PELAKITA.ID – Obrolan terkait gini ratio, penanganan isu kesehatan masyarakat di Kota Makassar, efektivitas layanan Pusat Kesehatan Masyarakat hingga daya serap lembaga Pemerintah merekrut Sarjana kesehatan Masyarakat dibahas mendalam di grup WA Alumni Unhas.
Tumben, menarik.
Here we go! Adalah Dekan Fakultas Kesehatan Makassar, Dr Aminuddin Syam yang menyebut bahwa satu-satunya kota yang tidak satu pun Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang jadi Kepala Puskesmas, hanya di kota Makassar.
“Padahal Puskesmas adalah garda terdepan untuk menyehatkan masyarakat bukan tempat mengobati orang sakit,” sebut Dr Amin.
Terkait itu, Sosiolog Dr Sawedi Muhammad menilai hal tersebut terjadi karena paradigmanya masih ke paradigma kuratif, belum ke preventif. Makassar, dalam obrolan ini disebut membutuhkan ahli kesehatan lingkungan termasuk psikiater.
Tentang kondisi kesehatan masyarakat yang merupakan bagian dari indeks pembangunan manusia, atau bisa jadi karena ketimpangan ekonomi, Dr Sawedi Muhammad menyebut jika indeks pembangunan manusia di Makassar tinggi, sementara gini ratio-nya melebar.
Koefisien Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilità e mutabilità. Koefisien ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Di seluruh dunia, koefisien bervariasi dari 0.25 hingga 0.70.
“Artinya, hasil pembangunan yang berimplikasi langsung ke angka harapan hidup, tingkat kesehatan dan pendidikan itu belum merata, dan ini pekerjaan rumah untuk dibenahi,” sebut Dr Sawedi.
Terkait paradigma kesehatan itu, Dr Amin menyatakan bahwa paradigma kuratif itu berlaku tahun 70-an, sebelum ada Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Dengan realitas seperti itu, dianggap telah berimplikasi pada kondisi kesehatan warga Makassar dan tata kelola organisasi pelayanan kesehatan publik termasuk Indeks Pembangunan Manusia dan GINI Ratio. Hal yang disebut oleh Sawedi sebagai fakta yang memang mengkhawatirkan.
Dr Amin menyatakan bahwa yang perlu diingat bahwa sehat bagi setiap penduduk adalah hak azasi dan hanya orang sehat yang bisa produktif sehingga pemerintah wajib menjaga kesehatan rakyatnya supaya tidak melanggar hak azasinya dan rakyatnya tetap produktif
dr Suryadi, ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Gowa, melanjutkan, bahwa sudah saatnya revitalisasi peran Puskesmas untuk dikembalikan fungsinya yang telah diobok-obok oleh BPJS Kesehatan.
“Karena BPJS Kesehatan, Puskesmas dipaksa jadi RS Mini, padahal harusnya mereka mengelola kesehatan masyarakat untuk tidak sakit. Bukan malah fokus mengurus kesehatan perorangan yang sakit,” kata Suryadi.
Suryadi menambahkan. “Saat ini, karena persoalan kapitasi (baca: dana kapitasi) maka Puskesmas dibuat bersaing dgn klinik-klinik Pratama untuk menarik minat peserta BPJS agar memindahkan kepesertaannya pada tempatnya,” katanya.
Kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pratama berdasar jumlah peserta terdaftar.
“Padahal, tupoksinya berbeda. Puskesmas pada perannya di Kesehata Masyarakat dengan fungsi promotif dan preventif. Klinik Pratama perannya pada kesehatan perorangan dengan titik fokus kuratif,” terangnya.
Sehingga, lanjut Suryadi, mestinya Puskesmas sebagai koordinator kesehatan di wilayahnya agar dapat mengendalikan klinik-klinik Pratama tersebut.
“Tapi kondisi saat ini yang terjadi adalah Puskesmas malah menjalankan peran kompetitor terhadap klinik yang ada di wilayahnya. Maka program-program pasti sulit dikoordinasikan,” tambahnya.
“Mari kita lihat angka kematian Ibu dan bayi semakin meningkat belakangan ini. Karena Puskesmas kita tidak fokus di pencegahan. Ttetapi fokus di kuratif dan berlomba-lombalah Puskesmas beli USG, jadi puskesmas perawatan dan lain sebagainya,” jelasnya.
Oleh Dr Aminuddin Syam, hal tersebut dianggap sebagai kekeliruan yang mestinya diluruskan.
“Karena mestinya, DPRD bertanya kenapa banyak konstituen saya tidak sehat? Apakah dana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya belum cukup?” tanggap Dr Amin.
Suryadi menilai ketidakefektifan itu, berkaitan dengan kapasitas atau kompetensi yang tak ada pada posisi yang tepat.
“Bukan kompetensinya, maka jebol semua pertahanan kesehatan masyarakat di Puskesmas,” tegasnya.
“Puskesmas itu mestinya tempat konsultasi bagi rakyat supaya tetap sehat dan produktif, bukan tempat mengobati apalagi mencari tambahan PAD. Karena sudah ada disediakan RS bagi yang sakit. Makanya namanya PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Mastarakat) bukan Pusat Kesakitan Mastarakat,” lanjut Dr Aminuddin.
Hal lain yang mengemuka adalah rupa tata kelola kesehatan publik yang oleh Suryadi disebut sebagai keanehan.
“Keanehan tata kelola kesehatan kita saat ini adalah kalau kita survey SDM Puskesmas, maka yang terbanyak adalah tenaga kuratif. Dokter, perawat, bidan padahal harusnya yang banyak adalah tenaga Kesmas, Kesling, Gizi. Sedangkan di RS, justru menumpuk teman-teman Kesmas, Kesling, Gizi. Yang akhirnya, mohon maaf, mereka lebih banyak bertugas di administratif,” jelas Suryadi.
“Penumpukan SKM di RS akibat kebijakan yang keliru, mestinya pelayanan kuratif diberikan oleh yang punya kompetensi kuratif, kalau harus ada cukup sebagai tenaga administratif,” tanggap Aminuddin.
Hal lain yang juga disinggung adalah posisi Pemerintah Pusat yang oleh Suryadi bertolakbelakang dengan kebijakan yang relevan dengan kebutuhan.
“Kita lebih sepakat mendorong teman-teman Kesmas, eh malah Kemenkes mendorong lahirnya Dokter Layanan Primer (DLP) ditugaskan di Puskesmas, hal ini justru ditentang oleh IDI,” tanggapnya.
“Dokter layanan primer ini akan setara dengan spesialis. Penempatannya juga akan lebih ke komunitas, masyarakat, dan keluarga,” katanya lagi.
“Selain pengobatan klinis, ilmu-ilmu mengenai kemasyarakatan juga akan ada pada dokter layanan primer. Pelayanan kesehatan primer ini dilakukan untuk menghemat biaya dokter spesialis, di mana masyarakat bisa mendapatkan layanan kesehatan terbaik,” jelasnya.
“Dan program ini ditolak oleh IDI,” tambahnya.
“Kehadiran DLP bisa menjadi penghambat peningkatan kesehatan rakyat,” timpal Dr Aminuddin Syam. Alasannya karena memang dasar paradigma dokter adalah kuratif.
Penulis: K. Azis