Observasi ke TPS Pluit dan perbandingan pengelolaan sampah di Surabaya dan Jakarta

  • Whatsapp
Penulis bersama pemilah sampah di TPS pluit (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID –  Seperti apa potret sampah di pesisir Jakarta? Bagaimana sampah dari rumah tangga RT atau RW ditangani sebelum diantar ke Bantar Gebang Bekasi?

Hal itu pula yang ingin saya ketahui sehingga harus menempuh perjalanan kurang lebih 30 kilometer dari Rawajati di Jakarta Selatan hingga tepian Jakarta Utara.

Read More

Bekal informasi saya adalah fakta bahwa warga Jakarta hasilkan sampah 7.600 ton per hari.

Itu angka yang sangat besar bukan? Dalam tahun 2020 Pemprov DKI sebenarnya telah menargetkan untuk mengurangi hingga 30 Persen.

Fakta lainnya adalah dari total 7.600 ton sampah yang dihasilkan tersebut, sebanyak kurang lebih 61 persen merupakan sampah rumah tangga. Ada 42 kecamatan dan 265 kelurahan plus satu kabupaten, Kepulauan Seribu.

Salah satu kecamatan yang menjadi sumber sampah tersebut adalah Kecamatan Penjaringan. Saya berkunjung ke daerah pesisir yaitu di Kelurahan Pluit, tepatnya di Muara Angke pada Minggu, 6 September 2020.

Menuju TPS

Saya berangkat ke Muara Angke, jam 8 pagi. Naik KRL dari Pasar Minggu Baru – Jakarta. Penumpang tidak terlalu banyak. Setiba di Stasiun Jakarta Kota, saya jalan kaki menuju ke Bank Indonesia, di situ, jalan kaki menuju traffic light lalu naik angkot tujuan Muara Angke.

Saya tanya bertanya kepada petugas perhubungan di dekat stasiun. Naik angkot warna biru. Dari angkot, saya turun di Jembatan Tiga, dari sini saya naik angkot lwarna merah lain jurusan Muara Angke. Turun di pelabuhan perikanan Muara Angke.

Akhirnya saya sampai di pelabuhan perikanan yang dibangun tahun 1977 ini. Salah satu alasan mengapa saya ke sini adalah untuk melihat situasi di sekitar pelabuhan terutama cara warga mengelola sampah baik dari usaha perikanan maupun sampah rumah tangga.

Karena hari sudah siang, saya mencari tempat makan. Saya sampai di warung makan bernama ‘Sederhana’. Saya pilih kerang, tempe goreng sambal dan ikan tumis. Dengan teh manis, saya bayar 20 ribu.

Dari dermaga, ternyata di samping kapal-kapal nelayan, ada banyak sampah plastik yang berserakan baik sisi perahu maupun yang sudah hanyut. Saya bertanya ke pemilik warung, lokasi pembuangan sampah warga Muara Angke.

“Bapak jalan terus sektar tiga kilo, lalu belok kiri dan jalan terus. Di belokan kiri, di situlah tempat,” kata pemilik warung Ibu Siti.

Sekitar pukul 1.20 waktu Jakarta, saya tiba di TPS Muara Angke. Di situ nampak banyak sampah berserakan, terlihat 3 gerobak sampah, mobil pengeruk sampah. Nampak pula, petugas berpakaian biasa, tidak menggunakan masker meskipun di daerah pembuangan sampah. Lalat berkerumun di mana-mana.

Saya menghampiri salah seorang petugas yang mengaku bernama Tawin, (45 tahun). Pria ini mengaku sudah bekerja selama 4 tahun di TPS Muara Angke.  Dari Tawin disampaikan bahwa pengangkutan sampah dari TPS ini dibawa ke Bantargebang, Bekasi.

Pak Tawinlah yang bertugas mengambil sampah di rumah tangga sekitar Muara Angke. Menurutnya, petugas angkut sampah di TPS ini terdapat sebanyak 10 orang.

“Pengangkutan sampah dari sini dua kali seminggu sebanyak 2 truk tapi sebelum diangkut sampah tersebut dipilah,” kata Tawin. Jika dua truk maka kisaran volumenya mencapai 6 m3.

Saat saya datang, saya juga sempat melihat seorang ibu membuang sampah. Namanya Ibu Turah (36). Turah mengaku sudah tiga tahun lebih memanfaatkan TPS ini untuk buang sampah.

“Saya bersyukur sekali adanya TPS ini. Saya buang sampah hampir tiap hari tetapi dengan waktu berbeda, tergantung sempatnya,”katanya.

Salah satu yang memiliah adalah ibu Aminah. Saat ditemui, Aminah mengatakan dia khusus mencari botol mineral, air mineral gelas, kardus dan celana-celana atau kain bekas. Selain Aminah, terdapat seorang perempuan lainnya yang memilah di TPS ini.

Pak Tawin menyebut mendapat uang dari bertugas ini dari 20 ribu hingga 50 ribu. Khusus untuk ibu Aminah, hasil pemilahannya dia bawa ke Bank Sampah yang ada di wilayah Muara Angke.

Penulis juga berkunjung ke pelabuhan perikanan Muara Angke dan melihat betapa banyaknya sampah berserakan di pesisir hingga laut.

Pengelolaan sampah, perbandingan antara Surabaya dan Jakarta

Potret sampah di Kelurahan Pluit tersebut menjadi informasi awal untuk saya kemudian mencari tahu situasi pengelolaan sampah di Jakarat dan membandingkannya dengan Kota Surabaya yang sudah lama dianggap berhasil dalam penanganan sampah warga kota.

Khusus untuk Jakarta, berdasarkan penelurusan saya disebutkan bahwa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi yang selama ini menjadi tempat pembuangan sampah warga DKI Jakarta diprediksi habis lahannya pada 2021.

TPST Bantargebang yang dioperasikan sejak 1986 memiliki luas lahan 110 hektare (ha). Sekitar 90 hektare lahan atau 82 persen telah terpakai untuk menumpuk sampah. Sampah telah menggunung hingga 40 meter.

Sementara di Surabaya, Pemkot Surabaya membangun 28 TPST yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah sehingga dapat memangkas ongkos pembuangan sampah ke TPA.

Mereka melibatkan kontraktor pengelola sampah yang dikotrak selama 20 tahun. Masing-masing TPST mempekerjakan satuan tugas (satgas) yang diberikan pelatihan dari pihak kontraktor.

Pemkot Surabaya juga memanfaatkan sampah menjadi listrik dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Benowo. PLTSa ini bekerja sama dengan PT Sumber Organik dan PLN. Pada 2016, proyek tersebut hanya menghasilkan energi 1-2 MW.

Sesuai laporan KataData, Pemkot Surabaya membangun bank sampah di sejumlah kelurahan, RT, dan RW untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola sampah.

Sampah di TPS Pluit (dok: istimewa)

Masyarakat diedukasi untuk memilah sampah berdasarkan kategori, anorganik dan organik. Bank sampah dan rumah kompos berperan signifikan dalam mengatasi sampah. Sampah yang masuk ke TPA Benowo Surabaya 1.600 ton per hari. Kota Surabaya menganggarkan Rp 474,9 miliar untuk program pengelolaan kebersihan.

Anggaran tersebut ditargetkan untuk membangun fasilitas pengelolaan sampah dengan teknologi 3R (reduce, reuse, recycle), pengangkutan sampah dari TPA ke TPA, dan pelibatan masyarakat dalam kebersihan.

Adapun anggaran untuk operasional pengangkutan sampah Surabaya sebesar Rp 41,39 miliar dengan target 267 lokasi dari lima wilayah pengangkutan sampah.

Selain itu, terdapat dana operasional pembersihan sampah di saluran sebesar Rp 22 miliar dan operasional pengolahan sampah sebesar Rp 119 miliar. Penyediaan sarana, operasional, dan pemeliharaan pengelolaan rumah kompos/PLTSa/TPS 3R dialokasikan sebesar Rp 17,17 miliar.

Untuk memelihara sarana pengangkutan sampah, Pemkot Surabaya mengalokasikan anggaran Rp 37,75 miliar, termasuk pemeliharaan sarana pembersihan dan toilet. Pemberdayaan masyarakat juga dialokasikan sebesar Rp 2,6 miliar dalam RKPD melalui program peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan yang melibatkan 31 kecamatan.

Saat ini, Pemerintah DKI telah menjelaskan bahwa mereka berupaya mengurangi sampah pada sumbernya. Yang keduada adalah optimalisasi TPST Bantargebang, dan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF).

Pembangunan ITF merupakan solusi. Anies menyatakan, pada masa kepemimpinan gubernur sebelumnya belum ada pembangunan ITF. Pemprov DKI Jakarta bersama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sedang membangun ITF Sunter di Jakarta Utara.

Pada 2016, Presiden Jokowi membuat Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perencanaan PLTSa yang wajib dibangun di tujuh kota di Indonesia, termasuk Jakarta. Di sisi yang sama, Pemprov DKI Jakarta juga menerbitkan Pergub No. 50/2016 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengelola Sampah di Dalam Kota/ITF sebagai dasar hukum bagi Jakpro.

Gubernur Anies Baswedan menyatakan bahwa ITF dapat mengolah sampah hingga 2.200 ton per hari yang dikonversi menjadi 35 MW energi listrik.

Pembangunan ITF inilah yang membuat anggaran Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) DKI Jakarta melonjak. Pada 2019 anggaran UPST sebesar Rp 1,18 triliun, meningkat 276% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 314,4 miliar. Sementara untuk pembangunan ITF sendiri memakan biaya hingga Rp 750 miliar.

Apakah ITF akan jadi solusi termasuk sampah-sampah yang dihasilkan di pesisir? oleh kapal-kapal ikan, atau pengusaha ikan?

(bersambung)

Penulis: Jawadin

 

 

Related posts