Oleh: Muliadi Saleh
Inisiator Gerakan Urban Farming Bukit Baruga Makassar
PELAKITA.ID – Dulu orang berkata: Say it with Flower. Bunga menjadi bahasa universal untuk mengungkapkan cinta, doa, hingga duka. Ia hadir sebagai simbol keindahan, hadiah penuh makna, dan tanda kasih sayang yang melintasi ruang dan waktu.
Sayangnya, di tengah krisis pangan global, ketidakpastian iklim, dan kerinduan kota-kota besar pada hijau yang menyejukkan, ungkapan itu kini menemukan padanan barunya.
Hal itu diucapkan indah oleh Fadly Padi Reborn, Ahli Program Urban Farming Kota Makassar, saat berbincang dengan penulis dalam sebuah podcast pada acara Launching Gerakan Urban Farming Bukit Baruga, 15 September 2025, di Masjid Bin Baz, Kawasan Bukit Baruga.
Dengan penuh kesadaran ia menyatakan: “Kalau dulu Say it with Flower, sekarang Katakan Cinta dengan Seikat Sayur.”
Pernyataan tersebut bukan sekadar kalimat puitis, melainkan refleksi perubahan zaman. Bunga tetaplah indah, tetapi sayur menyelamatkan hidup.
Di tengah hamparan beton dan aspal perkotaan, seikat sayur yang tumbuh dari tanah, pot, atau hidroponik menjadi bukti cinta paling nyata: cinta pada kehidupan, keluarga, lingkungan, hingga generasi mendatang. Ia bukan hanya hadiah simbolik, tetapi persembahan hakiki berupa pangan sehat, udara bersih, dan ruang kota yang lebih manusiawi.

Urban Farming: Mengikat Ekologi dan Ekonomi
Urban farming hadir sebagai gerakan moral dan ekologis yang mengembalikan manusia kota pada fitrahnya: bercengkerama dengan tanah, merawat benih, menyaksikan daun muda bertumbuh, hingga memetik buah kerja keras dari kebun kecil di halaman rumah. Gerakan ini menyatukan ekologi dan ekonomi, spiritualitas dan sosialitas.
Di kebun kota, tangan-tangan warga tidak sekadar menanam selada atau kangkung. Mereka menanam harapan akan kemandirian, ketahanan pangan, serta kehidupan kota yang lebih beradab.
“Seikat sayur” menjadi metafora sederhana namun mendalam. Ia melambangkan solidaritas pangan—satu ikatan yang menyatukan keluarga di perumahan, jamaah masjid, komunitas sekolah, hingga pekerja kantor untuk bersama-sama mengolah lahan tidur menjadi sumber kehidupan.
Cinta di sini tidak lagi abstrak, melainkan nyata dalam bentuk sayuran organik yang bisa dimasak di dapur, dibagi ke tetangga, atau dijual di pasar komunitas.
Gerakan Urban Farming di Makassar memperlihatkan wajah baru dari kebersamaan. Di Bukit Baruga, warga membentuk komunitas yang menanam bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk lingkungan. Kebun komunal yang lahir dari “seikat sayur” menjelma ruang dialog antargenerasi: anak-anak belajar mengenal biji, orang tua merawat tanaman, dan lansia menemukan kebahagiaan baru dalam mengasuh kehidupan kecil yang hijau.
Cinta pun tampil sebagai tindakan ekologis yang berkelanjutan—lebih dari sekadar kata-kata.
Pangan sebagai Pusat Peradaban
Refleksi dari ungkapan “katakan cinta dengan seikat sayur” menegaskan pesan bahwa pangan adalah pusat peradaban. Tidak ada kehidupan tanpa pangan, dan tidak ada pangan sehat tanpa cara produksi yang ramah lingkungan.
Urban farming mengingatkan kita bahwa kota yang sehat berawal dari rumah yang hijau: dari pekarangan produktif, balkon penuh pot cabai dan tomat, masjid yang memakmurkan jamaahnya dengan kebun sayur, hingga sekolah yang mendidik muridnya bukan hanya lewat buku, tetapi juga lewat tanah yang basah oleh air kehidupan.
Lebih jauh, gerakan ini menjadi jawaban atas krisis iklim. Dalam setiap seikat sayur yang ditanam warga kota, tersimpan narasi pengurangan jejak karbon: distribusi pangan lebih pendek, konsumsi energi lebih hemat, udara lebih segar.
Di saat yang sama, urban farming juga melawan individualisme kota modern. Seikat sayur mengajak kita keluar rumah, bertemu tetangga, bekerja sama, dan berbagi hasil panen.
Dalam perspektif spiritual, menanam sayuran adalah bentuk syukur paling nyata. Setiap daun hijau adalah tasbih yang bergetar di hadapan Sang Pencipta. Setiap panen adalah jawaban doa yang menyehatkan tubuh sekaligus menenangkan jiwa.
Seperti masjid yang makmur karena jamaahnya, kota pun akan makmur bila warganya menanam, memelihara, dan berbagi hasil bumi.
Katakan Cinta dengan Seikat Sayur
Kita mungkin masih mencintai bunga sebagai hadiah indah. Namun seikat sayur memberi lebih dari itu: ia memberi kehidupan. Dari kebun kota yang kecil, kita sedang menenun jaring besar keberlanjutan. Dari pot sederhana di halaman, kita sedang mengikat simpul solidaritas. Dari gerakan menanam bersama, kita sedang mencintai bumi, sesama, dan Sang Pencipta.
Maka, ketika ingin mengucapkan cinta pada kota, pada lingkungan, dan pada generasi mendatang—ucapkanlah dengan seikat sayur. Sebab cinta sejati hari ini bukan lagi sekadar pada bunga yang cepat layu, melainkan pada sayur yang memberi makan, menyehatkan, dan melestarikan kehidupan.
Kalau dulu orang berkata Say it with Flower, kini dengan bangga dan penuh kesadaran, mari kita Katakan Cinta dengan Seikat Sayur.