Akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas peraih Eisenhower Fellowship, Sudirman Nasir, Ph.D menuliskan pandangannya tentang sosok Dr. Paul Farmer, tokoh kesehatan dunia yang pernah ditemuinya di Amerika Serika. Paul meninggal dunia pekan ini.
PELAKITA.ID – Makassar hujan cukup deras dan lama kemarin. Cuaca seperti ini mudah mengundang rasa agak sendu. Dan sebuah email dari kawan di Philadelphia, Shelley Preston, mengabarkan wafatnya sosok sangat penting dalam dunia kedokteran-kesehatan masyarakat-kesehatan global dalam beberapa dasawarsa terakhir, menyempurnakan kesenduan.
Shelley yang begitu ramah mendukung teknis kegiatan, jadwal dan perjalanan cukup panjang di banyak kota atau negara bagian di Amerika selama masa Eisenhower Fellowship saya di negeri ini tahun 2019 lalu menanyakan siapa yang ingin sekali saya temui di Harvard selama fellowship ini, dan tanpa berpikir panjang saya sebut nama Paul Farmer.
Tentu saja tak mudah mendapatkan jadwal ketemu sosok super sibuk seperti Dr. Farmer. Ia tak selalu ada di Amerika atau di Harvard tempatnya mengajar. Ia sangat banyak juga bekerja di negara-negara berkembang dan miskin. Aktiivitasnya sebaga akademisi, profesional dan aktivis kesehatan banyak ia lewatkan di Haiti dan di negara-negara Afrika. Ia meninggal di pelosok Rwanda dekat perbatasan Uganda. Bukan di Boston Amerika.
Saya beruntung dan mungkin berkat nama atau reputasi Eisenhower Fellowship (Dwight Ike Eisenhower adalah salah presiden hebat dan paling diingat dalam sejarah Amerika), juga kebetulan ia ada di Harvard pada medio April 2019 itu, hingga dapat bertemu dengan sosok luar biasa ini.
Buku dan artikell-artikel Paul Farmer menjadi semacam bacaan wajib bagi mahasiswa kesehatan masyarakat-kesehatan global-kedokteran. Pengalaman panjangnya di Haiti, Afrika dan juga di negaranya sendiri melihat kompleksnya masalah kesehatan khususnya pada kalangan tak beruntung secara sosial-ekonomi membuatnya mampu secara meyakinkan dan mengharukan (selalu ada jejak puitis dalam tulisan-tulisan akademiknya) dan juga pada tutur katanya ketika berbicara.
Ada kepedihan tapi juga optimisme. Darinya kita belajar banyakk ketakterpisahan atau interseksi aspek biomedik dan determinan sosial kesehatan. Dr Farmer lantang pula bicara mengenai pentingnya “cultural sensitiveness” dalam layanan dan sistem kesehatan.
Paul Farmer dikenal pula sebagai salah tonggak sangat penting bidang antopologi kesehatan.
Paul Farmer memberi sumbangan sangat berarti dalam menghadapi pandemi HIV-AIDS. Tentu juga dalam menghapi Covid-19 dua tahun terakhir ini. Ia adalah salah satu kawan dekat dan kolega Dr. Anthony Fauci (sosok paling banyak muncul terkait Covid-19 di Amerika) dan Dr Fauci mengatakan ia berurai air mata mendengar kematian sejawat dan sahabatnya ini. Ia kehilangan salah satu penasihat utama.
Ketika bertemu Dr. Farmer di Fakultas Kedokteran Harvard sore di bulan April 2019 yang cerah itu, ia sedang memandu kuliah umum sejawatnya yang juga sangat menginpsirasi, Dr. Warwick Anderson dari Australia (Universitas Sydney). Kebetulan saya juga kenal dan pernah bertemu dengan Warwick dan jadilah sebuah diskusi kecil yamg hangat.
Saya memang pernah melihat dan menyimak presentasi Paul Farmer di Bangkok pada 2009 ketika masih mahasiswa doktoral Universitas Melbourne, tapi di konferensi besar seperti itu sungguh sulit bisa berdiskusi dengan “sosok raksasa” seperti dia. Ada begitu banyak orang yang ingin bertemu dengannya karena reputasi cemerlangnya.
Reputasinya tak menbuatnya menjaga jarak. Setelah kuliah Warwick selesai, Paul mengajak saya berjalan menelusuri kampus Harvard dari School of Medicine ke T.H. Chan School of Public Health universitas kesohor ini. Cuaca cerah, langit biru, pepohonan dan gedung-gedung klasik serta mahasiswa-mahasiswa muda yang lalu lalang membuat diskusi dan jalan-jalan sore itu bagi saya tak terlupakan.
Ia tak melulu bicara teknis. Ia juga bicara pentingnya melek sejarah kedokteran dan kesehatan masyarakat serta sejarah sosial masyarakat di mana sebagai akademisi kum profesional kesehatan bekerja.
Ia bercerita betapa banyak ia belajar dari masyarakat Haiti dan negara-negara di Afrika. Sambil menyeruput minumannya (yang ia bawa dari ruang kuliah tamu Warwick) ia seperti bergumam ketika bilang “Sayang sekali saya tak pernah singgah agak lama di Indonesia. Saya tahu Indonesia sangat menarik termasuk dalam hal kesehatan masyarakat. Saya tahu tantangan berat di negaramu tapi juga tahu sejumlah kemajuan yang dicapai dalam beberpa dekade terakhir. Memang tak ada revolusi dalam bidang kita, selalu berupa perjalan panjang, maju mundur, penuh hambatan tapi juga selalu ada titik terang kalau kita terus bekerja keras. Bekerja di Haiti dan Aftrika dan tentu di Amerika menyita amat banyak waktu saya, hingga apa boleh buat saya tak bisa menjelajahi dalam waktu cukup lama untuk mengenal dan belajar dari negara-negara menarik lainnya seperti Indonesia.”
Kami berpisah di sore menjelang petang di sebuah pojok di kampus Harvard yang asri itu. Sosok yang tulisan-tulisannya banyak saya baca dan kutip untuk tesis dan tulisan lainnya selama studi bahkan setelah selesai studi, tersenyum senang ketika tahu saya juga akan ke berbagai negara bagian di Midwest dan ke sebuah wilayah terpencil di South Dakota untuk belajar dari layanan kesehatan masyarakat asli Lakota.
Paul bilang, yaaa Amerika bukan hanya Harvard, Boston, New York atau San Francisco yang gemerlap itu. Amerika pun memiliki masalah tak kalah berat di bidang kesehatan dan sosial apalagi di kalangan masyarakat marjinalnya. Ia melambaikan tangan ketika berpisah dan berjalan pelan menelusuri koridor Harvard.
Saya tak beranjak, melihat punggungnya menghilang ketika ia menikung. Sosoknya tak lagi kelihatan dan saya masih di koridor itu menyesap kopi dan juga kata-katanya yang pelan tapi menggugah di pertemua sore itu.
Selamat jalan Dr. Paul Farmer. Banyak orang berduka dan mengenangmu. Sosok dan karyamu abadi dalam kenangan banyak orang yang pernah bertemu langsung denganmu ataupun yang mengenalmu lewat karya-karya akademik maupun kepeloporanmu.
Editor: K. Azis