PELAKITA.ID – Akuakultur atau budidaya perikanan telah menjadi sektor yang berkembang pesat, namun menghadapi tantangan besar akibat perubahan lingkungan dan tekanan terhadap organisme budidaya.
Hal tersebut disampaikan Iqbal Djawad berkaitan dimensi dunia akuakultur di masa depan.
Pandangan Guru Besar Fisiologi Akuakultur Unhas itu berdasarkan pengalamannya sejak tahun 1991.
Pengalaman dalam menekuni bidang ini, khususnya dalam mengeksplorasi bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan serta kelangsungan hidup organisme akuakultur. Serta, bagaimana prinsip bioenergetika dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan.
Perjalanan Ilmiah dan Pengalaman
Iqbal Djawab dalam pidato pengukuhan guru besar di hadapan Paripurna Senat Akademik Unhas, di Lantai 2 Gedung Rektorat Unhas, Selasa, 18/2/205 menyebut, ketertarikannya terhadap fisiologi lingkungan dimulai ketika menjadi Larviculture Specialist di PT Sulawesi Agro Utama Bulukumba pada tahun 1989.
”Rasa ingin tahu saya semakin berkembang setelah menyaksikan bagaimana organisme akuakultur beradaptasi terhadap lingkungan yang dinamis,” ucap Iqbal.
”Pada tahun 1990, saya memperoleh beasiswa dari Pemerintah Jepang (Monbusho) untuk belajar di Hiroshima University di bawah bimbingan Profesor Kenji Namba, seorang ahli dalam fisiologi hewan air dengan spesialisasi sistem metabolisme, pernapasan, dan sirkulasi larva serta ikan dewasa.” jelasnya.
”Dalam studi tersebut, saya melakukan penelitian pada beberapa spesies ikan, seperti red sea bream (Pagrus major), Japanese flounder (Paralichthys olivaceus), Ayu (Plecoglossus altivelis), dan Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis),” ungkapnya,
Iqbal kembali ke Indonesia pada tahun 1997.
”Saya melanjutkan penelitian tentang larva ikan tropis, seperti kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu tikus (Chromileptes altivelis), baronang (Siganus guttatus), bandeng (Chanos chanos), kakap (Lates calcarifer), dan kuda laut (Hippocampus barbouri),” paparnya.
Fisiologi, Bioenergetika, dan Stres dalam Akuakultur
Selama 25 tahun penelitian, kami menemukan bahwa perbedaan respons fisiologis antara larva ikan tropis dan subtropis terletak pada adaptasi terhadap suhu, alokasi energi, serta respons terhadap perubahan lingkungan.
Menurut Iqbal, tantangan utama dalam akuakultur modern adalah meningkatnya intensifikasi produksi, yang sering kali mengarah pada kondisi lingkungan yang kurang optimal.
”Faktor-faktor seperti kualitas air, kepadatan tebar, pola makan, dan sanitasi dapat menyebabkan stres akut maupun kronis pada ikan, yang berdampak negatif terhadap produktivitas,” kata Iqbal.
”Dalam penelitian mitra kami di Jepang, ditemukan bahwa stres fisiologis pada ikan dipicu oleh hormon kortisol,” lanjutnya.
Di Universitas Hasanuddin, lanjut Iqbal, dia dan kolega membuktikan bahwa pertumbuhan optimal pada larva ikan laut berkaitan dengan peningkatan kadar kortisol akibat gangguan lingkungan.
”Namun, respons ini tidak selalu dimediasi oleh reseptor glukokortikoid (GR), seperti yang terlihat pada larva ikan kerapu dan kakap, yang menunjukkan sensitivitas berbeda terhadap stres lingkungan,” jelasnya.
Pendekatan Baru dan Solusi Inovatif
Salah satu tantangan besar dalam akuakultur adalah kurangnya biomarker stres yang andal untuk mengevaluasi kondisi pemeliharaan.
”Penelitian kami menunjukkan bahwa hilangnya sebagian fungsi permukaan kulit akibat paparan suhu ekstrem dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan,” sebut Iqbal.
”Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk meningkatkan kenyamanan ikan budidaya guna mengurangi dampak negatif dari stres lingkungan,” tambahnya.
Beberapa solusi yang telah diteliti oleh Iqbal dan mitranya meliputi nutrisi fungsional:. ”Ini tentang pemanfaatan asam amino dalam diet ikan untuk mengurangi respons stres,” kata dia.
”Lalu minyak atsiri sebagai obat penenang. Studi menunjukkan bahwa minyak atsiri dapat mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan ketahanan ikan terhadap stresor lingkungan,” terangnya.
”Pemantauan spesies non-Invasif. Penggunaan perangkat inovatif untuk memantau respons fisiologis ikan secara real-time, guna meningkatkan akurasi dalam manajemen akuakultur,” tambahnya.
“Studi lainnya adalah optimasi pemberian pakan. Mengatur jumlah dan frekuensi pemberian pakan untuk menjaga homeostasis dan mengurangi stres oksidatif,” lanjut Iqbal.
”Berikutnya adalah integrasi teknologi dalam akuakultur. Akuakultur modern menuntut integrasi dengan teknologi canggih untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan,” sebut Iqbal.
Dia menyebut, penggunaan sensor lingkungan, kecerdasan buatan (AI), serta analisis big data memungkinkan monitoring kondisi ikan secara lebih presisi.
”Dengan pendekatan ini, kita dapat menyusun model bioenergetika yang lebih akurat, sehingga produksi akuakultur dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan secara optimal,” tegasnya.
Di ujung orasinya, fisiologi lingkungan dan bioenergetika memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk mengatasi tantangan akuakultur, dari manajemen kualitas air hingga adaptasi terhadap perubahan iklim.
”Dengan pendekatan berbasis data dan kolaborasi lintas disiplin, kita dapat menciptakan sistem akuakultur yang lebih berkelanjutan dan efisien,” sebut pria yang akrab disapa Imba ini.
Di pandangan Iqbal, di masa depan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi spesies ikan yang lebih tahan terhadap kondisi ekstrem serta mengoptimalkan alokasi energi untuk pertumbuhan dan reproduksi.
”Dengan menerapkan inovasi teknologi dan pemodelan bioenergetika yang mutakhir, kita dapat membawa industri akuakultur menuju masa depan yang lebih produktif dan ramah lingkungan,” kuncinya.
Penulis Denun