PELAKITA.ID – Yulianti Tanyadji adalah salah satu arsitek yang kerap membagikan perspektifnya tentang bagaimana semestinya kota seperti Makassar dibangun dari waktu ke waktu.
Saya mengenalnya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu saya sebagai blogger sekalgus pekerja LSM yang aktif berinteraksi dengannya untuk ‘knowledge sharing’ para pekerja sosial, komunitas dan peneliti kota dalam melihat dan membangun kota.
Seingat penulis pertama kali pada satu momen di sekitar Pantai Losari berkaitan pengalaman masing-masing menjalankan program terkait tata kelola kota lalu berlanjut di Makassar International Writers Festival.
Yuli, begitu saya menyapanya adalah bagian dari owner Café Mama, menurun dari ibunya, yang terkenal di Makassar bahkan di Nusantara.
Meski menggeluti usaha kuliner, dia adalah arsitek jebolan Universitas Parahyangan Bandung.
Café Mama menyajikan kue-kue khas Makassar dalam aneka bentuk dan taste. Khas Makassar, dari sini kita bisa simpulkan kepingan kecintaan keluarga Yuli pada khazanah kuliner Makassar.
Ada dua spot di Makassar yang lekat dengan kiprah kafe tak biasa ini. Di Jalan Serui nan luas serta di Jalan Bau Mangga.
Yang di Jalan Serui adalah induk Café Mama, di Bau Mangga cabangnya. Masing-masing punya daya pikat dan pelanggan. Belakangan ini penulis lebih sering datang di cabang.
Yang di Jalan Seru, bertahun lalu, kerap digunakan sebagai wahana diskusi dan sharing pengalaman pekerja kota. Juga sebagai lokasi pameran.
Setahu penulis, karakter, visi, konstruksi, interior dan segala pernak Pernik Café Mama yang di Bau Mangga lahir dari sentuhan Yuli, dan suaminya. Café dua lantai ini menyajikan aneka es krim, bubur Manano, lopis, kue-kue khas Makassar.
Setelah bertahun-tahun tak bertemu, penulis akhirnya bersua Yuli.
Seperti penulis, beberapa rambut putih nampak di kepalanya. Saat bertemu, pada Sabtu, 13 April 2024, dia menyebut sedang janjian dengan Cora, aktivis tata kelola Urban asal Makassar yang kini berdomisi di Bali.
Cora adalah sosok di balik pemberdayaan dan pelibatan warga di pesisir Makassar dalam perencanaan pembangunan permukimannya. Ada disain rumah dan tata ruang yang sedang difasilitasi oleh Cora waktu itu. Cora berduet dengan aktivis Urban Poor Consortium kala itu, Muhammad Nawir.
Pertemuan dengan Yuli menghantar saya pada perbincangan bagaimana wajah Makassar saat ini. Juga tentang kesan baik, keramahatamahannya, sikap tegas dan disiplinnya.
Kami berbagi tentang apa-apa saja yang baru di kota Makassar, apa yang berbeda, tentang apa yang semestinya dilakukan dan apa yang tidak semestinya dilakukan atas kota. Tentang pohon, tentang ruang publik.
Dia tahu kalau saya banyak berinteraksi dengan Pemerintah Kota Makassar, tahu tentang dinamika di Karebosi, Pantai Losari hingga transportasi massal di Mamminasata.
Banyak obrolan kami yang menyoroti leadership dan perilaku perencana kota, tentang motif orang-orang, tentang urgensi kekuatan komunikasi pemimpin kepada warga atau pemangku kepentingan kota.
Termasuk bagaimana semestinya pemimpin merespon atau mendengar dinamika dan harapan serta pandangan berbeda berkaitan visi misi pembangunan kota.
Yang penulis ingat bahwa Yuli menyebut atensinya pada kota seperti Makassar masih sangat kuat.
“Tidak ada yang berbeda daeng, dibanding dulu,” katanya.
“Jika selama ini tak seintens dulu, bisa jadi karena kami sedang bekerja dengan kelompok-kelompok kecil, dengan komunitas pemerhati kota. Kami ada semacam komunitas pejalan kaki.” Lebih kurang begitu update-nya.
“Kami berjalan, melihat kota lebih dekat,” tambahnya.
Tentang Yulianti Tanyadji, saya membayangkan kelak bisa duduk bersama dengannya, dengan para pemangku pembangunan kota seperti Makassar, Galesong, Maros, Sungguminasa hingga Pangkep dan Barru.
Penulis: Denun