Kisah Pasima Daeng Raga naik haji berbiaya 900 ribu

  • Whatsapp
Pasima Daeng REaga (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID- Lelaki bersongkok putih ini membuka isi dompetnya. Bukan uang yang diperlihatkannya tapi foto. Di sana terdapat sepasang wajah bersih, sang lelaki terlihat tersenyum di dekat seorang wanita berkacamata.

Foto itu terlihat masih terang dan indah. “Ini foto bersama istri saya saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1977,” katanya dalam bahasa Makassar.

Saya juga melihat beberapa kartu seperti kartu tanda penduduk yang sudah tidak berlaku, maupun yang masih baru. Juga, kartu tanda pemilih saat pemilu lalu. Tapi, saya tidak melihat tahun lahir yang sama pada ketiga kartu itu. Ada yang menulisnya tahun 1928 ada pula yang tertulis tahun 1938.

“Sebenarnya saya lahir tahun 20-an. Saat Jepang datang saya seumur anak ini,” katanya sambil menunjuk seorang anak usia SMA.

Pasima muda masih menyaksikan saat beberapa kapal mendaratkan mobil perang di Sampulungang, satu dusun berjarak beberapa kilometer dari rumahnya.

Jika benar bahwa dia lahir pada tahun 1920 maka Haji Pasima Daeng Raga kini sudah berumur 89 tahun. Pasima adalah warga Dusun Kalongkong, Desa Bontosunggu, Kecamatan Galesong Utara, Takalar.

Dia nampak  cekung, giginya yang sudah ompong. Alisnya sudah putih beruban. Di bawah bibirnya terdapat janggut yang juga sudah memutih. Dengan songkok haji warna putih dan setelan baju kain lengan pendek cokelat dia terlihat masih kuat.

Wajahnya seperti menyisakan bukti bahwa dia terlihat gagah saat masih muda. Namun demikian, dia tidak lagi mendengar lawan bicaranya dengan baik sehingga saya harus berbicara keras di dekat telinganya.

Dia tinggal bersama istrinya di salah satu rumah panggung di tengah kampung. Dalam usianya yang sudah renta ini, dia tetap ulet dengan usaha jual beli beras. Di atas rumahnya terdapat berkarung-karung beras yang sudah siap jual.

Bulan ini, saat beberapa jemaah dari Indonesia sedang bersiap-siap menunaikan jemaah haji menjelang bulan suci Idul Adha saya mencoba mengajaknya ke memori saat dia menunaikan haji pada puluhan tahun silam.

Sayapun menyambangi rumah Haji Raga, begitu warga di sana memanggilnya pada suatu sore di tanggal 8 November tahun ini.

Naik kapal kaut

Menurut catatan, sampai dengan tahun 1979, calon jamaah haji Indonesia dapat memilih salah satu dari dua pilihan. Apakah berangkat dengan menggunakan kapal laut, atau dengan pesawat terbang. Selain memilih kapal terbang ternyata banyak pula yang memilih naik kapal laut.

PT Arafat adalah perusahaan yang menangani angkutan haji laut dimana salah satu kapalnya adalah KM Gunung Jati.

Sebagai perbandingan biaya pesawat saat itu adalah Rp. 1.400.000 perorang. Konon tahun 1979 merupakan akhir tahun pelaksanaan haji dengan kapal laut berdasarkan SK Menteri Perhubungan No SK-72/OT.001/Phb-79.

Tahun 1979 merupakan klimaks pagi penyelenggaraan haji dengan kapal laut. Saat itu biaya haji laut lebih mahal daripada haji udara. Tahun 1978, biaya haji udara hanya Rp 766.000, sementara biaya kapal laut mencapai Rp 905.000.

“Saya naik haji tahun 1977 bersama istri sebagai jemaah haji utusan kabupaten Takalar, saat itu bupatinya masih Suaib Pasang,” katanya seraya menunjukkan fotonya bersama sang istri sedang jongkok pada salah satu gua.

“Saya bisa naik haji karena usaha jual beli kerbau yang saya geluti” Katanya. Saat itu saya tinggal di daerah Maccini Makassar. Saya kerjsama dengan seorang pengusaha yang tinggal di Kampung Baru, dekat Akai Makassar, meladeni pembeli kerbau dari pelosok dari di sekitar Makassar.

Saat itu, banyak kerbau dikirim dari pulau-pulau seperti Flores. Kamilah yang memasarkan kerbau itu. Katanya tentang sumber rejekinya. Usaha ini berjalan sejak tahun 60an hingga 70-an. Setelah naik haji, Pasima kemudian bermukim lagi di Kalongkong, Galesong.

Biaya perjalanan haji Pasima Daeng Raga bersama istrinya saat itu, sebesar Rp. 900 ribu. Inilah harga yang harus ditanggungnya berdua. “Saat itu kami berangkat dari Makassar naik Kapal Laut bernama KM Gunung Jati,” katanya.

Seingatnya kapal itu singgah di Jakarta kemudian bertolak menuju Medinah lalu naik bus bertolak ke beberapa lokasi seperti Safaa, Marwa dan Mina. Saat itu dia bersama puluhan jemaah asal Sulawesi Selatan dan beberapa jemaah dari tanah Jawa.

“Di kapal itu terdapat tiga lantai. “Saya berada di lantai 3. Bagi yang paling bawah mereka rata setinggi air laut,” ucapnya.

“Di kapal kami makan tiga kali layaknya di rumah sendiri. Pada siang hari kita makan nasi dan ikan kering, namun tidak jarang pula makan telur,” katanya melanjutkan.

Di atas kapal rupanya Pasima dan rombongan lainnya juga disuguhi sayur seperti kangkung.

“Namun, soal buah-buahan kami diberi banyak sekali. Ada apel dan buah lainnya,” katanya menambahkan.

Perjalanan ke Mekkah sejak dari Makassar selama 18 hari. Saat itu cuaca selama keberangkatan sangat cerah. Nyaris tidak ada gelombang laut yang besar. Demikian pula saat pulang. Namun demikian selama perjalanan laut menuju baitullah itu, banyak juga calon jemaah haji yang sakit dan akhirnya meninggal.

“Bagi yang meninggal, kedua tangan dan kakinya diikat dan dilekatkan dengan papan atau balok lalu digantungkan pemberat lalu dilarung ke laut,” ungkap Haji Raga.

Saat itu, banyak sekali calon jemaah yang meninggal dalam perjalanan. Baik pada saat ke sana maupun sepulangnya. “Cobaan selama di kapal maupun saat di Mekkah juga sangat berat, namun kami tetap yakin akan pertolongan Allah,” katanya.

Saat di Mekkah dia tinggal tidak jauh dari Ka’bah. Kami diinapkan di hotel yang tinggi dan dapat melihat segala aktivitas di sekitar Ka’bah dengan jelas. Demikian pula gambaran situasi saat memasuki jalan-jalan Kota Mekkah, di sana masih terdapat pepohonan yang rindang.

“Kamma-kammanne tenamo beng poko’ poko’, ” katanya yang artinya, sekarang konon, tidak ada lagi pepohonan. Dia menjawab pertanyaan saya dengan sesekali mengisap rokok filternya.

Pasima dan istrinya, sukses menunaikan ibadah haji, selamat hingga kembali ke Galesong. Saat pulangnya itu, dia tidak lupa membawa poster Ka’bah dan suasana saat berada di tepi lokasi pelemparan batu. Dia juga berhasil memperoleh foto saat bersama istrinya diabadikan oleh juru potret dari Mekkah, seperti yang ada dalam dompetnya.

Dia kemudian menunjukkan kartu nama, yang disebutnya sebagai pemandu saat mereka ada di Mekkah, namanya, Sh. Ismail Osman, Jiad Mecca Saudi. Saat saya diajak ke rumahnya juga saya diperlihatkan papan yang menjadi penanda bahwa dia jemaah asal Takalar.

Tanda itu bertuliskan cat hitam dengan dasar kuning. Nama , Pasima Bin Manye’ PPH 9275/SWS/TKL/LU/77 alamat desa Bontosunggu. Bersama sang istri Hanjia Binti Yasang dengan nomor 9274. Dia juga memperlihatkan Saudi Arabia Monetary bernilai satu real yang sudah kusam.

Kini Haji Pasima Daeng Raga bin Manye’ menikmati masa tuanya di pesisir Galesong. Lelaki beranak 12 orang ini juga bersyukur karena sebagian besar anaknya sudah berhasil. Ada yang jadi guru di Takalar adapulau yang sukses di daerah Sulawesi Tengah.

Pasima adalah bukti sejarah tentang betapa tidak mudahnya merebut ridho Allah saat mengikuti ujian menjadi seorang haji, seperti yang disyaratkan dalam rukun islam.

Dia adalah bagian dari para pencari hakikat keimanan, pengikut yang berupaya melengkapi rukum islamnya walau harus melakukan perjalanan berminggu-minggu mengarungi samudera menuju baitullah. Perjalanan yang sangat tipis antara hidup dan mati.

 

Penulis: K. Azis

Related posts