Dialog dan Negosiasi dengan Masyarakat Pesisir: Antara Upaya Konservasi dan Peminggiran

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Model ini gagal membaca realitas struktural masyarakat pesisir, terutama dalam hal kebutuhan hidup, jaringan sosial, dan ekonomi moral. Ketika konservasi berarti hilangnya sumber nafkah tanpa kompensasi atau alternatif, maka resistensi menjadi pilihan rasional.

Lalu, Siapa Diuntungkan dari agenda Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di ruang pesisir dan laut Nusantara?

PELAKITA.ID – Sudah saatnya konservasi sumber daya kelautan dan perikanan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai program teknis, tapi sebagai ruang sosial-politik yang sarat dengan dinamika kepentingan.

Konservasi Bukan Ruang Kosong: Ia Arena Kontestasi

Di banyak wilayah pesisir Indonesia, konservasi seringkali diposisikan sebagai agenda negara, dijalankan dengan pendekatan teknokratis yang menekankan perlindungan biodiversitas dan ekosistem. Namun dalam praktiknya, pendekatan ini kerap mengabaikan aspek sosial, budaya, dan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Konservasi bukanlah proyek netral. Ia sarat dengan relasi kuasa antara negara, pasar, dan komunitas lokal.

Alih-alih menjadi instrumen pelestarian yang inklusif, konservasi acap kali berubah menjadi proyek eksklusi yang membatasi akses masyarakat terhadap ruang hidup dan sumber daya yang telah mereka kelola secara turun-temurun.

Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial Konservasi

Dalam kerangka sosiologi budaya, laut bagi masyarakat pesisir bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga ruang eksistensial dan spiritual. Ia adalah lebenswelt—ruang hidup yang memuat narasi leluhur, tata nilai, serta sistem pengetahuan lokal. Maka, konservasi yang dibangun tanpa pengakuan terhadap dimensi ini rentan melahirkan ketegangan sosial, bahkan konflik terbuka.

Kisah sasi laut di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, menjadi bukti otentik. Melalui mekanisme adat yang membatasi eksploitasi laut secara periodik, masyarakat menjaga laut dengan nilai moral dan kolektif.

Konservasi berjalan bukan karena hukum negara, melainkan karena kesadaran budaya. Hal serupa juga terjadi di Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara.

Komunitas Bajo dikenal menjaga laut melalui praktik selektif dan musyawarah adat. Namun ketika wilayah mereka dimasukkan ke dalam Taman Nasional Wakatobi tanpa persetujuan penuh, ketegangan pun muncul. Baru setelah dilakukan pendekatan dialogis dan pengakuan terhadap struktur sosial lokal, ketegangan mereda dan konservasi dapat berjalan lebih adil.

Dalam pendekatan sosiologi pembangunan, konservasi acap kali merupakan bagian dari proyek modernisasi yang memosisikan masyarakat lokal sebagai “masalah” yang perlu ditertibkan.

Model ini gagal membaca realitas struktural masyarakat pesisir, terutama dalam hal kebutuhan hidup, jaringan sosial, dan ekonomi moral. Ketika konservasi berarti hilangnya sumber nafkah tanpa kompensasi atau alternatif, maka resistensi menjadi pilihan rasional.

Konflik di Wakatobi dan juga di Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah, adalah contoh konkret. Pembatasan aktivitas nelayan tradisional memicu ketegangan berkepanjangan.

Bahkan, sebagian warga mengalami kriminalisasi akibat praktik perikanan yang dianggap melanggar aturan konservasi. Tanpa partisipasi sejati dan alternatif ekonomi yang layak, konservasi hanya menjadi bentuk baru pengasingan atas nama pelestarian.

Selama ini, konservasi kerap dilaksanakan dengan landasan rasionalitas teknis—dalam bentuk skema ekonomi biru, kalkulasi willingness to pay, atau penilaian jasa ekosistem. Namun kerangka ini gagal menyentuh akar persoalan jika tidak disertai dengan willingness to listen—kemauan untuk mendengar dan memahami cara pandang masyarakat.

Konservasi yang hanya berbicara tentang “nilai ekonomi laut” dan “layanan ekosistem” tanpa berbicara tentang nilai hidup dan pengalaman komunitas adalah konservasi yang timpang.

Maka, diperlukan perubahan paradigma: dari konservasi sebagai instrumen kontrol, menjadi konservasi sebagai ruang kolaborasi.

Suasana di Pesisir dan Laut Pulau Kaledupa, Wakatobi (dok: K. Azis/Pelakita.ID)

Belajar dari Praktik Baik: Kapoposang, Teluk Saleh, dan Ironi Raja Ampat

Taman Wisata Perairan Kapoposang, Sulawesi Selatan, adalah contoh inspiratif bagaimana negosiasi dan ko-manajemen dapat menghadirkan konservasi yang berkeadilan.

Masyarakat bersama pemerintah dan pengelola menyepakati zonasi, jenis aktivitas, dan menerima insentif penghidupan alternatif. Model serupa berkembang di Teluk Saleh, NTB, di mana komunitas lokal terlibat dalam pengawasan dan pelaporan, sekaligus mendapat manfaat ekonomi dari praktik konservasi.

Namun di balik kisah sukses itu, terdapat ironi di Raja Ampat, Papua Barat Daya—kawasan yang selama ini dijadikan ikon konservasi laut dunia.

Aktivitas pertambangan nikel secara masif telah merusak ekosistem hutan mangrove dan pesisir, mencemari perairan, serta mengancam ruang hidup masyarakat adat di Kampung Atkari dan Saonek Monde.

Yang lebih menyedihkan, masyarakat yang telah menjaga alam selama puluhan tahun justru tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Data Greenpeace Indonesia (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 2.000 hektar hutan dan mangrove di Raja Ampat rusak akibat pertambangan dan pembangunan industri.

WALHI Papua Barat melaporkan bahwa sekitar 80 persen masyarakat sekitar tambang tidak pernah diajak konsultasi dalam proses AMDAL.

Ketika wilayah adat justru dijadikan target ekspansi industri, dan status konservasi bisa diabaikan demi investasi, maka konservasi kehilangan legitimasi moral dan ekologisnya.

Konservasi sebagai Gerakan Sosial

Jadi, sudah waktunya konservasi tidak hanya dilihat sebagai urusan ekosistem, tapi sebagai gerakan sosial yang mengakui hak, nilai, dan martabat masyarakat pesisir. Konservasi sejati adalah konservasi yang memberi ruang untuk dialog antar-pengetahuan, antara akademisi dan kearifan lokal.

Ia menuntut kerendahan hati untuk menjadi mitra, bukan instruktur. Ia menuntut keberanian untuk mendengarkan suara komunitas, bukan hanya suara institusi.

Konservasi bukan hanya tentang menutup akses atau melarang aktivitas. Ia adalah soal merawat hubungan antara manusia dan alam dengan prinsip keadilan ekologis dan sosial.

Jika ingin konservasi berhasil, maka ia harus diperjuangkan bukan sebagai proyek negara semata, tetapi sebagai gerakan bersama, yang berakar di bumi dan menyentuh hati masyarakat.

___
Penulis Prof. Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si

Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin