PELAKITA.ID – Tak setuju perjanjian Bungaya, Karaeng Galesong menarik jangkar perahunya. Diam-diam dia meninggalkan pantai Galesong dan bersama pengikut tersisa melanjutkan perlawanan.
Belum kering tulisan perjanjian sepihak itu, Karaeng Galesong menyulut sumbu perang lanjutan ke Belanda. Laut adalah mediumnya.
Di laut Spermonde (kini, meliputi perairan kabupaten Takalar hingga Pangkajene Kepulauan di utara), Belanda mengkliam adanya gangguan dari
“Macassarsche zee rovers”, lanun dari Makassar. Itulah armada yang dipimpin oleh Karaeng Galesong; I Mannindori.
Karaeng Galesong adalah putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari Kampung Bonto Majannang. Karaeng Galesong bernama lengkap I Mannindori Kare Tojeng Karaeng Galesong yang lahir pada 29 Maret 1655.
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, ia diangkat sebagai Karaeng Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi panglima perang kerajaan Gowa.
Bersama prajuritnya nan setia, Karaeng mengembara di Selat Makassar dan mengganggu kepentingan pelayaran Belanda.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Karaeng Galesong akhirnya diterima dan dilindungi oleh Trunojoyo di Jawa Timur.
Disebutkan dalam sejarah bahwa di saat Trunojoyo (Pangeran dari Madura) melakukan perlawaanan di kerajaan Mataram terhadap Belanda pada tahun 1676-1679, Karaeng Galesong turut mendukungnya.
Di dalam buku sejarah disebutkan Karaeng Galesong dikuburkan di Jawa Timur, di Malang. Jauh dari kampung halamanannya.
Bagi penulis, kegigihannya mengobarkan perlawanan ke VOC Belanda menjadi cerita berbeda dari Sulawesi Selatan dan layak diapresiasi.
Lantaran itu, sejak tahu bahwa makamnya ada di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, tentu sungguh ingin menyiarahinya.
***
Bulan September 2014, kesempatan itu datang. Dalam lawatan kerja ke Surabaya dan Kabupaten Malang, diam-diam saya menyusun rencana untuk menyambangi kediaman Karaeng.
Ide itu menjadi nyata saat bersua dua orang sahabat saya, Muhammad Tang, dosen ISIPOL Unhas yang sedang mengikuti studi Doktoral di Unibraw Malang dan Buyung Romadhoni, putra Prof. Aminuddin Salle, salah akademisi Universitas Hasanuddin yang juga berdarah Galesong. Keduanya tahu bahwa saya sangat ingin ke Ngantang.
Di Warkop Phoenam Malang (20/09/2014), kami bersepakat untuk bersama ke Ngantang, kebetulan juga Ngantang adalah salah satu kawasan di Kabupaten Malang yang merupakan lokas rawan bencana.
Kunjungan saya ke Malang berkaitan dengan pengkajian kapasitas kantor BPBD Kabupaten Malang dalam penanganan risiko bencana. Maka jadilah, saya ke Ngantang untuk observasi lokasi bencana dan pada saat yang sama berkunjung ke makam Karaeng Galesong.
Perjalanan dari Kota Malang via Batu menuju Ngantang sekitar 2 jam. Ini perjalanan pertama saya ke Batu. Pemandangan menawan dari Gunung Arjuno serta lekuk lereng yang menghijau menjadi bonus perjalanan kami (21/09/2014).
Tidak sulit untuk sampai ke pemakaman itu karena Donny, begitu saya memanggil Buyung Romadhoni yang memandu kami, sudah pernah ke sini sebelumnya. Kawasan Ngantang berada di sisi utara Gunung Kelud.
Saat erupsi Kelud tahun 2013, kawasan ini tertutup pasir dan debu erupsi. Situasi itu terlihat saat kami menyusuri jalan menuju permakaman.
Di halaman rumah dan di sisi kiri kanan jalan masih terdapat gundukan pasir halus sisa erupsi. Sebagian warga menggunakannya sebagai bahan membuat batu bata. Pada beberapa rumah bahkan terlihat menutup beberapa bagian dinding.
“Saat erupsi Kelud, seorang teman dari Malang datang ke sini membersihkan makam ini,” timpal Doni saat kami mengarah ke makam. Teman itu, kata Doni, sangat antusias memberikan perhatian pada keberadaan makam ini.
Kami menyusuri jalan menanjak yang sudah dibeton. Pohon kamboja di kiri kanan terlihat meranggas, ini musim kemarau, dedaunan terlihat menua dan mengering. Di sisi kiri kanan jalan selebar dua meter lebih itu terlihat pasir menumpuk.
Sampailah kami di makam karaeng. Makam yang dibatasi oleh tatakan batu bata merah yang nampaknya telah berusia lama. Di dalam makam terdapat pohon besar yang juga telah berusia lama.
Di bagian kepala makam Karaeng terdapat tulisan; Di sini makam pejuang agung yang pantang menyerah menentang VOC dan kedzaiman di abad 17, putra Sultan Hasanuddin, Raja Gua, menantu Raden Trunojaya, murid Panembahan Giri Panglima Perang Lasykar Makasar di Jawa Timur. Kareng Galesong Tumenanga ri Tappa’na, Ngantang 1 Muharam 1420. Jama’ah Ansarulah.”
Makam ini terlihat terawat dan bersih. Makam Karaeng Galesong relatif pendek tak sampai semester dengan dua batu nisan tebal tanpa ukiran.
“Makam ini tidak seperti yang saya lihat sebelumnya, sepertinya telah ditinggikan, ada beberapa bagian yang telah tertutup,” imbuh Donny. Pasca erupsi Kelud, perhatian warga sekitar sepertinya cukup besar untuk mengamankan makam ini. Apalagi sejak hujan debu dan pasir menutup sisi utara Gunung Kelud.
Dari dua warga yang saya temui siang itu, keduanya mengetahui bahwa ada makam menantu Sultan Trunojoyo namun tidak begitu mengetahui sejarah asal usulnya.
Pak Suan yang siang itu sedang mengupas kelapa mengatakan bahwa ia hanya tahu bahwa makam itu makam orang penting namun tak tahu siapa itu Karaeng Galesong.
Pak Jumali, warga lainnya yang tinggal tak jauh dari makam mengakui bahwa makam itu seriang dikunjungi oleh pendatang dari Malang.
Dari warga kami memperoleh nama, yaitu Bapak Nur Yasin, yang telah melaksanakan penataan ulang makam Karaeng Galesong. Nur Yasin adalah pengasuh pondok pesantren yang letaknya sekitar 200 meter dari lokasi makam. Di rumah yang juga lokasi pesantren tersebut terlihat foto Yasin dan Cak Nun, bertahun 1999.
“Kampung ini dulu tertutup debu dengan tinggi hingga 60 cm, kami mengungsi hingga 5 hari,” sebut Yasin.
Menurut Yasin, ini bukan yang pertama, sebelumnya telah ada kejadian serupa tahun 1901, tahun 1920, tahun 1950, tahun 1965, tahun 1990 dan terkahir tahun 2014 ini.
Tahun 1990 kawasan yang terkena adalah Kabupaten Blitar, tahun 1979 dan 1957 terdapat 3 kabupaten yang terpapar yaitu Malang, Kediri dan Blitar.
“Baru tahun ini yang dampaknya sangat parah untuk Ngantang,” ungkap Yasin. Ngantang berjarak sekitar 5 kilometer dari lokasi Gunung Kelud. Kampung dimana pak Yasin tinggal bernama Dusun Kebonsari., Desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang.
“Makam Karaeng Galesong ini oleh warga desa di kecamatan Ngantang kerap disebut Mbah Rojo,” kata Yasin.
Keberadaan makam ini sering dikaitkan dengan Mbah Segalhor, Putri Koneng hingga episode perjuangan Trunojoyo melawan Belanda. Nama-nama ini sering dikisahkan oleh warga desa-desa di Ngantang.
Dari pak Nur Yasin, kami akhirnya tahu siapa di balik gagasan menata dan merenovasi makam Kareng Galesong. Sosok itu adalah Gus Dur.
“Waktu periode Gus Dur, pemerintah daerah di Jawa Timur diminta untuk mengidentifikasi situs-situs sejarah, makam-makam raja serta tempat bersejarah untuk dirawat dan dikelola,” papar Yasin.
Disebutkan bahwa setelah itu, Pemerintah Kabupaten Malang lalu mengajak warga untuk mulai merehabilitasi dan menjaga situs sejarah.
“Memang, sebelum-sebelumnya, banyak pengunjung ke makam Karaeng Galesong ini yang berasal dari Sulawesi. Karenanya banyak warga menganggap bahwa Karaeng Galesong memang tokoh penting,” katanya.
***
Dalam perjalanan kembali ke Malang, Donny memantik rasa penasaran, atau cerita versi warga Ngantang.
Cerita itu menyatakan keberadaan Karaeng Galesong di Ngantang ini menimbulkan spekulasi juga bahwa kematiannya bermula dari murka Trunojoyo. Adalah perintah Trunojoyo yang tak dipatuhi oleh Karaeng Galesong.
Karenanya, dia dan pengikutnya dihukum pancung. Dugaan ini dikaitkan dengan ada beberapa makam di kiri-kanan Karaeng Galesong yang diyakini sebagai pengikutnya.
“Ada yang bilang Karaeng dipenggal dan dikuburkan bersama pengikutnya. Mungkin karena kegigihanya pada apa yang diyakininya,” ungkap Dony. Namun demikian, ini adalah versi warga Ngantang.
“Masih harus diteliti keabsahannya,” kami saling memandang, kami sepakat.
Untuk mengungkap itu diperlukan penelitian komprehensif dan dalam. Tentu membutuhkan dukungan banyak pihak termasuk Pemerintah Kabupaten Takalar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Atau, Anda mungkin tertarik?
Penulis: Denun