PELAKITA.ID – Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia bersama Sustainable Fisheries Partnership (SFP) menggelar Focus Group Discussion: Scoping Study Rencana Penguatan Nelayan Skala Kecil Perikanan Kakap-Kerapu melalui Pendekatan Co-Management di Perairan Kota Makassar dan sekitarnya, (10/5/2021).
Menurut Nirwan Dessibali dari YKL, kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan informasi kondisi pengelolaan kakap kerapu skala kecil dan hasil penilaian faktor-faktor kunci pengembangan FIP (Fisheries Improvement Project) dengan melibatkan pelaku usaha perikanan serta pemangkukepentingan lainnya.
Menurut Nrwan, ikan kakap-kerapu memiliki pasar yang cukup besar di luar negeri. “Besarnya potensi sumberdaya perikanan ini jadi peluang besar untuk perekonomian masyarakat, terutama bagi nelayan kakap-kerapu skala kecil,” ucapnya.
Dia juga menyebut bahwa komoditas Ikan kakap kerapu di Suawesi Selatan dihasilkan dan dipasok dari daerah tangkapan sekitar perairan Makassar, Kabupaten Sinjai, Bone, Taka Bonerate, kabupaten pesisir lainnya di Sulawesi Selatan.
“Bukan hanya itu, tetapi juga dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan Timur. Kota Makassar ini adalah merupakan pusat hasil perikanan demersal di kawasan timur Indonesia,” terangnya.
Merujuk pada hasil riset YKL Indonesia, minat konsumsi hasil perikanan di daerah ini sangat tinggi.
“Konsumsi ikan lokal telah mencapai 45 kg per kapita per tahun atau 200 persen di atas konsumsi ikan rata-rata nasional. Hal itu kemudian didukung oleh banyaknya pasar lokal yang sangat bervariasi,” ungkap Nirwan.
“Dari restoran yang berada di pinggir jalan, restoran tingkat menengah, dan restoran tingkat atas, termasuk hotel-hotel banyak yang menyediakan hasil laut ini,” katanya.
Meski demikian, beragamnya permasalahan pengelolaan selama ini menurut Nirwan meniscayakan upaya membangun kapasitas adaptasi nelayan skala kecil terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan ekologi.
“Salah satu contohnya adalah selama pandemi Covid-19, meskipun beberapa eksportir mengatakan bahwa akibat pandemi permintaan (market demand) menurun 50 persen hingga 70 persen,” sebut Nirwan.
“Namun nelayan masih dapat menjual ikannya pada pasar domestik. Meskipun tentunya secara harga tidak sama atau lebih rendah dari harga yang jika dibeli oleh perusahaan pengekspor,” tambahnya.
Perlu co-management
Sementara itu, Irham Rapy dari SFP menandaskan bahwa pembelajaran dari berbagai program perikanan berkelanjutan menunjukkan pendekatan sektoral dan sendiri-sendiri baik oleh pemerintah, swasta, NGO dan masyarakat, tidak efektif dalam mendorong perbaikan tata kelola perikanan di tingkat tapak.
“Diperlukan adanya upaya bersama untuk membangun tata kelola yang baik secara kolaboratif dan berjenjang,” tegasnya.
“Pengelolaan yang dilakukan secara bersama-sama secara adaptif atau Adaptive Collaborative Management merupakan salah satu pendekatan yang lebih menyeluruh. Ini berpotensi menjadi kunci dalam perbaikan pengelolaan perikanan skala kecil,” imbuhnya.
“Pendekatan tersebut dianggap lebih efektif untuk mengoreksi kelemahan masing-masing stakeholder, baik pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan pihak terkait lainnya untuk membuat perubahan yang lebih baik,” jelas Irham.
“Pengelolaan kolaboratif yang adaptif atau adaptive co-management adalah pilihan terbaik untuk pengelolaan perikanan skala kecil khususnya kerapu dan kakap di tingkat tapak,” jelasnya.
“Tantangannya adalah kapasitas para pemangku kepentingan yang tidak sama, lemahnya kelembagaan dan perlunya mendorong bisnis perikanan yang bertanggungjawab, Ini yang akan kita tuju untuk dibenahi satu persatu,” tambah Yusran Nurdin Massa, salah satu tenaga ahli YKL
Hingga saat ini, YKL telah melaksanakan penjajakan kondisi perikanan kakap kerapu skala kecil di beberapa tempat seperti di Pulau Satangnga, Pulau Barrangcaddi, Pulau Langkai, Pulau Pajenekang dan Pesisir Galesong Takalar. Lima lokasi ini menjadi fokus kajian profil perikanan kakap kerapu untuk kemungkinan dibenahi melalui skema pengelolaan.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Ir Saparuddin, M.Si yang ikut dalam pertemuan ini memberi apresiasi kepada YKL dan SFP.
“Tahun 2020, kami sudah mengeluarkan satu Perda Perlindungan Nelayan Kecil, nomor 1/2020. Itu pertama pertama disahkan tahun 2020 itu. Hanya saja karena persoalan kewenangan ini kami tidak bisa menangani secara langsung nelayan kecil ini,” ucapnya.
Cristo Hutabarat dari SFP yang ikut memberikan paparan mengenai substansi dan strategi pengelolaan perikanan kakap kerapu untuk nelayan skala kecil ini menyebut ada beberapa tahapan.
“Ada enam tahapan atau stage. Pertama peru dibuatkan semacam scouping. Lalu yang kedua, adanya kesepaatan antar pihak, NGO, SFP, dan lain-lain untuk sepakat memperbaiki perikanan jesnis tertentu,” katanya.
“Yang ketiga ada perbaikan pendataan, identifikasi stakeholders, ada rencana kerja, sudah ada kegiatan yang ditentukan,” tambahnya.
“Stage 4 adalah bentuk perubahan, bisa perubahan alat tangkap, dari penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, dari sodok, atau garok lalu menjadi bubu untuk rajungan hingga danya perubahan kebijakan,” tambahnya lagi.
Yang kelima, lanjut Cristo, ada perubahan pada misalnya jumlah bibit semakin meningkat, nilai SPR atau Spawrning Potential Ratio membaik, aspek ekologi dan biologi membaik.
“Yang keenam adalah ketika sudah ada sertifikat Marine Stewardship Council atau MSC. Bagi kami ini merupakan pilihan, agak mahal dan berat tapi kembali ke peserta FIP untuk memuutuskan,” kuncinya.
FGD diikuti oleh beberapa perwakilan pemangkukepentingan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, perwakilan Dinas Perikanan Kota Makassar, Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, Kantor BKIPM KKP Makassar, LSM berbasis di Makassar seperti Mattirotasi, Yayasan Konservasi Laut, Lemsa, Yayasan COMMIT, akademisi Unhas dan pelaku usaha perikanan.
(KAS)