PELAKITA.ID – Pernah dengar sebutan hiu paus? Jika netizen yang ditanya, sebagian besar pasti akan bilang sudah, sudah pernah dengar, baca dan lihat di internet.
Di mana saja bisa ditemui? Tersebutlah di Laut Botubarani Gorontalo, di Laut Raja Ampat atau Teluk Cendrawasih. Nama Latin-nya Rhincodon typus atau hiu paus, hiu terbesar di bumi, bukan paus seperti sangkaan sebelumnya.
Terkait ini, beberapa waktu lalu, Dr Syafyudin Yusuf, akademisi dan pakar terumbu karang Universitas Hasanuddin berkabar kalau akan digelar webinar oleh Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas terkait hiu paus kaitannya dengan kepariwisataan pasca pandemi.
Berbagi inspirasi via zoom
“Ini terkait masa depan pariwisata kita, kita punya kesempatan besar untuk bahas hiu paus pada aspek kepawiwisataan,” sambut Dr Ipul, begitu sapaannya saat webinar yang digelar 21 Juni 2020.
Hadir pula Prof Jamaluddin Jompa (JJ), pakar ekologi laut Unhas yang juga ketua sekolah pasca sarjana Universitas Hasanuddin.
“Ini pembelajaran, kita bisa menata, meriset semakin bagus. Ini literasi baru,” kata Prof JJ terkait sharing pengalaman para pihak via zoom dan perbincangan terkait dinamika dunia setelah adanya pandemi.
“Literasi baru, adalah tentang planetary hall, tentang planet, bahwa planet ini harus sehat, kalau tidak, maka ekonomi tidak akan berkembang. Virus (Corona) ini adalah bagian dari ketidaksehatan dan ketidakeseimbangan planet. Saat bikin SOP, maka perlu penekanan pada konteks planet ini harus sehat. Hiu paus harus sehat, kalau tidak, dampaknya pada pelaku usaha, pada manusia,” terang Prof JJ.
Dia menyatakan bahwa dengan virus ini adalah proses zoonosis, virus dari hewan ke manusia. “Jadi kalau lingkungan atau planet tidak sehat maka akan berisiko. Hiu paus dan obyek wisata ke depan harus semakin baik. Segitiga, mulai ekonomi, sosial dan lingkungan harus seimbang dan memberikan manfaat optimal untuk semuanya termasuk wisata hiu paus,” jelasnya.
“Meski demikian, peraturan tentang pariwisata berkelanjutan seharusnya disampaikan karena hiu paus merupakan jenis ikan dilindungi,” timpal Dr Syafuddin. Ini pula yang menjadi alasan mengapa para pihak, aktivis, pekerja masyarakat tertarik mengikuti webinar ini.
“Wisata hiu paus, di lapangan pengaturannya kurang ketat, sehingga wisatanya menjadi mass tourism,” kata Dr Ahmad Bahar, narasumber dalam acara ini. Sementara itu, Dr Any Suryani, dari Universitas Mataram menyebut ide pengelolaan hiu paus di Teluk Saleh, sebagai brilliant.
“Ide yang briliant tentang pengelolaan di Teluk Saleh NTB tetapi perlu keseriusan pemda NTB dan kabupaten dalam penataan kembali wisata Teluk Saleh,” katanya.
Dia juga bertanya. “Bagaimana sikap Pemerintah Daerah yang notabene menerima manfaat tidak langsung, apakah tidak peduli yang penting menerima manfaat? Banyak kasus di lapangan yang terjadi, mulai dari dari banyaknya sampah di TKP akibat kunjungan wisata, banyak kasus di lapangan pengaturan wisata hiu paus kurang ditaati, saling berebut untuk mendapatkan keuntungannya.”
Inspirasi dari Labuan Jambu
Menurut Dr Lita Hutape, salah satu narasumber dalam webinar itu, upaya untuk mengelola hiu paus dengan baik dan kolaboratif sudah dilaksanakan di Pulau Sumbawa NTB, persisnya di Desa Labuhan Jambu.
“Desa Labuan Jambu, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, kami telah dan sedang memfasilitasi kolaborasi pengelolaan potensi sumber daya pesisir dan laut di sana, termasuk hiu paus,” kata doktor manajemen sumber daya kelautan ini.
Menurut Lita, di Labuan Jambu ada banyak hiu paus yang datang. Ukurannya antara 8 hingga 11 meter.
“Yang menarik di sana karena sudah ada Bumdes Labuan Jambu yang menyiapkan paket wisata yang bernama Whale Shark Tourism,” katanya. Sebagai destinasi wisata, pengelola Bumdes mematok harga untuk pengunjung juga dengan syarat-syarat yang harus dipatuhi.
Area pergerakan hiu paus di Teluk Saleh ini meliptui Teluk Santong dari Pantai Labuan Jambu. Hiu paus banyak – hingga belasan – beredar di sekitar perahu-perahu bagan nelayan setempat yang mencapai jumlah 90-an unit.
Lita yang bekerja untuk Conservation International (CI) Indonesia ini menyebut bahwa pihaknya memfasilitasi pengenalan, edukasi dan pengelolaan potensi kehadiran hiu paus di Teluk Saleh termasuk pendataannya.
Baginya, keterlibatan Bumdes memberi manfaat bagi warga, Pemdes dan pemilik bagan. Hasil paket wisata dibagi oleh Bumdes untuk kas desa dan nelayan pemilik bagang. Alamat Bumdes Labuhan Jambu VIllage – Sumbawa – Nusa Tenggara Barat, telepon +628234-2610-636, email info@sumbawawhalesharksarks.com.
Sesuai ketentuan bersama, sebagai misal, jika diterima Rp 100 ribu dari setiap wisatawan, disisihkan untuk upaya konservasi Rp50 ribu, Rp 30 ribu untuk pengelola Bumdes Labuan Jambu, dan Rp 20.000 untuk desa.
Dana konservasi disisihkan juga untuk nelayan jika jaring mengalami robek. Mereka diberikan kompensasi Rp300 ribu sebab kadang hiu paus masuk ke jaring.
Menurut data Conservation International (CI) Indonesia, Teluk Saleh kerap didatangi oleh hiu paus karena bersisian dengan bagan (Liftnet). Ikan hiu paus mencari ikan-ikan kecil seperti teri di sekitar bagan. CI juga mendata bahwa selama periode September 2017 hingga Agustus 2018, jumlah hiu paus teridentifikasi mencapai 49 ekor.
Bentuk wisata di Teluk Saleh ini meliputi pengamatan dari atas kapal, berenang, snorkeling atau menyelam bersama hiu paus. Wisata hiu paus ini penekanannya pada edukasi tentang konservasi biota laut, pada kunikan sosial budaya setempat, termasuk pengembangan ekonomi.
Ada pendampingan masyarakat untuk peningkatan ekonomi dan konservasi, agar berjalan secara kolaboratif dan sinergi.
Apa yang dilakukan terkait hiu paus ini berkaitan dengan implementasi KepMen KP No.18 th 2013 tentang Hiu Paus dilingungi secara penuh sehingga tidak dapat diperdagangkan.
“Kebijakan Pemerintah kita melalui Kepmen KP menyebut bahwa hiu paus dilindungi penuh. Telah ada RAN perlindungan hiu dan pari 2016-2020 dan saat ini telah disususn untuk Rencana Aksi Nasional Hiu Paus 2021-2025,” jelas Lita.
“Sedang disusun SKKNI untuk pemanfaatan hiu dan pari, dan lain-lain di itngkat daerah terkait pengelolaan perlindungan dan pemanfaaatan berkelanjutan,” tambahnya.
Harus berjangka panjang
Kemunculan Hiu Paus di Teluk Saleh berasosiasi dengan kegiatan perikanan bagan, dimana di perairan ini terdapat sekitar 100 bagan yang beroperasi, 80 berasal dari 1 desa, Desa Labuhan Jambu.
Jumlah hiu paus yang telah terdidentifikasi 94 ekor, ada 11 betina, 83 jantan dengan 16 tagging satelit. Hasil taggingnya, hiu paus di Teluk Saleh adalah hiu paus rumahan karena menghabiskan waktu sepanjang tahun di teluk dengan 3 ekor keluar untuk beberapa minggu/bulan ke Laut Aru, Sawu, dan Australia Bagian Barat.
Terkait Labuan Jambu, desa ini merupakan desa nelayan yang terletak di Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Desa ini terdiri dari 5 dusun dengan 3332 orang dari etnis Bugis dan Sumbawa.
Bumdes Labuan Jambu adalah Komite Manajemen Wisata Hiu Paus yang bertanggung jawab untuk mengelola wisata hiu paus serta dapat menjadi contoh bagaimana desa-desa lain yang punya potensi serupa untuk berbenah.
Bukan hanya hiu paus tetapi spesies lain yang menjadi ciri khas desa, bisa kerang raksasa, dugong, dan lain sebagainya. Melestarikan spesies dan pada saat yang sama dinikmati sebagai destinasi wisata.
Terkait itu semua, Dr Lita Hutapea mengingatkan perlunya kerjasama dan perencanaan yang bagus, akomodatif dan berbasis lingkungan terkait atraksi atau motif wisata di balik kehadiran hiu paus di pantai-pantai Nusantara.
“Mereka harus memastikan manfaat pariwisata diberikan kepada masyarakat lokal dan konservasi hiu paus. Bukan hanya untuk saat ini tetapi demi demi masa depan ekosistem kawasan,” tutup Lita.