Idham Malik, peneliti budidaya perikanan di Sulawesi Selatan mengetengahkan data dan informasi ‘diskursus’ atas praktik budidaya udang supraintenstif yang selama ini banyak dipujapuji sebagai ‘sukses dan layak tiru’. Seperti apa telisikan dan temuan pria alumni budidaya perikanan Unhas itu? Yuk simak.
PELAKITA.ID – Pada tanggal itu, 17 Oktober 2013, kurang lebih 8 tahun lalu, pada sebuah cafe bernuansa otomotif di Jalan Sudirman Makassar, seorang Doktor Perikanan bernama Agung Sudaryono, yang juga Sekjen MAI (Masyarakat Akuakultur Indonesia) memprospek saya untuk membantu mengembangkan MAI di Sulawesi Selatan.
Pak Agung cukup simpatik, kala itu kami juga membicarakan tentang genre-genre musik, ternyata dia salah seorang penggemar beragam genre musik, dan dapat memainkan beberapa alat musik.
Pada perbincangan itu, saya bertanya, “Siapa ketua MAI Sulawesi Selatan?” lantas dijawabnya, Hasanuddin Atjo, kami ke sini untuk mengikuti launching tambak supraintensif-nya besok lusa, kalau bisa kamu ikut, dan bantu kami untuk menghubungkan ke para jurnalis yang ada di Makassar,” jawab Agung.
Makanya, saya pun mengantar beberapa wartawan dari Makassar, diantaranya M. Yunus (Tempo Makassar), Rustam (Warta Timur), Beni (Identitas), hingga menghubungi Enal (Kompas) untuk turut meliput kegiatan tersebut.
Pada hari H, tanggal 19 Oktober 2013, begitu banyak tokoh yang datang, menjibuni halaman tambak Supra Intensif milik Hasanuddin Atjo di Kuppa, Kab. Barru.
Di antara yang hadir yaitu Prof Rochmin Dahuri (Ketua MAI Pusat), Pak Iskandar dan Ir. Sulkaf Latif (DKP Prov. Sulsel), Dr. Ir. A. Parenrengi dan Ir. Sugeng Perwakilan balai riset perikanan budidaya air payau maros dan Balai Air Payau Takalar, hingga Pak Longki Djanggola (Gubernur Sulteng), dll.
Waktu itu, terdapat sambutan dari masing-masing elit perikanan itu, Rochmin Dahuri, yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu sangat mengapresiasi capaian yang telah diperoleh oleh Hasanuddin, tapi ia mengingatkan bahwa yang menjadi tantangan berikutnya, adalah limbah buangan tambak.
Tibalah saatnya Hasanuddin Atjo menjelaskan, “Teknologi Supra intensif mengintegrasikan aspek sarana prasarana, teknologi, benih, manajemen lingkungan, pakan, dan usaha/technopreneurship untuk meningkatkan jumlah individu yang bisa hidup dalam kawasan yang terbatas.
Kunci dalam sistem ini yaitu dengan memisahkan antara limbah (bahan organik) dengan organisme budidaya dengan menggunakan sistem pembuangan yang disebut central drain (memanfaatkan gravitasi).
Pembuangan kotoran berlangsung secara sistematis sehingga kualitas air selalu terjaga serta kualitas oksigen tetap stabil untuk memenuhi kebutuhan oksigen organisme budidaya. Dengan demikian kepadatan dapat ditingkatkan, pada lahan 1000 m2 dapat menampung 720.000 benur dengan hasil sebanyak 15,3 ton dengan sistem panen berkala”.
Dia bercerita mengenai kepadatan siklus sebelumnya, yaitu 700 ekor/m2, dengan Food Conversion Ratio (FCR) 1,18 yang sebelumnya 1,57, kelulusan hidup 94 persen dan kapasitas produksi dari 4.069 kg/0,1 ha menjadi 15.300 kg/0,1 ha. Tambak supra intensif mendaku memproduksi 15,3 ton, atau produksi terbesar di dunia saat itu, dimana pernah dicapai Meksiko 11,1 ton untuk tambak 1000 m2.
Atjo sendiri telah memperidiksi bahwa daya dukung lingkungan tambak supra intensif dengan penerapan pond engineering adalah 9 ton per 1000 m2.
Memang, saat itu, orang dibuat terpukau, Hasanuddin Atjo berhasil memecahkan black box sistem internal budidaya intensif, hingga dapat meningkatkan daya tampung produksi, hingga 1000 ekor permeter persegi. Biomassa, pelet, feses yang membentuk bahan organik diurai dengan pendekatan teknologi oksigen dan probiotik, sehingga NH3 (amoniak) dengan segera diubah menjadi NO3 (nitrat) yang akan membentuk algae/plankton. Begitu pun halnya dengan phospat (PO4) dan Sulfat (SO4) yang diurai dari asam sulfat (H2S) dapat langsung diserap oleh algae.
Saat itu, saya mempertanyakan dalam benak saya sendiri klaim ramah lingkungan yang dia maksud. Bagaimana bisa kita dapat diceramahi mengenai menjaga lingkungan tetap layak dan kemampuan mengendalikan patogen jika tambak itu tak ada kolam IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)? Anggaplah FCR berhasil 1,1, yang berarti jumlah pakan yang ditebar sekitar 15 ton juga, dimana hasil budidaya 15,3 ton.
Berarti, sisa pakan diperkirakan 50 – 60 persen akan menjadi limbah, baik cair maupun padat. Limbah padat mungkin bisa diangkut dan dimanfaatkan menjadi pupuk, tapi masih ada limbah cair yang mesti diolah dengan pengendapan, oksigen maupun oleh biofilter (ikan nila, kekerangan, rumput laut).
Pada 20 Agustus 2015, kami berkunjung ke Kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP Maros) untuk mendengar penjelasan dari Prof. Rachmansyah mengenai prototype tambak supraintensif serta seperti apa dampak dan penanganan limbah tambak supraintensif yang dikelolanya di Dusun Punaga, Desa Laikang, Kec. Mangarabombang, Kab. Takalar.
Menurut professor riset ini, untuk tambak supraintensif ini sudah ada SOP-nya, dimana proporsi antara tambak dengan tandon-IPAL adalah 1:1 atau 50% tambak dan 50% (tandon dan IPAL). Dari hasil penelitian Prof Rachmansyah diperoleh tingkat Survival Rate (SR)/daya hidup udang terbaik yaitu pada padat tebar 600 ekor/m2 dengan SR 92,4%. Sedangkan pada padat tebar 1000 ekor/m2 diperoleh data SR 79,1%.
Tambak Supraintensif ini memiliki berbagai potensi dampak, seperti dapat menyebabkan blooming/meledaknya alga di perairan umum, meningkatnya kandungan bahan organik menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan dapat menuju krisis oksigen di perairan, potensi sedimentasi perairan sekitar dan pengaruhnya pada organisme bentik serta ekosistem lamun dan karang yang ada di sekitarnya, potensi mendorong munculnya bakteri penyebab toksisitas dan patogen bagai organisme bentik maupun komoditas budidaya sekitar.
Rachmansyah menjelaskan bahwa begitu besar limbah terbuang/tidak terpakai pada kegiatan tambak supraintensif. “Nitrogen yang dimanfaatkan udang hanya 22,27%, Posfor hanya 9,79%, dan Carbon : 13,6%. Berarti nitrogen yang dibuang sebesar 77,73%, Posfor yang terbuang sebesar 90,21%, dan carbon yang terbuang sebesar 86,40%,” kata peneliti ini.
Belum lagi N total, sebesar 9,8389 ppm (padat tebar 750 ekor/m2), 10,7562 ppm (padat tebar 1000 ekor/m2), dan 14,426 ppm (padat tebar 1.250 ekor/m2). Bagaimana dengan limbah yang menjadi sedimen? Total sedimen (ton) bobot kering mencapai 18,2 ton (padat tebar 750 ekor/m2), 20,3 ton (padat tebar 1000 ekor/m2), dan 21,9 ton (padat tebar 1.250 ekor/m2).
Estimasi buangan limbah organik tambak supra intensif yang bervolume 1,766 juta m3, untuk 4 buah tambak supra intensif dengan luas masing-masing 1000 m2 dengan tandon dan IPAL, luas area penyebaran yaitu 49 Ha dengan flushing time/waktu pembilasan selama 3,8 hari.
Wow, penyebaran limbah di laut bisa sampai 49 hektar. sedimen-sedimen ini, boleh jadi menutupi terumbu karang dan mengganggu lamun, serta akan membutuhkan waktu berhari-hari agar dapat diurai oleh bakteri-bakteri yang nantinya dapat menjadi patogen (penyebab penyakit) bagi udang-udang tambak skala tradisional, tradisional plus, ataupun balai-balai perbenihan (hatchery) yang ada di sekitar situ.
Rachmansyah memberikan kategori daya tampung lingkungan bagi tambak supraintensif. Jika limbah Nitrogen 355,51 kg (untuk 750 ekor/m2), 443,7 kg (untuk 1000 ekor/m2), dan 653,47 kg (untuk 1.250 ekor/m2), dan limbah posfat 116,76 kg (untuk 750 ekor/m2), 152,80 kg (untuk 1000 ekor/m2), dan 202,82 (untuk 1.250 ekor/m2).
Maka, hanya boleh 1 + (1) tambak padat tebar 750/m2 dengan daya dukung 13 ton udang/unit kawasan dan 1+(1) tambak padat tebar 1000 ekor/m2 dengan daya dukung 14 ton udang/unit kawasan.
Penjabaran ini dengan asumsi bahwa di lokasi tersebut tidak banyak atau kurang terdapat tambak tradisional dan intensif lainnya. Menjadi persoalan bahwa pada kawasan tambak supra intensif, yang jumlahnya bertambah sejak diperkenalkan pada Oktober 2013, dimana PT. Esa Putli turut pula mempraktikkannya yang pada 2015 telah menggunakan 3 petak tambak, yang terus bertambah, hingga 2018 sudah ada sekitar 9 petak tambak.
Terdapat pula tambahan satu tambak supraintensif yang dikelola oleh H. Maming di Lawellu Barru. Belum lagi praktik tambak intensif ataupun mungkin supraintensif di daerah daerah pengembangan yang baru, yaitu Palu, Gorontalo, Poso ataupun Toli-Toli. Kita masih kurang informasi mengenai lokasi-lokasi tersebut, tentang konversi mangrovenya dan pengelolaan limbahnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Pada 19 Agustus 2015, kami berjalan-jalan ke backyard dan hatchery yang ada di sekitar tambak supraintensif di Kab. Barru. Kami bertemu Pak Roket, pengelola backyard Benur Lestari. Lokasi backyard (tempat perbenihan skala kecil) Pak Roket bersebelahan dengan tambak supraintensif CV. Dewi Windu, di Desa Kuppa, Kec. Mallusettasi, Kab. Barru.
Roket memiliki 6 bak benur, yang sebelum tambak supraintensif beroperasi bisa menghasilkan hingga 2 juta benur udang windu. Namun, hingga saat itu, hanya dapat menghasilkan 1 juta benur, bahkan hanya 300 ribu ekor saja.
Kami juga mengunjungi Hatchery Mutiara Biru Kuppa (MBK) yang dikelola oleh Pak Rudi.
“Sepanjang tahun 2014, produksi benur windu sangat minim dan boleh dibilang produksi nol beberapa kali,” kata Rudi. Baru pada 2015, Rudi menemukan teknik pengolahan air yang berhasil mengurangi kematian hingga mencapai tingkat produksi yang sama sebelum munculnya tambak supra intensif.
Terdapat hal menarik yang dilontarkan oleh Rudi yaitu tentang kondisi karang yang berada di bentangan selat Makassar perairan Kupa, Kab. Barru. Menurutnya, boleh jadi karang mengalami kerusakan akibat limbah organik yang dibuang terus menerus oleh tambak supra intensif.
Rudi berharap agar tambak supra intensif tidak dilakukan di kawasan hatchery, “Teknologi supra intensif itu dilakukan jika lahan sudah sempit, sementara lahan di Indonesia ini sangat luas dan masih banyak lahan lain yang bukan kawasan hatchery yang dapat dijadikan lahan tambak supra intensif,” ujarnya.
Bisa kita bayangkan kerugian yang akan dihadapi petambak jika kualitas air kawasan hatchery menurun? Penurunan produksi benur udang windu dipastikan terjadi. Saya tidak tahu apakah ini yang menjadi salah satu penyebab penurunan produksi windu pada 2015-2016 di Pinrang ataupun di daerah-daerah lain, yang ada di Sulawesi Selatan.
Sehingga, terdapat beberapa hal yang harus didorong dengan tegas agar udang masih tersedia di Sulawesi Selatan. Pertama dengan membatasi kegiatan perikanan supraintensif di kawasan hatchery, kedua, mendorong agar tambak-tambak supraintensif menerapkan mekanisme IPAL secara ketat.
Kawasan tambak milik PT. Esa Putli saat itu telah memiliki IPAL seluas 0,5 hektar, namun belum terlihat SOP dalam pengelolaan limbah. kapasitas daya tampung IPAL jika dibandingkan jumlah petak tambak juga rendah.
Menurut Rachmansyah, pengolahan limbah tambak supra intensif Desa Punaga, terdapat jejeran kolam pengendapan, dalam pengendapan ini berlangsung selama 8 jam, dilanjutkan di kolam oksigenasi yang berlangsung 12 jam, kemudian dialirkan ke kolam biokonversi yang berlangsung 12 jam, lalu di kolam penampungan selama 4,2 hari. Jadi total waktu yang dibutuhkan dalam pengelolaan limbah di kolam IPAL, yaitu 6 hari.
Endapan yang diperoleh di kolam pengendapan dapat digunakan untuk pupuk organik (POLTASI) untuk tambak supra intensif, dan biogas. Untuk kolam penampungan, terisi ikan bandeng, ikan nila, ikan baronang, kekerangan, dan rumput laut. Selain itu, sebaiknya terdapat rumput laut yang dipelihara di laut berbatasan dengan tambak supra intensif. Daya serap rumput laut terhadap limbah tambak supra intensif cukup banyak. Yaitu 24,8 ug/g/jam untuk nitrogen dengan 2.752 ton Rumput laut, dan 9,1 ug/g/jam untuk Posfat dengan 15.693 ton rumput laut.
Demikianlah tulisan ini dibuat, bukan untuk mendiskreditkan seseorang seperti Hasanuddin Atjo, yang merupakan guru bagi banyak orang di Sulawesi Selatan, bahkan di Indonesia. Saya menaruh hormat pada Hasanuddin Atjo yang telah berani menembus batas.
Hanya saja, persoalan budidaya ini bukan hanya soal produksi, soal ekonomi, tapi juga untuk menjamin kegiatan budidaya ini dapat terus berlangsung, dan menghidupi masyarakat yang ada di daerah pesisir kita. Untuk itu, saya hanya meminta kebijaksanaan dari Pak Hasanuddin Atjo yang telah berani mendeklarasikan/melaunching tambak supraintensif, yang juga saat ini menjadi penasehat ahli pengembangan budidaya udang vannamei untuk Kemenko Maritim dan Investasi.
Riset dan prototype tambak supraintensif yang telah disediakan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros di bawah kendali Prof. Racmansyah haruslah jadi acuan, yang dipraktikkan dan dijalankan sebagaimana mestinya, dan tidak hanya menjadi dokumen belaka, ataupun, jika dilakukan saat ini, tidak sekadar menjadi laporan untuk jurnal berindeks scopus saja.
***
Tulisan ini adalah tulisan refleksi kritis terhadap fenomena tambak supraintensif di di Sulawesi Selatan, yang berlangsung sejak 2013-2015. Kejadian setelah 2015 saya tidak mengikutinya lagi. Untuk segala kesalahan penulisan catatan ini, saya memohon kebijaksanaan pembaca.
___
Artikel ini adalah properti Idham Malik