OBROLAN BILIK SEBELAH #10: Kuat-kuatan dan opsi pengelolaan moda transportasi massal

  • Whatsapp
Ilustrasi kereta api Sulsel (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Sudah bukan rahasia lagi, di semesta negara in, selingkuh perencana, penguasa dan pengusaha lahan atau penyedia tanah susah dilerai.

WAG Kolaborasi Alumni Unhas

Read More

PELAKITA. ID –  Pada konteks program pembangunan, ISU  disebut sebagai sesuatu yang dianggap penting karena berkaitan hajat orang banyak, jika bermasalah dan tak dibereskan akan menyiksa, kini dan nanti. Isu pembangunan tak berhubungan kepentingan orang per orang.

Isu kualitas layanan dan moda transportasi massal yang acakadut di beberapa daerah di Sulawesi Selatan seperti Makassar, Gowa, Maros dan Takalar (utamanya di perbatasan dengan Makassar) masih menjadi persoalan. Membenahinya seperti benang kusut nan basah. Susah tegak.

Coba lihat. Di mulut JK atau Jembatan Kembar Sungguminasa Gowa, saban pagi dan sore, macet menjadi beban berat, bagi Pemda dan warga. Ini dampak dari lalu lalang pekerja yang mencari rezeki di Kota Metropolitan Makassar.

Petepete baku sikut dengan pengojek, baku sikat pemilik kendaraan pribadi, akses jalan yang bottleneck, dan lain sebagainya. “Sessajaki!”

Di batas Maros dan Makassar, macet menjadi langganan saban hari meski sudah ada jalan underground di depan bandara. Di Barombong, di batas Galesong Utara Takalar, setali tiga uang. Solusi pengadaan bus Teman Bus oleh Pemerintah Pusat tak jua mengurai kemacetan.

Alih-alih macet tuntas, warga tak banyak yang melirik Teman Bus yang telah disiapkan Pusat. Bukan karena mahal karena warga berdalih pembayaran dengan kartu elektronik ribet dan tak biasa.

Sementara di tingkat elite pemerintahan, apa yang menjadi agenda atau pilihan strategi Pemerintah Provinsi kerap berseberangan dengan kabupaten-kota di sekitar Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar).

Yang teranyar adalah silang sengketa metode atas jalur kereta api Sulsel. Provinsi ingin menggunakan at grade (permukaan tanah), sementara Pemkot maunya melayang (elevated) di sekitar atau dalam wilayah administrasi Makassar. Titik temu belum ada.

Hal-hal seperti itulah yang menjadi tema obrolan WAG Komunitas Alumni Unhas.  Padahal admin sudah mematok ‘tema budaya’ sebagai mainstream obrolan.

Sebelum masuk ke muatan dan arah obrolan, admin ingin mengangkat fenomena (kalau tidak mau disebut persoalan) banjir yang melanda Parepare – hal yang tak lazim sebab selama ini belum pernah separah itu.

Inilah gejala di sekitar kita.

“Ah jangan-jangan banjir itu karena pembangunan jalur kereta api di sekitar Parepare?”

“Parepare lebih parah. Banjir sebelumnya rumah teman saya yang alumni Teknik Unhas juga, air hanya setinggi 1 meter, banjir yang barusan air setinggi 2,5 meter. Ngeri kali’.”

“Itu gejala perubahan iklim, sudah jamak, dan banjir berlaku masif.”

“Ini karena otoritas Kereta Api Sulawesi Selatan tak mau menerima konsep elevasi rute seperti harapan Wali Kota Makassar.”

“Ah, soal lahan yang akan dibebaskan untuk rel at grade pada sepanjang 6 km itu, sebagian besar dikuasai oleh makelar atau broker. Mereka ini yang berkepentingan at grade. PJKA tinggal menyesuaikan diri pada orderan broker/makelar itu.”

Itu muatan pada lalu lintas obrolan di grup WAG Kolaborasi Alumni Unhas hari ini Rabu, 8 Februari 2023.

Kuat-kuatan Pusat dan di bawah pusat

Nampaknya, fenomena ‘kuat-kuatan’ Pusat dan daerah itu seharusnya dilanjutkan dengan mengecek fakta lapangan, kondisi ril, kebutuhan sesungguhnya untuk memastikan keterkaitan rasionalitas antara isu, gap dan solusi.

Itu yang disampaikan Ansar Rahman, peserta obrolan.

“Paksa otoritas untuk datang, kenapa mereka ogah-ogahan, mungkin karena merasa Pusat, daerah harusnya terima saja kebijakan mereka. Ini bagian arogansi kekuasaan pusat, maybe not maybe yes,” kata alumnus Teknik Unhas yang akrab disapa Anca itu.

Bagi Ostaf, peserta lainnya, kuat-kuatan ala Pusat itu ditengarai sebagai berdasar pada ‘untung rugi’ pilihan pembebasan lahan di Sulsel yang disebut lebih berpotensi murah, dan bisa diselesaikan jika aparat penegak hukum turun menggertak.

“Lihat tuh Jakarta, yang dipakai lahannya untung berlipat-lipat karena mereka diuntungkan, dibayar melebihi NJOP setempat!” sebut alumni Sospol Unhas itu. NJOP adalah nilai jual obyek pajak.

 Poin krusial yang perlu diberi solusi itu untuk koteks Sulsel adalah, kuat-kuatan antara Pusat dan daerah dalam hal ini Kota Makassar itu terkait pilihan pada apakah metode at grade atau elevated atau melayang.

Padahal, menurut arsitek Unhas, Dr Iksan, penentuan apakah elevated atau at grade itu tetap membutuhkan elevated pada simpang.

“Supaya tidak sebidang, artinya butuh beberapa elevated atau jembatan. Kalau itu dihitung maka tinggal.selisih sedikit jika total elevated,” ujarnya.

Hal lain yang menjadi basis penilaian Iksan adalah sudah ada beberapa proyek di Sulsel itu hambatan utamanya pada pembebasan lahan, proyek tertunda bukan karena dana proyek tidak ada, tapi anggaran pembebasan lahan yang kadang tidak ada kata sepakat dengan pemilik lahan bahkan jadi sengketa di pengadilan.

Dia termasuk pengikut mazhab ‘melayang atau elevated’.

“Kalau elevated otomatis kita punya lintasan tidak sebidang pada satu trase, itu.murah, tidak ada simpang sebidang. Aman lalulintas, orientasi lahan dan bangunan di sepanjang lintasan akan semakin membuat kualitas.ruang kota akan semakin baik,” jelas doktor arsitektur tamatan PT di Jepang ini.

Dia juga merasa heran jika ada yang menghitung dan menyatakan at grade lebih murah.

Terkait itu Anca menyebut, “masa kita kalah berpikir dalam menyusun perencanaan dengan Medan, Palembang, Bandung dan kota-kota lainnya. Mereka pakai rel elevated, kita tidak. Ini menyangkut tata ruang kota. Bukan menyangkut lahan yang harus dibebaskan,” sebutnya.

Iksan menilai, elevated lewat pantai, terowongan lewat perbukitan seperti menuju Parepare. “Kelihatannya sudah ada kesimpulan yang mana lebih efisien dan efektif,” imbuhnya.

Menurut dia, at grade tetap membutuhkan elevated pada simpang, dia mengulang pernyataan.

“Supaya tidak sebidang, artinya butuh beberapa elevated atau jembatan.. Kalau itu dihitung maka tingga selisih sedikit. Jika total elevated dari Barru ke Parepare itu memang tidak bisa at grade, jadi hanya elevated atau terowongan,” jelasnya.

“Elevated itu masa depan, investasi elevated membeli masa depan kota yang lebih baik,” tegas Iksan.

Tanggapan senada disampaikan Akbar Endra. “Kalau at grade, itu rawan dan tidak update perkembangan zaman. Karena ini baru dimulai bikin jalur kereta, mestinya dikasih melayang, sesuai konsep awal. Jangan lagi anak cucu kita nanti dibebankan kesalahan konsep planologi,” ucapnya.

Kualitas perencanaan dan anggaran tersedia

Penulis mengutip pernyataan pakar  perencanaan Unhas Dr Darmawan Salman di grup itu. Ada dua yang harus dipastikan dalam perencanaan, memahami arah dan percepatan perencanaan.

Arah artinya visi dan percepatan tergantung ketersediaah sumberdaya.  Jika ingin cepat, pastikan sumberdaya tersedia, jika tak tersedia karena ingin cepat, lakukan cara-cara yang tak lazim, pinjam, konsorsium atau apalah.

Bagaimana dengan konteks Sulsel? Bagaimana dengan silang sengketa perencanaan kereta api dan bahkan beberapa silang sengketa lainnya seperti pengelolaan sampah kota, pengelolaan air bersih, dan lain sebagainya.

Ada pernyataan menarik tentang hakikat perencanaan pembangunan oleh Akbar Endra.

“Sebenarnya ini tentang visi, kemampuan membayangkan kebutuhan di masa akan datang. Ini tentang bagaimana kota ini nanti setelah 25 tahun akan datang,” sebut Akbar

Dengan  pertimbangan itu, admin menyampaikan perlunya penegasan apa sesungguhnya basis solusi, atau isunya apa terkait kereta api ini, apakah memang selera metode semata atau berkaitan dengan kapasitas tersedia.

Dengan kalimat tanya, “apakah yang membuat kita begitu konfiden untuk bangun kereta api? Dananya dari mana?”. Kedua, sebenarnya collective concern kita terkait transportasi massal ini. Apakah di ketersediaan dana, pola relasi pusat-daerah, komunikas yang macet atau ada faktor lain yang dominan misalnya penguasa lahan, eh.

Pertanyaan berikutnya. apa dasar bagi pengambil kebjakan untuk mengelola area lintasan? RTRW? RPJMD? atau ‘pintu lain’ ke Pusat? Jika elevated adn non-elevated untuk stasiun kereta tak disepakati, siapa yang harus turun tangan?

Apa progress KA Makassar – Parepare? sudah menunjukkan kinerja baik birokrasi kita pada ruang, waktu dan budget tersedia?

Alumni antusias untuk mencari jalan tengah ketika Pemerintah Kota Makassar menolak desain Kereta Api Sulawesi Selatan di Kota Daeng.

Sebelumnya, Wali Kota Danny Pomanto secara tegas telah meminta jalur kereta api dibuat dengan konsep melayang atau elevated. Ia menolak desain landed atau menapak yang diajukan Balai Pengelola Kereta Api Sulsel.

Di sisi lain, di Pusat, Kepala Balai Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan Andi Amanna Gappa menyebut jalur kereta api untuk segmen Makassar belum memungkinkan untuk melayang atau elevated.

Dia menyebut pembangunan elevated bisa dilakukan jika masuk dalam perkotaan dan masuk juga di jalur utama sehingga tidak ada ruang bebas ketika konstruksi dilakukan secara at grade. Trase di Makassar itu belum masuk dalam kota. Jalur saat ini masih berupa lahan belum masuk perkotaan.

Alasan kedua adalah dana terbatas untuk pembangunan rel  kereta api elevated. Jika elevated di Makassar, perkilo meternya bisa mencapai Rp300 milliar.

Kewenangan penetapan lokasi untuk proses RTRW ditentukan Pemerintah Provinsi. Selama tahun 2021,

Disebutkan, untuk proses diskusi dan koordinasi, sudah membahas proses pengadaan tanah. BPKA sudah berkomunikasi dan berkunjung ke Pemprov Sulsel sebagai instansi yang berwenang untuk menetapkan lokasi dan sudah ada kesepakatan dari awal.

Masuk ke Jalan Tengah

Pertama, persoalan lahan atau ketersediaan area pembangunan adalah persoalan klasik di Sulsel bahkan di seluruh Indonesia, perlu solusi dan ketepatan aksi.  Hanya dengan duduk bersama, transparan dan hati terbuka, pasti ada solusi.

“Keberhasilan pembangunan kita ditentukan oleh kualitas komunikasi kita,” itu kata Prof Otto Scharmer, penemu konsep U Theory untuk ‘leadership making’.

Jalan tengahnya, mari bangun komunikasi, perkuat koordinasi, Pusat dan Pemprov harus menghargai hak-hak tata ruang kota atau kabupaten di bawahnya.

Yuk! Beri kesempatan Pemerintah Kota yang areanya sekitar 80 persen itu jadi domainnya, untuk bersama stakehokders menentukan sikap layaknya sebagai tuan rumah yang akan dipasangi rel kereta, atau kalau perlu Pemprov harus jadi pendengar ketika stakeholders kota urun rembug.

Kedua, perlu lebih jernih menimbang pendapat terkait transportasi massal, bahwa dia tak melulu dilihat dari sisi keamanan karena lahan murah, tergantung dana tersedia.

Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang bisa memprediksi perubahan ke depan, atau jangan-jangan memang belum menjadi kebutuhan jika dana kita tak tersedia, apalagi jika elite enggan ngutang, kan?

Ketiga, mari mawas diri sebagai alumni, sebagai pemikir, muhasahabah, melihat musibah banjir yang terjadi di Parepare dan Barru yang disebut ‘banjir baru’ dan bersamaan pembangunan jalur kereta api itu harusnya bisa menjadi pertimbangan awal dalam memutuskan kelayanan perlakuan.

Keempat, nampaknya, pandangan bahwa rel kereta antar kota itu at grade tak selalu benar sebab ada daerah yang bisa jadi perbukitan dan butuh terowongan atau elevated. Apalagi jika sudah masuk ke kota.

Jika pakar transportasi bisa kelayakan sesuai seleranya tentu tidak serta merta diterima oleh pihak lain, bukan?

Kelima, sesuai informasi yang beredar, rel kereta Makassar – Parepare sudah ditetapkan speknya bukan satu bidang seperti rel di Jawa sehingga di setiap persimpangan minimal harus elevated atau terowongan.

Artinya, at grade atau elevated tak ada sangkut pautnya dengan rute antar kota. Perlu melihat apakah itu generalisasi, simplifikasi atau sifatnya parsial dan demi kepentingan pihak tertentu.

Keenam, dalam perkeretaapian, yang penting  adalah shuttle halte mudah dijangkau oleh publik, oleh sesiapapun terutama yang rentan ekonominya, yang vulnerable.

Ketujuh, untuk konteks Makassar, ada ide menarik disampaikan salah satu peserta obrolan, jalur tengah tol saat ini bisa untuk elevated system, tidak perlu pembebasan lahan.

***

Pembaca sekalian, ada banyak pertanyaan sekaligus harapan. Dengan spirit ‘responding to conflict’, mari menghidupkan ruang dialog untuk solusi bersama, untuk win-win solution seperti harapan Anshar Rahman. Pertemuan yang hangat dan riang gembira. Pertemuan yang didukung data, informasi, seperti penyajian dokumen amdal, gambar DED.

Apakah sosodara sudah pernah lihat atau mempunyai pengetahuan mengenai ruang lingkupnya?

Sungguh, kekhawatiran publik kita semua adalah tentang status lahan, status tanah untuk rencana (jika pilihan elevated diterima) pada 6 kiometer elevated itu.

Sudah bukan rahasia lagi, di semesta negara in, selingkuh perencana, penguasa dan pengusaha lahan susah dilerai.  Jika demikian adanya, bisakah alumni ikut kutui anggaran dan kepada siapa itu ditujukan sebagaimana telah diusulkan sejauh ini?

 

Penulis: K. Azis

 

 

Related posts