PELAKITA.ID – Literasi terkait pertanian, terutama pertanian alami atau berkelanjutan, masih perlu disuarakan. Apalagi jika itu menyangkut isu kedaulatan pangan, di mana perempuan berperan di dalamnya.
Peran aktivitas literasi ini diharapkan digerakkan oleh anak-anak muda, Gen Z, yang akrab dengan dunia digital.
Upaya untuk membangun kesadaran kritis kalangan Gen Z itu yang jadi alasan Sekolah Puan Tani mengadakan kegiatan Jejak Pena: Kelas Menulis Kreatif yang menghadirkan Rusdin Tompo, penulis dan editor buku.
Kegiatan ini digelar di Baruga Puan Tani, The Hidden Garden Sofresh’na, Dusun Bonto Panno, Desa Pakdinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, pada Sabtu dan Minggu, 29-30 Juni 2024.
Sofresh’na Indonesia merupakan penyedia pangan sehat hasil dari sistem natural alami. Produknya tersedia di marketplace.
Startup yang didirikan oleh Irmawati Daeng So’na dan Rayhana Anwarie ini, punya nilai-nilai yang diusung sebagai sebuah gerakan.
Nilai-nilai yang dianut itu adalah berkelanjutan, berkeadilan, berkearifan lokal, dan petani bahagia.
Lokasi kegiatan kelas menulis kreatif di Baruga Puan Tani, The Hidden Garden Sofresh’na, yang alami dan asri ini, terasa nyaman bagi peserta.
Dr Sarwinah, Kepala SD Negeri Sudirman 4 Makassar, yang menyempatkan singgah bersama suaminya, mengapresiasi kegiatan yang dilakukan.
Ia menilai tempat berbentuk rumah tradisional Makassar itu cocok sebagai lokasi pelatihan.
Rusdin Tompo menilai peserta punya potensi menulis karena mereka mampu bercerita dan memberi gambaran yang baik tentang desanya.
Para peserta memang rata-rata suka membaca dan akrab dengan aplikasi yang menyediakan konten cerita. Mereka ada yang masih pelajar SMA, ada yang baru mau masuk kuliah, dan ada yang berstatus mahasiswa.
Koordinator Perkumpul SATUPENA Sulawesi Selatan itu melihat potensi peserta setelah mereka memperkenalkan diri dengan cara menulis bionarasi yang lebih bercerita.
Dalam kelas menulis kreatif ini, dia menggunakan metode gambar untuk memantik peserta menulis.
Metode itu misalnya, digunakan saat meminta peserta berkisah tentang lingkungan seputar rumah, apa yang saya tahu tentang pertanian di desaku, dan masa kanak-kanakku di desa.
Secara sederhana, dia memperlihatkan bagaimana cara menghidupkan dan memperkaya tulisan. Katanya, sebaiknya mendeskripsikan dan menggambarkan apa yang ditulis, bukannya memberikan kesimpulan.
Terkait bagaimana memulai sebuah tulisan, dia memberi contoh kebiasaan membuat konten video yang bisa dimulai dari apa yang dianggap menarik secara visual. Cara ini ternyata mudah dipahami peserta.
Menurut pegiat literasi yang punya pengalaman lapangan sebagai aktivis itu, seorang fasilitator mesti mampu mengkreasikan metode sesuai situasi dan kebutuhan peserta.
Tantangan seorang fasilitator, yakni bagaimana memotivasi peserta agar mood mereka untuk menulis terjaga. Apalagi untuk pelatihan seperti ini yang langsung praktik.
Di akhir kegiatan, peserta melakukan pemetaan isu pertanian dan membuat kerangka tulisan sebagai rencana tindak lanjut.
Dia sangat berharap, kelas menulis kreatif yang baru diadakan di Baruga Puan Tani ini akan menghasilkan produk. Semua materi tulisan dan proses yang dijalani, rencana akan dibukukan. (*)
Penulis: Rusdin Tompo