- Seperti kata Joseph Schumpeter, kapitalisme tak pernah mati—ia hanya berganti tubuh. Kini ia menjejak sawah, kebun, peternakan, dan laut, dengan teknologi sebagai instrumen baru.
- Karl Marx menegaskan, siapa menguasai pangan, ia menguasai hidup manusia. Seperti diingatkan Harvey, kapitalisme selalu menyisakan dispossession di balik akumulasi.
PELAKITA.ID – Dalam satu dekade terakhir, para miliarder dunia—khususnya dari Silicon Valley—berbondong-bondong berinvestasi di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.
Tokoh-tokoh seperti Jack Ma, Mark Zuckerberg, Jeff Bezos, dan Bill Gates mulai mengalihkan fokus dari dunia digital ke tanah, ternak, dan laut.
Jack Ma mendirikan 1.8 Meters Marine Technology di Hangzhou untuk riset kelautan. Zuckerberg membeli 1.500 hektare tanah di Hawaii untuk peternakan organik.
Bill Gates kini menjadi pemilik lahan pertanian terbesar di AS, dan Jeff Bezos serta Warren Buffett pun ikut berinvestasi dalam agribisnis.
Alasannya terdengar logis: mengantisipasi krisis pangan global dan mencari investasi yang stabil. Namun benarkah hanya itu? Atau kapitalisme sedang berganti wajah?
Kapitalisme Tidak Mati, Ia Beradaptasi
Joseph Schumpeter, dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942), memperkenalkan konsep “creative destruction”: kapitalisme lama digantikan oleh kapitalisme baru lewat inovasi. Namun, esensinya tetap: penguasaan alat-alat produksi oleh segelintir elit.
Dulu, kapitalisme mengeksploitasi perkebunan kolonial. Lalu bergeser ke industri dan keuangan. Kini, ia hadir dalam bentuk pertanian digital, big data cuaca, Internet of Things, dan precision farming. Kapitalisme telah berganti tubuh—namun tujuannya tetap: akumulasi modal tak terbatas.
Siapa Menguasai Pangan, Menguasai Kehidupan
Karl Marx sudah mengingatkan: dominasi kelas kapitalis terletak pada penguasaan alat produksi. Kini, alat itu bukan hanya mesin dan tanah, tapi juga algoritma dan teknologi pangan modern.
Petani, peternak, dan nelayan tidak lagi memegang kendali atas komoditasnya. Mereka tersingkir, tergantikan oleh korporasi global yang mengintegrasikan seluruh rantai produksi—dari hulu hingga hilir.
David Harvey, dalam The New Imperialism, menjelaskan konsep accumulation by dispossession: akumulasi modal melalui perampasan ruang hidup rakyat.
Pembelian lahan oleh miliarder global adalah bentuk modern dari perampasan ini, dibungkus dengan narasi “ketahanan pangan” atau “pertanian berkelanjutan.”
Hegemoni Kapital dan Kekuasaan Simbolik
Pierre Bourdieu mengajukan konsep capital dalam banyak bentuk: ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Investasi pangan oleh para miliarder tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga membangun citra sebagai “penyelamat krisis pangan dunia.”
Dalam perspektif sosiologi kritis, ini adalah symbolic violence: dominasi yang tampak mulia, padahal menyembunyikan ketimpangan struktural.
Anthony Giddens menambahkan, masyarakat modern hidup dalam trust system: kepercayaan pada institusi dan teknologi. Ketika pangan dikuasai korporasi teknologi, masyarakat secara pasif menyerahkan kepercayaan itu, tanpa menyadari bahwa struktur kuasa di baliknya tetap timpang.
Kapitalisme Kosmopolitan, Negara Periphery, dan Bahaya Ketergantungan
Kapitalisme kini bersifat kosmopolitan, sebagaimana disebut Ulrich Beck: kekuasaan modal tak lagi mengenal batas negara. Tanah di Asia, pabrik di Eropa, distribusi di Pasifik, pasar di seluruh dunia. Kapitalisme telah deterritorialized, melampaui kontrol negara.
Immanuel Wallerstein dan Andre Gunder Frank, dalam teori dependency, menunjukkan bagaimana negara-negara periphery—termasuk Indonesia—terjebak sebagai pemasok bahan mentah bagi negara core.
Jika kontrol atas pangan jatuh ke tangan korporasi global, maka Indonesia hanya akan menjadi produsen, bukan pengendali.
Waspada: Ini Soal Kedaulatan, Bukan Sekadar Teknologi
Fenomena ini harus disikapi dengan serius. Ketika tanah, laut, dan sumber daya pangan dikuasai oleh segelintir pemodal, ancaman terhadap kedaulatan pangan nasional menjadi nyata. Harga, distribusi, bahkan pola konsumsi akan dikendalikan dari luar. Petani, peternak, dan nelayan terancam terpinggirkan, bahkan terus mengalami pemiskinan struktural.
Ketahanan pangan yang sejatinya hak dasar manusia berubah menjadi komoditas investasi global. Ini adalah ancaman terhadap keadilan sosial dan hak atas sumber daya.
Negara Harus Bertindak
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Negara tidak boleh membiarkan tanah, laut, dan produksi pangan nasional dijadikan ladang spekulasi global. Regulasi ketat dibutuhkan untuk melindungi lahan pangan rakyat.
BUMN dan koperasi pangan harus diperkuat sebagai pemain utama. Teknologi pangan harus dikembangkan secara inklusif dan berkeadilan.
Kapitalisme Tak Pernah Mati
Seperti kata Schumpeter, kapitalisme tak pernah mati—ia hanya berganti tubuh. Kini ia menjejak sawah, kebun, peternakan, dan laut, dengan teknologi sebagai instrumen baru.
Seperti kata Marx, siapa menguasai pangan, ia menguasai hidup manusia. Seperti diingatkan Harvey, kapitalisme selalu menyisakan dispossession di balik akumulasi.
Indonesia dan negara-negara berbasis pangan lainnya harus waspada. Bukan karena teknologi itu buruk, tapi karena penguasaannya oleh segelintir orang bisa memunculkan ketidakadilan baru yang melanggar amanat konstitusi: bahwa bumi dan air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Editor Denun