Yang sedang kita hadapi bukan krisis teknologi. Ini adalah krisis budaya. Media sosial hanyalah cermin; yang memantul adalah wajah kolektif kita.
PELAKITA.ID – Pekan ini kita dikejutkan ‘keberanian’ seorang anak muda di Galesong yang viral di medsos lantaran mengaku ditelanjangi oleh aparat penegak hukum.
Dia membeberkan kronologi, bagaimana ia diperiksa, diminta mengakui perbuatannya hingga dibawa ke tempat sepi, diinterogasi.
Penulis tidak bermaksud untuk menguak detil peristiwa itu tetapi lebih pada inisiatfinya membuka cerita, dan siap membagikannya di medsos.
Di Poros Pallangga Gowa, seorang warga merekam polisi lalu lintas yang disebutnya minta uang saat dia diperiksa tak lengkap saat berkendara di jalan raya. Dia berani merekam dan membagikannya.
Pembaca sekalian, media sosial semakin meneguhkan eksistensinya sebagai bentuk revolusi sunyi yang mengguncang cara kita berbicara, berpikir, dan memahami dunia. Juga tentang perlawanan pada ketidakadilan atau ketidakberesan sistem hukum kita.
Dalam waktu yang nyaris sekejap dalam sejarah, platform seperti Facebook, Instagram, X, dan TikTok mengoyak sekat-sekat lama yang dahulu menjaga ritme informasi, kepatutan publikasi dan perilaku kita berkomunikasi saat terhubung dengan aparat pemerintah. Dengan medsos, semuabisa dilawan, dilabrak.
Kini, tak ada lagi gerbang redaksi, atau kanal-kanal seperti TV atau radio, kita tak lagi perlu gelar atau lisensi saat mewartakan.
Siapa saja bisa berbicara kepada semua, kapan pun, dari mana pun.
Sekilas, ini tampak seperti euforia demokrasi: suara yang dahulu terpinggirkan kini bisa menggema sejajar dengan tokoh publik.
Ruang digital menjanjikan kesetaraan—antara rakyat dan elite, antara pinggiran dan pusat. Namun, seperti setiap revolusi, ia datang dengan wajah ganda: yang terbuka bukan hanya pintu kebebasan, tapi juga jurang kekacauan.
Kini, dalam lanskap yang penuh suara, siapa yang paling didengar? Bukan yang paling jernih, bukan pula yang paling bijak, melainkan yang paling gaduh. Algoritma tak mencari kebenaran, ia hanya mengendus emosi.
Maka yang viral menjadi “benar”, dan yang valid terlindas oleh gelombang impresi. Sensasi menggeser substansi. Kehebohan menjadi mata uang yang lebih berharga daripada pemahaman.
Popularitas menggantikan kompetensi. Opini yang tajam tapi kosong menyebar lebih cepat dari analisis yang telaten dan jernih. Ruang digital bukan lagi tempat pertemuan akal sehat, melainkan arena yang mempercepat kesimpulan dan mematikan kemampuan mendengar. Dialog berubah menjadi gema.
Yang kita dengar hanyalah gema dari keyakinan sendiri.
Namun, masalahnya bukan pada kebebasan bersuara. Hak itu tak boleh diingkari. Yang menjadi soal adalah kesiapan kita menyambut banjir suara itu.
Tanpa fondasi literasi dan nalar yang kokoh, masyarakat hanya akan hanyut, terseret dalam arus kabar palsu, ujaran panik, dan kebisingan yang tak membawa makna.
Media sosial pun menjelma pasar malam gagasan: hiruk pikuk, penuh kilau, tapi membingungkan. Judul yang meledak-ledak, video yang dicabut dari konteks, dan opini liar jauh lebih laku ketimbang esai yang pelan-pelan menyusuri kedalaman.
Alogaritma mempertebal dinding ruang gema, dan kita kian tenggelam dalam keyakinan sendiri yang tak pernah diuji ulang.
Yang kita butuhkan bukan lebih banyak suara, melainkan lebih banyak kebijaksanaan untuk mendengar. Masyarakat yang sehat bukan hanya bebas berbicara, tapi juga mampu menimbang, meresapi, dan memilah.
Pendidikan pun harus melampaui keterampilan dasar: ia mesti menumbuhkan kepekaan, membangun nalar, dan mengasah tanggung jawab etis dalam berkomunikasi.
Tentu, tak semuanya gelap. Di tengah riuh digital, masih ada lentera-lentera yang menyala: jurnalis yang gigih, guru yang sabar, peneliti yang jujur, dan warga yang bijak.
Mereka menulis, berbagi, dan berdialog bukan demi viral, tetapi demi pemahaman. Tantangannya kini adalah: bisakah kita memberi mereka ruang? Bisakah kita mengubah algoritma agar lebih berpihak pada makna ketimbang gema?
Yang sedang kita hadapi bukan krisis teknologi. Ini adalah krisis budaya. Media sosial hanyalah cermin; yang memantul adalah wajah kolektif kita.
Jika yang kita lihat adalah kebisingan, maka mungkin yang perlu kita benahi adalah diri. Nilai apa yang sedang kita pupuk? Kebijaksanaan, atau pengakuan semu?
Kita bisa memilih. Apakah akan terus menyerahkan panggung kepada yang paling nyaring, atau mulai menyimak mereka yang meski lirih, menyimpan kedalaman? Media sosial bisa membebaskan, tapi juga bisa membutakan.
Semua tergantung pada bagaimana kita menggunakannya—dan budaya macam apa yang kita bangun di atasnya.
Sebab dalam dunia yang kian gaduh, menjadi bijak bukan hanya perlu—ia adalah bentuk keberanian yang paling radikal.
Ankel John’s Coffee, Makassar. 2 Mei 2025