PELAKITA.ID – Prof Dr Eng Ir Asri Jaya, S.T, MT, IPM menjadi pembicara pada FGD Inisiasi Geopark Gowa yang digagas dan dirancang bersama Pemda Gowa dan IKA Unhas Sulsel di Baruga Karaeng Pattingngalloang, Kantor Bupati Gowa, 17/4/2023.
Pada penjelasannya, guru besar Teknik Geologi Unhas bidang struktur geologi dan tektonik kelahiran Atapange Wajo ini memaparkan topik berjudul Potensi dan Tahapan Pengusulan Geoheritage Gowa.
Dia menyebut Kabupaten Gowa punya keunikan sebagai kabupaten dengan lanskap pegunungan, pendalaman hingga pesisirnya.
Hematnya, Gowa sangat berpotensi menjadi geopark sebagaimana konsep geopark telah menjadi perhatian dunia serta mendapat dukungan dari banyak pihak termasuk Pemerintah melalui Peraturan Presiden.
Menurut dia, Georpark merupakan bentuk dari keterpaduan beberapa situs, ada geoheritage, biodiversitas dan khasanah budaya.
Alumni pada School of Engineering and Resource Science Akita University, Jepang ini menyebut Geohehitage merupakan basis bagi tumbuh kembangnya pariwisata, meski demikian perlu dukungan kapasitas para pemangku kepentingan melalui pendidikan.
“Pariwisata bisa tidak berjalan kalau pendidikan tdiak jalan, karena di geopark itu ada upaya melindungi kawasan dengan pendekatan berkelanjutan,” ucap Asri.
“Sebelum masuk ke dalam tahapan atau apa itu geopark maka perlu diketahui ada tiga kaitannya pertama keragaman geologi, kedua budaya dan ketika biodiversity,” ujarnya.
Menurut dia, geopark menjadi sangat penting karena bertujuan dan memberikan manfaat pada upaya konservasu, pada upaya edukas dan pendekatan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
“Geopark adalah sebuah wilayah geografis tunggal dan terpadu di mana memiliki situs geologi penting bernilai internasional atau terkemuka, dan bentang alam yang dikelola secara konsep holistic, dan memiliki nilai perlindungan, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan,” terangnya.
“Membangun sebuah geopark harus diawali dengan melakukan inventarisasi Keragaman Geologi Geodiversity untuk menetapkan Warisan Geologi atau Geoheritage,” ucapnya.
Disebutkan juga bahwa kawasan kabupaten Gowa mempunyai bukti geologi yang kuat sebagai batas lempeng antara Maros Pangkep dan ada di atas dua lempeng atau gunung api yaitu Batu Rappe dan Lompobattang.
Prof Asri menyampaikan itu seraya menambahkan adanya spot magma di bawahnya.
Menurutnya beberapa geopark yang ada di Indonesia adalah juga destinasi wisata seperti Semeru, Ijen, Bali Batur, Danau Toba di Sumatra Utara.
“Bahwa Sulsel harusnya bisa lebih banyak lagi, kemudian geografinya pun ada Selat Makassar, dimana mengubungkan antara Samudera Pasifik dan Hindia,” ucapnya.
“Dan paling unik dan ini telah dipakai Wallacea dengan membentuk atau membuat garis pembeda, dan geopark itu berbeda, ini yang kita bisa diskusikan,” ujarnya.
Mengapa Gowa?
Menurut Prof Asri ada beberapa alasan mengapa Gowa bisa diusung menjadi geopark.
Pertama karena potensi sumberdaya geologi. Tentang posisi magma, ada Batu Rappe dan Lompobattang, bahwa Sulsel adalah jalur magma. “Jadi kalau cari nikel di tenggal, emas di Sulsel,” imbuhnya.
Dia menyebut itu bahwa dari sisi geologfi, ada sejarah gunung api dan gempa tektonik.
Alasan kedua menurut Asri adalah Gowa sebagagi penopang Makassar, ada sumberdaya air di hulu Gowa.
“Termasuk menopang daerah Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Bulukumba,” ucapnya terkait Lompobattang dan Batu Rappe itu.
“Ketiga adalah merupakan potensi sumber daya pertambangan, ada good mining practices dan perlunya keberlanjutan,” tambahnya.
Dia menyebut ada hampran material konstruksi untuk mendukung kebutuhan material pembangunan di Kabupaten Gowa dan Kota Makassar., ada batu kali, pasir, batu split atau chipping dan lain sebagianya.
Poin keempat yang disampaikannya adalah tentang adanya cadangan biosfer dan keanekaragaman hayati.
“Walaupun Gowa bukan zona inti atau penyangga Biosphere, namun tetap memiliki arti penting terutama ekosistem dataran tinggi (Lompobattang-Bawakaraeng) terhadap daerah sekitarnya, terutama Kota Makassar yang memiliki populasi paling tinggi dibanding daerah di sekitarnya,” paparnya.
Alasan kelima menurut Asri adalah bahwa Gowa saat ini sudah menjalankan praktik pariwisata.
Dia pun mengingatkan bahwa Kawasan Geopark harus memiliki situs warisan geologi yang sudah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1 Tahun 2020, dan memperlihatkan upaya konservasi terhadap situs warisan geologi yang sudah ditetapkan
“Destinasi wisata sudah berjalan, ini harus menjadi bagian dari manajemen geopark dan kalau bsia dapat masuk UNESCO, ini kita sudah ada pintu masuk seperti Maros Pangkep itu,” ujarnya.
Dia mengingatkan untuk hati-hati untuk bisa punya manajemen sendiri. “Harus punya manajemen sendiri, kita harus yakinkan mereka bahwa Malino dan sekitarnya bisa tetap sejuk, berinovasi dan menjaga biodiversitasnya,” saran Asri.
Untuk asesmen geoheritage, dia menjelaskan beberapa aspek.
“Geodiversity yang memiliki nilai yang signifikan (tinggi) sehingga perlu dilindungi dan diwariskan (Geoheritage) pada generasi berikutnya,” ucapnya.
Nilai yang dimaksud Prof Asri adalah ilmiah dan pendidikan atau dengan kata lain berperan untuk riset dan akdemik, serta pengembangan ilmu kebumian.
Lalu estetika atau persepsi keindahan dari komponen geologi di suatu daerah. “Budaya kaitannya antara kondisi geologi dengan budaya, tradisi, ritual, maupun kepercayaan masyarakat setempat,” jelasnya.
“Wisata yaitu dimanfaatkan menjadi objek wisata berbasis geologi untuk mendukung perekonomian masyarakat setempat serta dimensi lingkungan kaitannya aitannya dengan perlindungan untuk pembangunan berkelanjutan,” terangnya.
Pada kesempatan itu Prof Asri juga menjelaskan langkah-langkah yang bisa ditempuh, tahapan pengurusan geoheritage termasuk bagaimana inventarisasi dan hubungan antar unsur.
Beberapa yang disampaikan adalah perlunya memfasilitasi pembentukan Tim Task Force, melaksanan survei dan pematangan site.
“Termasuk transformasi lokasi wisata ke situs geoheritage atau Geopark lalu berikutnya adalah menggelar FGD Pemangku Kepentingan menyusun Timeline Pengusulan Geoheritage dan Geopark,” pungkas Prof Asri.
Editor: K. Azis