Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin ‘tergoda’ menulis pandangannya saat membaca berita Paracetamol Masuk Laut. Bagaimana bisa obat sakit kepala andalan warga +62 itu ada dalam tubuh laut kita? Warga laut mana yang pening? Dari mana dia masuk laut?
PELAKITA.ID – Di Negara Maritim ini ada ada saja hal unik yang menjadi menarik diberitakan dan dapat mencuri perhatian publik.
Paracetamol, obat analgetik yang sering digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam baru baru ini diberitakan telah mencemari lingkungan laut Jakarta. Heh?
Iya, hasil studi Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerjasama peneliti Universitas Brighton di Inggris menemukan konsentrasi tinggi paracetamol, obat bebas yang digunakan sudah lebih dari 50 tahun dan disebut telah mencemari teluk Jakarta.
What? betul, studi ini termuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin, (Agustus, 2021) berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia.”
Konsentrasi tinggi paracetamol dalam artikel tersebut dilaporkan terdeteksi di dua situs yaitu Muara Angke (610 ng/L) dan Sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L).
Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding di pantai Brasil yang sebesar 34,6 ng/L dan pantai utara Portugis yang sebesar 51,2–584 ng/L.
Konsentrasi paracetamol yang cukup tinggi dibandingkan dengan tingkat lain yang dilaporkan dalam literatur ilmiah membuat kekhawatiran masyarakat terkait risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.
Pencemaran laut, dalam PP No. 19 Tahun 1999 didefinisikan bahwa ketika masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Hal itu terkait langsung dengan kelestarian ekosistem laut yang dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan kini semakin mengkhawatirkan bagi laut Indonesia.
Dalam kondisi normal, lingkungan hidup dapat memberikan keseimbangan interaksi antara makhluk hidup lainnya, tetapi jika terjadi penyimpangan keberadaan karena aktivitas antropogenik, maka dampak yang ditimbulkannya terhadap kelestarian lingkungan dan manfaat dari sumber daya alam yang ada di laut menjadi terganggu.
Lautan dan daratan merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan dan terpengaruh satu dengan yang lainnya oleh karena itu pencemaran laut tidak dapat dipandang hanya sebagai permasalahan yang terjadi di laut.
Kegiatan manusia yang sebagian besar dilakukan di daratan sehingga 70 sampai 80 persen pencemaran itu disadari atau tidak, secara langsung maupun tidak langsung, berdampak terhadap ekosistem di lautan.
Meskipun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, paracetamol itu tidak ada di dalam 38 parameter sebagai indikator pencemaran lingkungan namun sebenarnya semua obat-obatan bisa menjadi kontaminan lingkungan dan bukan berarti ini lepas dari pengawasan pemerintah.
Kadar cemaran paracetamol yang terdapat pada tubuh organisme seperti ikan atu organisme laut lainnya tentu tidak sebanyak yang terkandung dalam air teluk namun merupakan salah satu emerging contaminants atau sangat berisiko mencemari lingkungan pada konsentrasi tinggi.
Kandungan paracetamol di perairan Teluk Jakarta bukan hanya menjadi bukti kalau lingkungan laut sudah tercemar, tapi juga bisa ancaman bagi kesehatan warga.
Pemerintah sudah seharusnya menguatkan regulasi tata kelola limbah air, baik rumah tangga, rumah sakit, pertanian maupun industri untuk mencegah zat berbahaya seperti obat-obatan mencemari dan merusak lingkungan perairan laut.
Jika hal itu diperketat, paracetamol takkan mengusik ‘sakit kepalanya’ laut kita yang memang sudah terasa sejak bertahun silam.
Baraya, 6 Oktober 2021