“Pemertintahan bukan hanya butuh jargon, tapi sinergitas antara visi dan realitas yang harus diperlihatkan.”Praktisi Hukum Syahrir Cakkari
Hukum perencanaan pembangunan daerah
Pernyataan Syahrir di atas itu menarik untuk dielaborasi. Seperti apa sinergi, visi, realitas dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dan perundangannya sehingga dapat mengikat secara hukum dan bisa dipertanggungjawabkan.
Maqbul Halim, menuliskan. “Kepastian hukum tertinggi, terletak pada kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat? Sudah menjadi pemikiran (pemahaman) kolektif, bahwa hukum di Indonesia, merupakan sekat tipis yang berdiri di antara kegiatan ekonomi dan politik.”
Menurutnya, seharusnya hukum ini menjadi pilar, sebagaimana diamanatkan konstitusi, tetapi terjadi penyimpangan tafsir, dari tafsir gagasan tertib sosial, menjadi gagasan tertib regulasi.
“Padahal, tertib regulasi masalah administrasi hukum, sementara tertib sosial itu menjadi tujuan penegakan hukum,” sebutnya.
Dia bilang, sudah sering kita melewati masa, sejak tahun 1999, dimana regulasi yang mengikuti setiap peristiwa, bukan peristiwa yang diciptakan oleh regulasi maka lahirlah istilah kriminalisasi.
Maqbul menyampaikan itu berkait postingan Azwar Hasan tentang perilaku akademisi atau orang kampus dan menyebutnya sebagai ‘kampus sebagai kandang kambing’. Kambing yang bisa saja merujuk koor atau mengembik semata, tidak berpikir, atau bahkan ‘no ethics’.
Admin lalu mengarahkan proses obrolan pada bagaimana transformasi kapasitas orang-orang per orang, aspek manajemen dalam organisasi dan bagaimana sistem dihidupkan dengan baik dan faedah yang oleh Acram Mappaona Azis sebagai ‘praktik hukum sejatinya bukan jargon, tapi fondasi organisasi negara’.
“Negara kita adalah negara hukum, di dalamnya ada cita, yaitu manfaat, adil dan pasti. Tapi per hari ini menjauh dari cita itu,” sebutnya.
Syamsir Anchi menimpali. “Tidak bisa dipungkiri, hukum dibuat untuk dilanggar sebagian besar orang, tidak usah dulu norma tertulis, larangan norma yang tidak tertulis yang tabu untuk dilanggar, juga parah.”
Hukum perencanaan pembangunan daerah
Terkait aspek hukum, kemampuan organisasi pemerintahan dalam menjawab ekspektasi publik, perlunya penguatan perencana dan pengambil kebijakan untuk bisa menghasilkan perencanaan atau solusi pembangunan daerah menjadi alasan admin mengemukakan perlunya memahami aspek hukum dalam perencanaan pembangunan daerah.
Anwar Ilyas menanggapi bahwa hal tersebut dengan mengemukakan fakta atau realitas.
“Beberapa kepala daerah, menjanjikan program yang gak masuk akal atau program, kegiatan yang dilaksanakan ternyata terbukti gagal, tapi dia tidak mau mengakui kegagalan itu, ini karena sang kepala daerah merasa dia paling pintar, hanya isi kepala dia yang benar,” sebutnya.
Dia menyebut peringatan atau kritik pada pemimpin dianggap memfitnah, kritik tanpa data.
Admin menyebut penilaian efektivitas pemerintahan daerah, penilaian kinerja, apakah efisien atau tidak, telah memberi dampak atau belum harusnya diperhadapkan dengan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan daerah seperti RPJPD, RPJMD, Rentstra, RKPD dan lain sebagainya.
“Di sana adalah poin-poin atau infotrmasi rujukan agenda perubahan. Ini yang banyak diabaikan. Harusnya ke situ semua perihal bermula,” tulis Kamaruddin Azis.
Menurutnya, dimensi dan praktik hukum perencanaan pembangunan daerah menarik untuk dielaborasi. “Masih mengikat secara hukumkah dokumen perencanaan yang diperdakan jika ada praktik program yang tak sesuai panduan RPJMD?” sebutnya.
“Bagaimana warga menagih jika dokumen ter-Perda itu tak dilaksanakan atau tak dimanifestasikan?” tambahnya.
Pernyataan itu ditanggapi oleh Ilham Hanafie. “Menarik. Ini ranahnya Prof Aminuddin Ilmar sebagai punggawanya ahli tata negara, juga banyak terlibat di pemerintahan daerah,” tangganya.
Tentang risiko perencanaan, tentang dokumen perencanaan yang tak terealisasi padahal sudah di-Perdakan adalah poin krusial obrolan ini. “Kalau ada yang tak tercapai, apa risiko hukumnya?”.
“Mungkin ini erat kaitannya dengnan 𝙢𝙞𝙨𝙗𝙧𝙪𝙞𝙠 𝙫𝙖𝙣 𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩 dalam Hukum Tata Negara,” jawab Ilham.
Istilah Belanda yang disebut Ilham adalah “penyalahgunaan hukum”.
“Perlu kita dengar apa dan bagaimana 𝙢𝙞𝙨𝙗𝙧𝙪𝙞𝙠 𝙫𝙖𝙣 𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩 ini dalam optik Hukum Tata Negara. Contohnya, penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana yg diamanatkan dalam RPJMD,” tambah Ilham.
Gayung bersambut. Apa yang disampaikan Ilham itu dibayar kontak Guru Besar Fakultas Hukum Unhas.
“Dalam undang-undang administrasi pemerintahan disebutkan ada dua dasar tindakan atau perbuatan pemerintahan yakni berdasar pada ketentuan perundang-undangan dan azas-azas umum pemerintahan yang baik serta kebijakan pemerintahan atau diskresi pemerintahan,” sebutnya Aminuddin Ilmar.
Tentang pandangan Prof Ilmar itu, Ilham melanjutkan dengan menyebut potensi 𝙤𝙣𝙧𝙚𝙘𝙝𝙩𝙢𝙖𝙩𝙞𝙜𝙚 𝙤𝙫𝙚𝙧𝙝𝙚𝙞𝙙 𝙙𝙖𝙖𝙙 atau 𝙥𝙚𝙧𝙗𝙪𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙬𝙖𝙣 𝙝𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙪𝙖𝙨𝙖.
“Kami rindu mengetahui apa gerangan konten dari 𝙖𝙨𝙖𝙨-𝙖𝙨𝙖𝙨 𝙪𝙢𝙪𝙢 𝙥𝙚𝙢𝙚𝙧𝙞𝙣𝙩𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙖𝙞𝙠 (algemeine beginselen van behorlijk bestuur), Prof.” lanjut Ilham.
Prof Ilmar menjawab. “Azas-azas umum pemerintahan yang baik yang biasa disingkat AUPB telah resmi menjadi salah satu dasar bertindak atau berbuat bagi pejabat administrasi pemerintahan. Di mana penggunaan AUPB dilakukan bilamana tidak terdapat suatu ketentuan aturan yang dapat menjadi dasar tindakan atau perbuatan kalaupun ada aturan itu bersifat samar-samar sehingga memerlukan interpretasi atau penafsiran untuk dijadikan dasar bertindak atau berbuat,” jelas Ilmar.
Namun, lanjut Ilmar, AUPM menjadi instrumen atau sarana untuk menilai apakah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pejabat administrasi pemerintahan tersebut telah sesuai dengan azas kecermatan bertindak, memberi kepastian hukum, bersifat terbuka dan atau tidak diskriminatif.
Dr Jusman, ASN di Pemkot Makassar yang juga alumni Ilmu Kelautan Unhas ikut memberi tanggapan.
“Seharusnya undang-undang atau regulasi tidak mengandung unsur bias atau abu-abu. Jangan sampai undang-undang ditafsirkan berbeda,” tanggapnya.
“Setahu saya perencanaan pembangunan acuan utama ada pada RPJP kemudian harus diikuti dalam merumuskan RPJPD dan selanjutnya terjabarkan dalam RPJMD yang menjadi acuan dalam merumuskan RKPD. Untuk melihat keberlanjutan apakah sinkron atau tidak seharusnya itulah yang dievaluasi dan dinilai oleh teman-teman dewan,” jawabnya.
Fungsi Dewan seperti itu harusnya sudah menjadi kewajiban dan karena itulah mereka ada. “Dewan kita bisa lakukan fungsi itu kan? Harusnya efektif ya,” ucap Kamaruddin.
“Tapi kebanyakan tidak pernah melihat RPJPD sehingga tidak punya acuan pada waktu membahas RPJMD dengan pemda,” tanggap llmar.
Penjelasan bahwa mekanisme Perda, berarti mekanisme perencanaan dipakai, ada proses implementasi, monitoring, evaluasi, atas Perda itu. “Kalau RPJMD sebagai produk hukum, perlu kita baca juga bagaimana eksekutif dan legislatif membangun relasi dan interaksi di dalamnya,” ujar Kamaruddin.
“Kesan umum bahwa mereka adem adem ayem saja berarti ‘sesuatu yang baik sedang berjalan’,” sebutnya.
Asrun Tukan, alumni Unhas yang berdomisili di Enrekang setuju dengan fingsi kontrol dan peran serta legislatif. “Idealnya seperti itu. Semoga di WAG ini kita betul-betul komitmen dan konsistensi dengan kemasylahatan ummat. Yakin Usaha Sampai,” sebutnya.
Apa yang bisa diharap dari eksekutif dan legislatif?
Admin lalu maju ke pertanyaan. “Fungsi kontrol, fungsi evaluasinya,gimana? Kalau ada dari sana yang perlu digas, tentu masyarakat sipil ikut bantu advokasi,” tulis admin terkait peran legislatif dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah.
“Eksekutif dan legislatif berada dalam keadaan sebagaimana dalam bahasa Bugis, Sipagguru guru, dalam mengurus pemerintahan,” timpal Maqbul Halim.
Realitas dan bikin sedih itu kalau rencana diubah semena-mena sebagaimana dituliskan Kamaruddin Azis.
“Menyedihkan itu kalau banyak sekali janji politik Pilkada, masuk ke RJMPD, lalu tiada angin tiada badai, semua diterabas. Diganti dengan program-program (atau semata kegiatan?) yang tidak ada satupun yang mengingatkan bahwa ‘kita pernah ada janji politik,” jelasnya.
Pendek cerita, terkait tema obrolan hukum Pemerintahanan, hukum perencanaan pembangunan daerah itu, maka perlu melihat bagaimana misalnya KPK selalu mengingatkan kita semua untuk konsisten pada dokumen perencanaan.
Ada beberapa kekhawatiran seperti laku copy and paste dalam praktik penyusunan dokumen, kongkalikong anggaran antara eksekutif dan legislatif. “Perda dibuat demi habiskan anggaran, studi banding dibuat demi hepi-hepi’.
Ini semua bermula dari kesan umum bahwa tanggung jawab eksekusi program adalah eksekuitf. Padahal di balik itu ada domonasi kuasa legislatif.
Maksud admin, mengapa kita tidak berani (termasuk akademisi yang tajam itu) untuk melihat ke relasi mereka legialstif dan eksekutif, lalu cari titik persoalan dalam perencanaan, visi misi, strategi, program dan efektivitasnya.
Adi Ahsan ikut urun rembug. “Saat ini pusat sudah menjadi “anggota DPTRD” baca PMK 193 dan 211.
“Anggaran DAU sudah ditentukan programnya, seolah-olah pusat tahu kebutuhan daerah,” sebutnya.
Dia menilai, “Negara ini sudah menuju arus balik, dari desentralisasi ke sentralisasi; baca juga program-program gelondongan di Kementerian,” tambahnya.
Bagi Ostaf Al Mustafa, jika melihat gejala copas itu, bermakna, apakah anggaran untuk membuat dokumen demikian juga sama, dengan membuat dokumen yang original? “Kalau anggaran sama berarti jalur korupsi berakar serabut mulai dari hal demikian,” lanjutnya.
Apa yang disampaikan Adi itu oleh Ostaf bisa juga berkaitan Omnibus Law. “Kewenangan daerah sudah dicerabut dari akar-akarnya tapi publik anteng aja. dalam hal perizinan semua sudah memusat, itu berarti banyak perda yang tidak berguna lagi atau berkurang konten pasalnya,” imbuhnya.
“Pasal-pasal perizinan hilang di tingkat daerah, itu berarti penganggaran dalam pembuatan perda juga berkurang karena adanya pasal yang menyusut isinya. Aku nanya, aku bertanya-tanya,” pungkas Ostaf.
Kesimpulan dan rekomendasi
Pertama, aspek mendasar dalam penyusunan rencana perubahan atau katakanlah agenda pembangunan daerah adalah transparansi, akuntabilitas dan kepatutan dalam menempatkan isu atau tema bersama dalam pembangunan daerah.
Kedua, kepala daerah atau pemimpin harusnya konsisten dengan janji politiknya dan secara berkala memberi laporan ke konstituen atau masyarakatnya tentang visi, misi, program dan capaianya.
Ketiga, aspek hukum dalam pemerintahan dan perencanaan pembangunan daerah harusnya kuat dan bsia menjadi ‘alat pemukul’ jika ada penyimpangan.
Fakta bahwa sejauh ini Perda tak berdaya, ditambah Pemerintah Pusat menarik banyak kewenangan daerah adalah sinyal bahwa harus ada avokasi dan perjuangan warga menuntuk legislatif dan eksekutif untuk menghampar realitas mekenaisme perencanaan, kebijakan penganggaran hingga printilannya. Terbuka berarti demokratis, akuntabel berarti taat azas.
Apa yang bisa direkomendasikan?
Pertama, untuk meningkatkan literasi hukum perencanaan pembangunan daerah maka perlu program, komunikasi dan pendekatan penguatan kapasitas bagi legislatif dan eksekutif, sementara pada pihak masyarakat perlu ada paralegal atau organisasi masyarakat sipil yang membangun sinergi dengana mereka.
Kedua, sanksi bagi pelanggar isi dan substansi dokumen perencanaan pembangunan daerah harusnya ditegakkan sesuai semangat Perda dan UU yang relevan. Perlu ‘watchdog’ untuk semua dokumen seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, Resntra, hingga program-program. Model ‘Legislative and Executive Watch’ niscaya dan harus diaktifkan secara konsisten.
Ketiga, menggiatkan forum konsultasi dengan legislatif dan eksekutif sangat bagus bagi iklim demokrasi.
Jika forum demokrasi berjalan, maka mau tidak mau anggota legislatif atau eksekutif akan berbenah, tidak berbenah berarti mereka tidak siap mengemban amanah, tidak siap berarti mereka bukan pejabat negara yang baik dan tak layak dipilih lagi.