PELAKITA.ID – Pagi ini seorang kawan SOSBOFI Smansa 89 Makassar memberi info untuk bertemu di Warkop 52 Jalan Onta Makassar, pada hari Jumat sepagi mungkin.
Undangan itu tiba saat saya sedang mereguk teh dan biskuit wafer di kediaman. Sontak saya ingat penganan yang disajikan di warkop itu, Warkop 52.
Maka menarilah di pelupuk mata aneka songkolo, tari-taripang gula merah, panada, barongko hingga bikangdoang. Bebeang….maki.
Tapi kalau mau jujur, sesungguhnya saya lebih dahulukan minuman teh, jahe, lemon plus gula merah khas Warkop 52. Kesan higienis atau sehat melekat padanya.
Racikan minuman itu yang selalu memanggil-panggil. Saya merasakan sensasi berbeda kalau sudah minum racikan ini. Kadang segelas besar bisa saya tuangi berulang-ulang air putih untuk sekadar memperpanjang ‘kedudukan’ di warkop yang selurus Pallubasa Serigala ini.
Begitulah.
Tapi kali ini saya ingin pertegas kembali bahwa warkop ini unik. Berbeda dengan beberapa warkop mainstream di Makassar atau Indonesia sekalipun.
Pertama, buka subuh dan tutup pukul 5 sore. Coba? Saat warkop yang lain all out hingga larut malam, mencari dan memanja pengunjung, mereka malah memilih tutup jelang malam meski pengunjung masih berdatangan.
Kedua, tidak buka saat Hari Ahad. Betapa beruntungnya para karyawan yang bisa rehat dan mengisi waktu di rumah atau bersantai dengan kawan tanpa harus berurusan dengan shif-shifan.
Saya sudah dua kali kecele karena ke sini hari Ahad. Dua hari lalu, kawan saya, Prof Yusran Yusuf, putar haluan. “Kita ngopi di Warkop 52, Prof,” kataku via WA sebelum kenyataan itu terjadi.
Saat mendekati Warkop 52 bersama istri, saya lalu menelpon balik.
“Astaga, tutup pade Prof.” Kami bersua di Warkop Turatea Losari sebagai alternatif kala itu.
Apa lagi keunikannya?
Ketiga. kue-kue yang dijajakan di Warkop ini adalah bikinan warga sekitar.
Jadi tidak ada monopoli pemilik Warkop 52 tetapi lebih memilih menyiapkan tentakel atau sulur-sulur manfaat ke warga sekitar.
Saya kira ada seratusan warga sekitar warkop yang dapat manfaat.
Mereka bisa menjadi juru parkir, penyedia kue daa bahkan membuka warung ‘asesoris’ yang terhubung dengan 52. “Yang penting bisa dilihat pengunjung, siapa tahu mau beli apa gitu.” Seperti itu harapan warga yang buka usaha di dekat 52.
Keunikan ketiga itu menurut saya, itulah hakikat kemanusiaan kita sebagai mahluk sosial yang mutualistik. Tak terjadi ketidakadilan pasar, sisi humanis terjaga, tak ada dominasi apalagi pengangkangan hak-hak sipil #eh
Penulis: K. Azis