PELAKITA.ID – Sardi Razak, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan pada peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-22 menyebut UUD 1945 melalui Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat, di Red Corner, Makassar, 17/3/2021.
Bukan hanya itu tetapi juga memandatkan untuk menghadirkan Undang-Undang turunan khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat. kehadiran Undang-Undang Masyarakat
Menurut Sardi, adat merupakan wujud negara melunasi utang konstitusi dengan mengakui, dan menghormati keberadaan hak Masyarakat Adat sebagai manifestasi kehadiran negara di tengah setiap elemen masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.
“Sekaligus merupakan manifestasi kehadiran negara di tengah Masyarakat Adat yang merupakan subjek hukum alamiah yang telah ada sebelum negara ini dideklarasikan,” jelasnya.
“Namun demikian, hingga saat ini upaya pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian persoalan Masyarakat Adat di Indonesia masih merupakan sebuah tantangan yang besar,” katanya pada peringatan bertema “Mendorong Percepatan Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.”
Sesuai pengamatan Sardi, masyarakat adat hingga saat ini masih terus mengalami pengabaian hak-hak atas wilayah serta ruang hidupnya yang tidak terpisahkan.
Berbagai kasus terus menerus menimpa masyarakat adat akibat ketidakhadiran Negara menjalankan mandat konstitusi, maupun peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat.
Berbagai kasus yang dialami masyarakat adat di Sulawesi Selatan di antaranya konflik izin tambang dan hutan lindung di wilayah Adat Barambang Katute, penangkapan masyarakat adat Soppeng Turungan yang mengelola kebun sendiri serta kriminalisasi terhadap 6 masyarakat adat Matteko yang melakukan kerja bakti.
“Hal tersebut masih menunjukkan adanya ancaman yang besar bagi masyarakat adat di wilayahnya sendiri,” tegasnya.
Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Sulawesi Selatan terdapat 82 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di beberapa Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Adapun luas wilayah adat yang telah dipetakan sebesar 467,598.43 Ha. Dengan adanya Putusan MK 35 tahun 2012 akan memberi perubahan besar dalam berbagai agenda kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota.
Saat ini, di Sulawesi Selatan telah terdapat 6 (enam) Perda yang mengakomodir Masyarakat Adat hingga akhir tahun 2020. Adapun 6 (enam) Perda tersebut, di antaranya Perda Kabupaten Bulukumba No. 9 tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang
Lalu ada Perda Kabupaten Enrekang No. 1 tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Enrekang. Perda Kabupaten Luwu No. 7 tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Disusul, Perda Kabupaten Sinjai No. 1 tahun 2019 tentang Pedoman, Pengakuan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Perda Kabupaten Toraja Utara No. 1 tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat serta Perda Kabupaten Luwu Utara No. 2 tahun 2020 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.
Menurut Sardi, tersedianya Perda yang mengakomodir masyarakat adat pada beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan mulai menunjukkan adanya political will oleh Pemerintah meskipun sebagian masih belum diimplementasikan secara maksimal.
Pasca adanya Perda tersebut telah ditetapkan 11 (sebelas) Masyarakat Adat baik melalui Perda maupun SK Bupati sebagai subjek hukum dengan luas wilayah adat.
Di Bulukumba luas Luas Wilayah Adat yang telah ditetapkann (Ha) seluas 22.592,89 sementara di Enrekang, ada 10 komunitas hukum adat yang telah ditetapkan dalam Perda, mulai dari dari Baringin hingga Tondon. Luas wilayah adat mencapai 18 ribu Hektare.
“Pasca penetapan sebagai subjek hukum telah memberikan ruang bagi Masyarakat Adat untuk mendapatkan hak-haknya seperti hutan adat. Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan kembali hak atas hutan adatnya masih terus berproses,” terang Sardi.
Saat ini, lanjut Sardi, penetapan hutan adat oleh KLHK di Sulawesi Selatan masih minim dikarenakan beberapa kendala seperti masyarakat adat yang akan mengusulkan penetapan harus ditetapkan sebagai subjek hukum seperti Perda maupun SK Bupati/Walikota.
Adapun hutan adat yang telah ditetapkan di Sulawesi Selatan seluas 4.546,99 Ha.
“Angka tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan. Gerakan lambat dari Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan Perda yang telah ditetapkan maupun inisiatif Perda terkait masyarakat adat,” ucapnya.
Selain itu, banyaknya regulasi lintas sektoral juga masih menunjukaan minimnya implementasi di lapangan.
Dengan adanya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, diharapkan mampu menjadi jembatan penyelesaian regulasi sektoral demi mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
“Saat ini, dorongan agar DPR dan pemerintah segera mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat terus bergulir. Meskipun konstitusi dan sejumlah UU telah menjamin hak masyarakat hukum adat, tapi praktik belum terpenuhi,” pungkasnya.