Kolom Rifqy T. Eshanasir: Krisis Ukraina-Rusia, sayup suara rakyat di kepungan kekuatan besar

  • Whatsapp
Meme dari akun twitter @ukraine

DPRD Makassar

“Saya baru saja menemukan diri benar-benar bersiap-siap untuk perang, sesuatu  yang mungkin atau mungkin tidak terjadi dalam waktu dekat. Sulit menggambarkannya. Saya dari Ukraina, tinggal di Dnipro, sekitar 200 km dari zona perang yang sudah ada selama delapan tahun terakhir, dan kami semua disini sudah terbiasa dengan agresi yang dilakukan Rusia di perbatasan timur. Sekarang semuanya tampak berbeda dan tak pasti. Sekarang saya yakin Rusia ingin membelah negara kami menjadi dua.” – Seorang anak muda Ukraina,  ‘de7uned’

PELAKITA.ID – Beberapa waktu terakhir kita dengan cemas mengikuti ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia. Sejak November 2021, lebih dari seratus ribu tentara Rusia telah dimobilisasi dengan ratusan tank dan artileri berat menuju Ukraina, negara bekas Soviet.

Ukraina menghadapi ketegangan militer tertinggi dengan tetangga timurnya sejak 2014, dan Rusia tampaknya mengancam invasi dari tiga perbatasan. Yaitu, dari utara Ukraina melalui sekutu Rusia Belarusia, wilayah yang diduduki separatis Ukraina di Luhansk dan Donetsk (wilayah Donbass) di timur, dan wilayah Krimea yang dicaplok Rusia di selatan.

Bahkan baru-baru ini Rusia telah mengakui kemerdekaan ‘Republik Rakyat Luhansk’ dan ‘Republik Rakyat Donetsk’ serta mulai mengirim pasukannya lewat Ukraina Timur. Rusia juga telah meledakkan bom di berbagai kota besar Ukraina dalam upaya melumpuhkan fasilitas militernya, termasuk ibukota Kiev, Kharkiv, Odesa dan Mariupol.

Invasi Rusia terhadap negara tetangganya, Ukraina Telah dimulai. Tindakan ini ditanggapi dengan kecaman, penolakan dan sanksi perdagangan dari pihak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta anggota PBB, termasuk dari negara Afrika seperti Kenya.

Kita menyaksikan pula upaya diplomasi dan suara banyak petinggi negara dari pihak-pihak yang bersitegang dalam konflik yang kompleks ini.

Kita tahu bahwa sebagai tanggapan terhadap Rusia, pihak Amerika Serikat (AS) dan NATO telah memperingatkan Presiden Putin dan jajarannya bahwa akan ada sanksi berat jika negeri itu melanjutkan aksi militernya ke Ukraina.

Sebaliknya, pada Desember 2021, Putin membuat tuntutan tegas terhadap NATO bahwa Ukraina tidak boleh bergabung dengan organisasi pertahanan tersebut. NATO juga tidak boleh bekerja sama dengan negara-negara lain di kawasan itu, dan ia harus menghentikan semua kerjasama dengan Ukraina.

Pihak Barat melihat tuntutan Rusia ini sebagai ultimatum yang tidak dapat mereka terima. Ukraina pun telah merasakan ketegangan yang makin tinggi dalam  delapan  tahun terakhir, karena ‘terjebak’ di antara bekas  saingan Perang  Dingin.

Ironisnya, suara pemerintah apalagi masyarakat Ukraina (seperti kutipan pernyataan anak muda di atas) seperti tenggelam di antara suara-suara kalangan dominan dari kubu Barat maupun Rusia.

Pemerintah dan masyarakat Ukraina terperangkap di antara kekuatan-kekuatan dan suara-suara pada raksasa, padahal mereka yang menanggung  dampak paling besar dari ketegangan ini, apalagi kalau perang benar-benar meletus.

Kilas balik

 Ukraina dan Rusia berbagi sejarah sebagai negara anggota Uni Soviet. Ketika Soviet runtuh pada tahun 1991, Ukraina merdeka tak lama setelahnya. Rusia sejak itu bertekad untuk mempertahankan pengaruh atas negara-negara bekas Soviet untuk membuat ‘zona penyangga’ dari pihak Barat.

Di sisi lain, setelah Perang Dunia Kedua, AS, Kanada, dan 11 negara di kawasan Atlantik Utara membentuk NATO, sebuah organisasi militer antar pemerintah yang bersiap untuk saling melindungi secara kolektif. Itu dibentuk khusus untuk mengimbangi Uni Soviet dan sekarang Rusia.

Sejak jatuhnya Uni Soviet, lebih banyak negara Eropa Timur telah bergabung dengan NATO seperti Polandia, Bulgaria, Estonia, dan Latvia. Rusia melihat ini sebagai ancaman keamanan, seolah-olah NATO merangsek  di ‘halaman belakang’ negeri itu.

Ukraina juga bercita-cita untuk bergabung dengan NATO tetapi telah menunggu selama bertahun-tahun belum juga diterima. Karena begitu dekat dengan Moskow, Rusia tidak dapat mentolerir kalau Ukraina bersekutu dengan Barat secara militer karena Ukraina berbagi salah satu perbatasan darat terbesar dengan Rusia.

Oleh karena itu, Rusia telah mencoba beberapa kali untuk campur tangan dalam politik Ukraina. Pada 2013, mantan Presiden Ukraina, Poroshenko, bersiap untuk menandatangani kesepakatan perdagangan Rusia alih-alih dengan Uni Eropa (UE).

Protes warga sipil membuatnya mundur dan Presiden Ukraina saat ini, Zelenskyy, telah menandatangani kesepakatan dengan UE. Rusia kemudian mencaplok wilayah Ukraina, Krimea,  dan mendukung separatis Ukraina di wilayah timur Donbass pada tahun 2014.

Sejak itu, Ukraina terlibat konflik bersenjata dan ketegangan selama 8 tahun dengan Rusia yang menyebabkan penderitaan bagi banyak penduduknya.

Mobilisasi kekuatan

Sejak Januari 2022 NATO mulai menempatkan dan memperkuat militernya di Eropa Timur. AS telah memindahkan 8.500 tentara di Polandia.

Selanjutnya, negara-negara barat telah menuntut warga di Ukraina dan staf kedutaan untuk mengungsi. Ada juga lebih banyak pembicaraan di antara aktor negara, dimulai dengan pertemuan antara Presiden Biden dan Presiden Ukraina , Volodymyr Zelenskyy, memastikan AS akan membela Ukraina.

Biden juga telah berbicara dengan Putin melalui telepon dan langsung pada pertemuan di Jenewa, meskipun tuntutan Rusia tidak diterima Washington. Kedua belah pihak bahkan membawa masalah ini ke Dewan Keamanan PBB di mana AS menuduh Rusia mengganggu keamanan global sementara Rusia membantah rencana invasi dan mengklaim ekspansi NATO ke arah timur adalah ancaman keamanan bagi Rusia.

Dengan meningkatnya kebuntuan dan ketegangan diplomatik, Presiden Zelenkskyy telah menyuarakan keprihatinannya dan mengajak pihak Barat dan Rusia untuk mengurangi ketegangan dan mendengar lebih banyak aspirasi pemerintah dan masyarakat Ukraina.

Sementara itu, warga sipil Ukraina meskipun tentu saja cemas namun tampaknya sebagian besar tidak panik, mungkin karena sudah terbiasa selama bertahun-tahun berada dalam ketegangan,  dan telah bersiap untuk agresi Rusia sejak 2014.

Setelah konflik sipil Donbass, sepertiga warga sipil negeri tersebut mengaku siap menjadi pejuang melawan Rusia jika perlu dan telah memulai pelatihan tempur. Namun tak pelak lagi kecemasan membuncah.

“Situasi saat ini menghantam jauh di lubuk hati.  Kondisi sekarang ini membuat saya kehilangan semua teman saya. Yang saya miliki hanyalah saudara perempuan saya yang luar biasa dan ibu yang selalu murung. Saya memang belum pernah terlibat dalam pertempuran sebenarnya. Saya hanya seorang anak muda bisa, seorang copywriter yang hanya menjalani hidup sehari-hari yang biasa seperti bermain musik, merokok atau melakukan olahraga bela diri, dan mencoba menemukan cinta dan hidup yang lebih baik.” – ‘de7uned’  – (Seorang anak muda Ukraina,  ‘de7uned’)

Tabrakan kepentingan

Mobilisasi militer Rusia ke dekat perbatasan Ukraina juga dapat dilihat sebagai upaya Presiden Putin untuk menegaskan kontrol historis negara tersebut di kawasan. Banyak warga di Ukraina, terutama di wilayah timur adalah etnis Rusia dan sebagian besar berbicara dalam bahasa Rusia.

Kesamaan budaya dan etnis ini merupakan ancaman eksistensial bagi rezim Putin karena Ukraina dapat menjadi contoh nyata bagi orang-orang Rusia bahwa demokrasi dapat tumbuh di Rusia. Jika demokrasi menjadi sangat populer di antara negara-negara di ‘halaman belakang Rusia’, itu bisa mengguncang stabilitas politik Putin.

Sementara pihak NATO sedang dalam pembicaraan di antara mereka i untuk memperkuat front persatuan melawan Rusia. Biden baru-baru ini bertemu dengan Kanselir Jerman, Scholz, untuk konsolidasi. Namun upaya  diplomasi Barat dengan dengan pihak Rusia juga terus berlangsung meskipun pelik. Presiden Prancis, Macron,  telah berbicara dengan Putin untuk meredakan ketegangan.

Macron mengatakan kepada Presiden Zelenskyy bahwa dia optimis dan memperkirakan Rusia akan mengurangi atau menarik pasukan. Pihak Rusia baru-baru ini menyatakan bahwa mobilisasi pasukan mereka ke perbatasan Ukraina hanyalah merupakan latihan militer dan latihan tersebut telah berakhir sehingga ada penarikan pasukan.

Namun pihak Barat tidak sepenuhnya percaya pada pernyataan tersebut dan kita sulit memverifikasi kebenaran pernyataan-pernyataan kedua belah pihak.  Ketegangan dan ketidakpastian masih sangat terasa meskipun kedua pihak tampak berusaha terus menalanjutkan diplomasi dan deeskalasi.

Kita semua tentu berharap upaya-upaya tersebut membuahkan hasil dan perang dapat dihindarkan.

Suara-suara sayup

Konflik Ukraina-Rusia ini menunjukan sekali lagi betapa rapuh dan pentingnya perdamaian serta alangkah kompleks upaya yang dibutuhkan untuk meredakan konflik tersebut. Di tengah situasi tegang dan di ambang perang, penting untuk digarisbawahi bahwa pemangku kepentingan terbesar yang paling dirugikan dalam konflik ini adalah masyarakat Ukraina.

Sulit membayangkan betapa berat dan tegang hidup di daerah konflik. Yang kita tahu pasti adalah perdamaian merupakan prasyarat dasar untuk kehidupan yang wajar dan sehat.

Karena itu, perdamaian senantiasa harus dijaga meskipun tidak mudah dan tidak murah. Suara rakyat Ukraina seperti curahan hati anak muda yang dikutip dalam tulisan ini seharusnya lebih banyak didengarkan.

“Minggu depan saya akan bergabung dengan unit pasukan di mana saya akan ditempatkan. Saya mungkin akan mati atau menjadi pembunuh untuk melindungi adik perempuan dan ibu saya. Atau mungkin juga tidak.” – (Seorang anak muda Ukraina,  ‘de7uned’)

 

Rifqy Tenribali Eshanasir, pengamat politik dan hubungan internasional. Alumnus studi konflik dan perdamaian,  Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang. Peneliti muda di Pusat Studi Konflik dan Perdamaian, Universitas Hasanuddin.

 

Editor: K. Azis

Related posts