“Harusnya bisa diperluas lagi dermaganya, atau lokasi pembudidaya rumput laut ditata ulang lagi.”
PELAKITA.ID – Palopo, 4 November 2022. Salat Jumat baru saja selesai di Kawasan Binturu Palopo. Penulis salat di masjid samping SMP 3 Palopo lalu bergegas ke titik yang kerap dijadikan supir Palopo -Makassar ngetem.
Jarak dari masjid ke sini sekira 200 meter. Suasana siang kali ini di Kota Palopo sungguh terik. “Makassar sedang hujan,” info istri via Whatsapp.
Karena mobil yang sudah ngantri masih menunggu penumpang baru dan terancam lama, saya menahan mobil putih dari arah utara. “Dua ratus ribu,” kata supir yang mengaku asal Bulukumba itu.
Di mobil terdapat tiga penumpang plus supir. Saya memilih duduk paling belakang. Jadi dua di tengah, dua di depan.
Di bagian tengah ada satu sosok berambut panjang, mengenakan masker, mengenakan anting. Inilah yang sempat membuat saya pangling. Saya saya sempat memanggilnya ibu sebelum dia buka masker.
“Naik di Masamba, kapal kami di Munte,” katanya pendek. Di bagian depan duduk pria dengan wajah Timur. Di samping si gondrong duduk pria yang saya awalnya menduga dari Papua Barat, ya jadi ingat Raja Ampat atau Sorong.
“Saya Apo, asal Kupang,” katanya saat saya menyapa. Pria gondrong tadi hanya sampai di Ponrang. Dia turun dan pamit.
“Sampai jumpa Kep!” katanya ke pria yang duduk samping supir.
Pendek cerita saya berkenalan dengan keduanya. Yang kapten bernama Melianus asal Ambon. Dia kini tinggal di Jakarta. “Sudah delapan bulan belum pulang kita ini,” katanya. Dia bercerita kalau untuk sampai Munte dari Kalimantan selama 5 hari perjalanan. Cukup cepat tanpa membawa muatan.
Dari ceritanya saya jadi tahu kalau dia baru saja menyandarkan kapal tugboat atau tongkang di Pelabuhan Munte Bone-Bone, Luwu Utara. Dia berpengalaman sebagai nakhoda pembawa aneka muatan, dari batu bara, CPO hingga material industri.
Dia membawa tongkang dari Banjarmasin dan akan membawa CPO atau Cride Palm Oil ke Balikpapan. “Tujuan Balikpapan, bobot kapal kami sekitar 4000 metrik ton,” ucapnya saat penulis dan dia berhenti di Rumah Makan Pangkep di Keera Wajo, (4/11/2022).
“Ini sudah kedatangan kelima di Munte, hanya saja saya kira memang perlu penataan ya,” katanya. “Maksudnya, manuver kapal sangat sulit, ada banyak warga yang berusaha penanaman rumput laut di sekitar pelabuhan,” katanya.
“Kita mau mutar atau manuver kadang susah, kadang kapal sudah putar tapi tongkang masih belum aman, bisa saja menyenggol usaha budidaya.” Kurang lebih begitu penjelasannya. “Kasihan juga kalau tanaman mereka mendapat masalah,” imbuhnya.
“Harusnya bisa diperluas lagi dermaganya, atau lokasi pembudidaya rumput laut ditata ulang lagilah,” ucapnya.
Dia tidak menyebut spesifik nama perusahaan kapalnya namun yang pasti berbasis di Pontianak.
Sang Kapten memulai pekerjaan di atas kapal sebagai kru biasa. “Tahun 2000-an sudah di kapal,” kata pria yang mengaku sudah mengunjungi beberapa negara seperti Bahrain, Qatar dan beberapa negara di Asia Tenggara ini.
“Jadi saya balik ke Makassar ini lalu ke Jakarta,” tambahnya sebelum turun di Maros menjumpai keluarganya.
Menurut catatan Tribun Timur, di Pelabuhan Munte sudah ada rambu-rambu pelabuhan yang panjangnya 12 meter yang dibangun pada 2020 lalu, serta dilengkapi dengan lampu suar.
Panjang alur sekitar 2 km dan lebar 200 meter, sehingga kapal-kapal yang cukup besar bisa masuk ke pelabuhan secara aman dan nyaman.
Distribusi minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk pertama kalinya dilakukan melalui Pelabuhan Munte, Kabupaten Luwu Utara,Provinsi Sulawesi Selatan oleh Kapal Tongkang milik PT. Serasi Shipping Indonesia pada 12 April 2022.
Pelabuhan Munte sejatinya bisa menjadi bagian dalam distribusi CPO langsung dari kawasan Luwu Raya yang memang mempunyai banyak kawasan tanaman kelapa sawit.
Selama ini pengapalan minyak CPO selama ini, perusahaan yang ada di Luwu Utara dan Luwu Timur menggunakan Pelabuhan Laut Tanjung Ringgit Kota Palopo dengan jarak tempuh mobil tangki berkisar antara 60 hingga 70 kilometer.
Penulis: K. Azis