Saat Pemda menggeber penetapan SK Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Maluku dan Maluku Utara, harapan untuk mencanangkan dan menggerakkan Lumbung Ikan Nasional di kedua provinsi itu juga menguat. Untuk tahun 2021 KKP telah menyiapkan Rp3,4 triliun rupiah untuk merealisasikan LIN ini.
PELAKITA.ID – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan tiga kawasan di bentang ruang laut Maluku Utara sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Mereka adalah kawasan Pulau Mare, Pulau Rao-Tanjung dan Kepulauan Sula.
Menteri Edhy Prabowo pula pada 10 Juni 2020 yang menandatangani penetapannya dan menyebutnya sebagai komitmen pemerintah, baik Kementerian Perikanan dan Kelautan RI maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) demi melindungi, dan memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan di wilayah Malut secara berkelanjutan.
Saat ditemui Pelakita.ID dalam bulan Januari tahun ini, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara, Buyung Radjiloen menyatakan optimismenya terkait masa depan ketiga kawasan itu.
Menurutnya, ketiga kawasan ini memiliki keaneragaman, ada ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, sumber daya ikan ekonomis penting, serta biota dilindungi. Ada penyu, lumba-lumba, duyung termasuk pari manta.
“Itu salah satu alasan mengapa kami mendorong ini ke Kementerian,” katanya saat itu.
Apa yang dicetuskan dan ditetapkan Pemerintah Malut ini berdampak signifikan pada target Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan Kawasan Konservasi Perairan menjadi 20 juta hektare pada tahun 2020.
“Kami menyumbang 10 persen dari luas wilayah laut atau kurang lebih satu juta hektare kawasan konservasi perairan dan telah dimasukkan ke dalam Perda bernomor 2 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K),” imbuh Buyung.
Upaya Pemprov ini mendapat dukungan dari LSM Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, CTC, serta beberapa organisasi mitra yang bergiat dalam Proyek USAID SEA. Mereka menginisiasi Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Malut seluas 674.397,40 Ha atau sekitar 58 persen dari luas wilayah laut provinsi.
Saat ini, ada tiga SK yaitu Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 66/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi dan Perairan Pulau Mare dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Maluku Utara;
Kedua, SK Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 67/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi dan Perairan Pulau Rao Tanjung Dehegila dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Maluku Utara; serta
Ketiga, SK Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 68/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi dan Perairan Pulau Mare dan Perairan Sekitarnya di Provinsi Maluku Utara.
***
Ada LIN
Penetapan kawasan konservasi tersebut menjadi bukti komitmen sekaligus ‘ujian’ bagi Pemprov di tengah gagasan menghidupkan agenda Lumbung Ikan Nasional untuk Maluku Utara, bukan hanya Malut tetapi juga Maluku (yang sedang proses menuju penetapan KKP) secara umum. Dua hal yang sangat sulit disandingkan atau setidaknya dikawal agar kolaboratif.
Terkait LIN, pada tanggal 15 Sepetmber 2020, Komisi IV DPR RI mengetuk palu tanda mendukung mendukung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merealisasikan program lumbung ikan nasional (LIN) di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
Ada tambahan pagu alokasi anggaran tahun 2021 KKP sebesar Rp3,4 triliun rupiah untuk merealisasikan LIN ini. Bisakah senapas atau sejalan ‘kawasan konservasi perairan’ dan LIN ini?
Ada yang skeptis, ada pula yang optimisi. Bagi yang skeptis, mereka membaca track bahwa pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa agenda eksploitasi dan konservasi, jika diibaratkan ‘uji tanding’ maka yang menang adalah eksploitasi atau pemanfaatan, atau ekstraksi.
Memang, diperlukan perencanaan, roadmap atau protokol untuk merealisasikannya. Dinas Kelautan dan Perikan (DKP) Provinsi Maluku Utara (Malut) telah mempersiapkan penyusunan master plan provinsi itu sebagai daerah lumbung ikan nasional.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Utara menyebut penyusunan master plan akan menghadirkan dewan pakar dan beberapa dosen guru besar Institut Teknoligi Bandung (ITB) sebagai konsultan.
Sementara itu, Lumbung Ikan Nasional (LIN) menurut pejabat eselon I di Kementerian Maritim dan Investasi sebagai “suatu pelabuhan yang terintegrasi”.
“Merupakan suatu kawasan dimana perikanan tangkap, perikanan budidaya dan perikanan industri masuk semua di sana,” jelas Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya dan Maritim Safri Burhanuddin saat memberikan sambutan di Provinsi Maluku terkait LIN beberapa waktu lalu saat mempromosikan LIN ini.
Dia menyebut bahwa terdapat kendala untuk merealsiasikan pengembang potensi perikanan saat ini di Maluku dan Maluku Utara. Keterbatasan aksesibilitas, khususnya bagaimana terkait dengan transport rate cost. Kendala kedua kualitas ikan berkurang akibat jarak tempuh yang menghabiskan waktu lebih lama.
Pria asal Makassar itu juga menyebut perlunya cara penangkapan ikan dengan baik. “Para nelayan sebagian sudah memiliki sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB), sehingga tugas kita untuk melakukan monitoring terkait implementasinya di lapangan,” katanya terkait usaha perikanan di Maluku Utara yang disebut mempunyai 92,4 persen merupakan ruang laut.
Dari Kota Ambon, Amrulllah Usemahu, Wasekjen Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI) asal menyebut bahwa diperlukan grand design untuk merealisasikan LIN ini.
“Grand design bagus untuk didiskusikan. Mungkin yang akan dibicarakan fokus pada pengelolaan WPP 715 yang berdekatan langsung dgn Maluku (Laut Seram) itu juga berkaitan dengan pagu tambahan yang disampaikan 1.5 T,” harapnya.
Sebagai pengurus di ISPIKANI, Amrullah optimis dengan agenda besar LIN ini. Dia juga telah melihat rencana penganggaran dimaksud.
Menurutnya, dalam daftar pagu anggaran 2021 ada item menunjukkan kegiatan Sentra Industri Perikanan Terpadu mendukung Lumbung Ikan Nasional dan pengelolaan perikanan berbasis WPPNRI di WPPNRI 715 sebesar 1,5 triliun.
Perlu pelibatan stakeholder secara luas
Apa yang disampaikan Amrullah di atas ditanggapi Muhammad ‘Mad’ Korebima, aktivis LSM di Maluku dan aktif memfasilitasi ‘marine protected area’ di Maluku Utara dalam tiga tahun terakhir.
“Nampaknya tidak ada kegiatan untuk upaya-upaya pengelolaan kawasan Konservasi Perairan untuk Maluku dan Maluku Utara dalam usulan tersebut. Atau memang tidak disetujui?” tanya Mad.
“Atau tidak dianggap penting? Padahal ada target pencapaian luasan kawasan konservasi yang besar dari dua provinsi tersebut dalam dokumen grand design LIN (setidaknya itu ada dalam dokumen grand design LIN Maluku). Tanya kenapa,” tanyanya lagi.
Baginya, gagasan Lumbung Ikan Nasional bukanlah hal baru. “Ini tema lama yang ingin dihidupkan kembali. Bagus tapi kita harus cermati dengan benar,” katanya saat dihubungi Pelakita.ID beberapa waktu lalu.
Meski demikian, dia berharap penjabaran atau manifestasi LIN ini tidak dilihat sebagai konteks proyek besar dan jor-joran dalam mengalokasikan anggaran.
“Dana 3,5 triliun untuk LIN itu bukan dana sedikit, tapi kita khawatirnya ini hanya akan menjadi modus lama yang hanya membangun infrastruktur, perluas pelabuhan, pengadaan fasilitas bisnis tapi tidak ada nelayan kita yang gunakan. Sudah banyak kan kita lihat saat bicara pembangunan sentra kelautan atau bisnis perikanan ini?” katanya.
Menurutnya, pelibatan masyarakat Maluku Utara, atau grassroot dalam penyusunan rencana LIN harus ditempuh.
“Kita tidak ingin sisi teknokratis saja yang didahulukan atau menjadi aktornya. Membangun kawasan perikanan terpadu sebagaimana kita baca dari agenda LIN ini harus ditopang oleh masyarakat, oleh nelayan,” imbuhnya.
“Lalu yang kedua, pengarusutamaan isu konservasi atau keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Kita sudah ada beberapa kawasan konservasi perairan di Maluku Utara. Kawasan ini merupakan cadangan stok ikan yang diharapkan bermuara pada meningkatnya sumber daya ikan, atau dengan kata lain akan jadi pemerkaya lumbung ikan,” paparnya.
“Pertanyaannya, bisakah ini sejalan atau sebangun dalam praktiknya? Bagaimana merencanakannya agar betul-betul sesuai kebutuhan dan kesiapan stakeholder setempat?” tanyanya.
“Beta sangat optimis dengan kerja-kerja balai konservasi perairan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Maluku Utara. Hal ini ditunjukkan melalui upaya pengembangan kawasan-kawasan konservasi baru,” imbuhnya.
“Di Maluku Utara itu sudah memiliki badan pengelola yang sedang dilengkapi sumberdayanya. Respons masyarakat menurut saya sangat antusias di Maluku utara. Beberapa kabupaten juga mulai meminta untuk pengembangan kawasan konservasi di wilayah mereka,” tambahnya.
“Poin pentingnya terkait kawasan konservasi di Maluku Utara dgn Program LIN Maluku utara adalah konservasi menjadi komponen penting dalam memastikan program LIN Malut. Bahwa program LIN berbasis ekosistem dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan,” tegasnya.
“Sehingga, road mapnya adalah akan benar-benar mewakili kebutuhan semua pihak. Ini yang perlu disinkronisasi dengan baik, oleh Pemda Maluku Utara maupun Pemerintah Pusat,” ucapnya.
***
Bagi Mad, urusan fasilitasi, konsultasi dan penggalangan sumber daya manusia di Maluku Utara untuk dapat menghasilkan dokumen atau produk-produk perencanaan bukanlah perkara sulit bagi Pemda sebab mereka sudah punya pengalaman seperti dengan USAID SEA selama beberapa tahun terakhir.
“Jika ditanya bisakah LIN dan Kawasan Konservasi Perairan sinergi, bisa saja, hanya perlu proses konsultasi atau perencanaan yang dibuat terbuka. Melibatkan elemen kemasyarakatan, perguruan tinggi, pelaku usaha, birokrat, peneliti, ahli karang, penyelam, hingga unit rumah tangga,” lanjutnya.
Harapan Mad beralasan. Saat ini, Pemda Maluku Utara sedang menyiapkan tiga kawasan konservasi perairan lagi.
“Ada tiga area lagi dalam proses untuk penetapan. Diharapkan sebelum akhir tahun ini ketiga kawasan tersebut sudah ditetapkan MKP, yaitu KKP Widi, Guraici dan Makian – Moti. Jadi total ada 6 KKP di Maluku Utara,” ungkapnya.
“Artinya, proses fasilitasi LIN di Maluku Utara ini sejatiya tidak akan sulit sebab fasilitasi sudah pernah diterapkan seperti saat memfasilitasi Kawasan Konservasi Perairan KKP yang sudah ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu,” pungkasnya.
Untuk Maluku, kata Mad, Kawasan Konservasi Perairan baru dalam proses penyempurnaan dokumen RPZ untuk dikonsultasikan dengan Kementerian. “Tahun ini rencananya paling tidak 3 yang ditetapkan. Kawasan yang ada punyanya kemen KP yaitu TWL Aru Tenggara dan TWP Laut Banda,” jelasnya.
“Sekali lagi, untuk roadmap mulai dari penyusunan grand design, master plan, Renstra sampai tingkat implementasi kegiatan harus melibatkan peran aktif semua pihak. Semua pihak harus bisa mendapatkan manfaat yang maksimal,” tegasnya.
Dr Najamuddin, akademisi Universitas Khairun Ternate juga optimis adanya peluang sinergi antara LIN dan Kawasan Konserasi Perairan.
“Bisa seiring, bisa sejalan, syaratnya harus ada perencanaan bersama, kolabratif. Rezim pengelolaan di pesisir dan laut itu multistakeholders atau meniscayakan kebersamaan. Tidak bisa hanya satu pihak. Jadi jelas, Pemerintah Pusat, atau Pemerintah Provinsi sebagai pengendali ruang laut dan perikanan harus terbuka dalam persiapan dan perencanaannya,” kata Dr Najamuddin.
“Yang perlu diantisipasi itu kalau masih ada cara pandang dominan pada gaya teknokratis yang mengabaikan peran masyarakat bawah, yang mengabaikan nelayan dan pelaku usaha kecil di kedua provinsi, termasuk mengabaikan zona konservasi yang sudah ada,” tegasnya.
“Perlu penyiapan kebijakan terpadu, fokus pada sumber daya manusia yang akan mengelola atau menerima manfaat serta perbaikan rantai pasar, bisa dukungan modal dan sarana prasarana hingga jaminan penyerapan produk perikanan oleh pasar. Jangan fokus infrastruktur saja,” saran Dr Najamuddin yang mengaku beberapa kali ikut kegiatan konsultasi SEA Project USAID ini.
**
Pembaca sekalian, seperti Kadis Buyung Rajilun, Amrullah Usemahu, Mad Korebima, Dr Najamuddin, tentu kita berharap dua agenda mulia itu berjalan atau beroperasi di Maluku dan Maluku Utara.
Jika demikian adanya, mari kita pantau bagaimana para pihak ambil bagian untuk merealisasikannya meski kabut pandemi dan polemik UU Cipta Lapangan Kerja masih membayang di depan mata.
Penulis: Tim Pelakita.ID