adat dipinggirkan?
Sudah waktunya kita memikirkan pembangunan dengan cara yang lain—dengan cara yang lebih manusiawi dan menghargai alam. Bukan dengan merampas, tetapi dengan merawat.

Bukan dengan menghitung kekayaan dari isi perut bumi semata, tetapi dari kemampuan kita menjaga keseimbangan hidup.
Raja Ampat bukan tempat untuk besi tua masa depan. Ia bukan tempat untuk industri yang meninggalkan luka. Ia adalah tempat untuk kehidupan yang harus kita jaga, kita wariskan, dan kita rayakan sebagai bagian dari jatidiri bangsa maritim.
Jika kita masih percaya pada pentingnya keadilan ekologis, maka kita harus bersuara:
Tolak tambang di kawasan Geopark dan pulau kecil.
Revisi dokumen Amdal agar berpihak pada ekosistem dan masyarakat adat.
Tegakkan keadilan ekologis untuk generasi yang akan datang.
Menjaga Raja Ampat bukan hanya soal lingkungan, ini adalah soal keadilan, warisan, dan arah masa depan Indonesia.
___
Penulis Yusran, Komunitas Hijau