- Kisah tambak udang di Punjab bukan sekadar cerita tentang diversifikasi ekonomi, melainkan tentang adaptasi manusia terhadap krisis ekologis. Ia menunjukkan bagaimana degradasi lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan masa lalu memaksa lahirnya inovasi yang tak terbayangkan sebelumnya.
- Di tengah keterbatasan, para petani Punjab belajar mengubah keterpurukan menjadi peluang—bukan dengan melawan alam, tetapi dengan menyesuaikan diri pada realitas yang ada.
PELAKITA.ID – Hanya sekitar sepuluh kilometer dari garis perbatasan India dan Pakistan, terletak Desa Shajrana di Distrik Fazilka, Punjab. Wilayah ini berada di zona geopolitik yang sensitif, di mana mobilitas warga dibatasi dan akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, pendidikan, dan kesehatan telah lama menjadi persoalan.
Selama puluhan tahun, desa-desa perbatasan seperti Shajrana menjadi simbol keterpinggiran—terjebak di antara konflik geopolitik dan kebijakan pembangunan yang tak kunjung menjangkau mereka.
Bagi Ajay, seorang petani setempat, pertanian bahkan bukan lagi sebuah kenangan manis. Sejak ia lahir, lahan di desanya nyaris tak pernah menghasilkan panen.
Tanah yang tampak memutih seperti tertutup salju sesungguhnya adalah lapisan garam tipis—jejak dari krisis lingkungan yang telah melumpuhkan pertanian Punjab selama lebih dari empat dekade. Padahal, Punjab dikenal sebagai “lumbung pangan India”, dengan sekitar 82 persen lahannya digunakan untuk pertanian dan menyumbang hampir 20 persen produksi gandum nasional.
Ironisnya, kejayaan pertanian Punjab di masa lalu justru menjadi akar masalah hari ini. Sejak era Revolusi Hijau pada 1950-an, Punjab mengalami lonjakan produksi berkat varietas unggul, mekanisasi, serta penggunaan pupuk dan pestisida secara masif.
Tanaman padi dan gandum menggantikan tanaman tradisional seperti kapas, millet, dan kacang tanah. Namun keberhasilan ini menuntut penggunaan air yang sangat besar.
Padi, yang membutuhkan hingga 20–25 kali irigasi per musim, secara perlahan menguras dan merusak sumber daya tanah dan air.
Menurut para akademisi dari Punjab Agricultural University, eksploitasi air tanah dan penggunaan air permukaan dari kanal secara berlebihan menyebabkan dua masalah serius: salinitas air tanah dan waterlogging.
Ketika air menguap dari lahan yang tergenang, garam tertinggal di permukaan tanah. Akibatnya, lebih dari 40 persen air tanah Punjab kini bersifat asin atau sodik, membuat lahan pertanian tidak lagi produktif. Di distrik seperti Fazilka, Muktsar, dan Bathinda, kondisi ini menjadi bencana ekologis sekaligus sosial.
Ide Budi Daya Udang
Dalam situasi inilah muncul sebuah gagasan yang tak lazim: budidaya udang di wilayah non-pesisir. Prabhjeet Singh dari Guru Angad Dev Veterinary and Animal Sciences University di Ludhiana menjadi salah satu tokoh kunci di balik perubahan ini. Selama lebih dari satu dekade, ia mendorong pemanfaatan lahan asin dan tergenang air untuk akuakultur, alih-alih memaksakan pertanian konvensional yang terus merugi.
Gagasan tersebut terdengar radikal. Udang identik dengan wilayah pesisir, sementara Punjab berada jauh dari laut dan di dataran tinggi.
Namun justru di situlah letak inovasinya. Lahan-lahan yang telah kehilangan fungsi pertanian diubah menjadi kolam budidaya berbasis air asin alami.
Air tidak dipompa atau ditambahkan secara artifisial; sebaliknya, budidaya memanfaatkan kondisi yang memang sudah ada akibat degradasi lingkungan sebelumnya.
Hasilnya mengejutkan. Lahan yang sebelumnya tidak menghasilkan apa pun kini mampu memberikan pendapatan sekitar 60.000 hingga 70.000 rupee per acre setiap musim panen.
Sejak uji coba dimulai pada 2014 di lahan seluas satu hektare, budidaya udang kini telah berkembang pesat. Di Distrik Fazilka saja, lebih dari 100 petani mengelola sekitar 450 hektare tambak udang darat.
Benih udang didatangkan dari negara bagian pesisir seperti Andhra Pradesh, Gujarat, dan Tamil Nadu.
Budidaya dilakukan di kolam galian dengan protokol biosekuriti yang ketat untuk mencegah penyakit. Para penggagas inisiatif ini menekankan bahwa budidaya udang bukan solusi sementara, melainkan satu-satunya pilihan rasional bagi wilayah yang air dan tanahnya sudah tak memungkinkan untuk pertanian tanaman pangan. Namun pendekatan ini juga diiringi kehati-hatian.
Para ahli menegaskan bahwa tambak udang tidak boleh dikembangkan di lahan pertanian yang masih produktif.
Pengalaman di negara-negara pesisir seperti Bangladesh dan Vietnam menunjukkan bahwa ekspansi tambak udang yang tidak terkendali—terutama dengan memompa air asin ke sawah—dapat merusak ekosistem dan mencemari air tanah. Karena itu, di Punjab, budidaya udang hanya dianjurkan di area yang telah terdampak salinitas dan waterlogging.
Ajay termasuk di antara petani yang memutuskan mengambil risiko beralih ke akuakultur.
Untuk memulai satu musim budidaya udang dari Mei hingga Oktober, ia harus menginvestasikan sekitar tujuh hingga delapan lakh rupee per acre.
Dalam satu musim, satu acre tambak dapat menghasilkan hingga empat ton udang, dengan harga jual berkisar antara 250 hingga 350 rupee per kilogram—angka yang jauh melampaui pendapatan dari sistem tanam konvensional.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Fluktuasi harga, risiko penyakit, dan tingginya biaya awal membuat usaha ini belum sepenuhnya bebas dari ketidakpastian.
Musim lalu, banyak petani udang hanya mampu mencapai titik impas. Ajay sendiri masih menyimpan kekhawatiran tentang keberlanjutan usahanya. Namun dibandingkan masa lalu ketika lahannya sama sekali tak menghasilkan, budidaya udang memberi harapan baru.
Kisah tambak udang di Punjab bukan sekadar cerita tentang diversifikasi ekonomi, melainkan tentang adaptasi manusia terhadap krisis ekologis.
Ia menunjukkan bagaimana degradasi lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan masa lalu memaksa lahirnya inovasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Di tengah keterbatasan, para petani Punjab belajar mengubah keterpurukan menjadi peluang—bukan dengan melawan alam, tetapi dengan menyesuaikan diri pada realitas yang ada.
Dalam konteks perubahan iklim dan krisis sumber daya global, pengalaman Punjab menjadi cermin bagi banyak wilayah lain.
Ketika tanah tak lagi subur dan air tak lagi bersahabat, masa depan pertanian mungkin terletak pada keberanian untuk berpikir ulang tentang apa yang bisa ditumbuhkan—bahkan jika itu berarti memelihara udang jauh dari laut.
Sumber:
Editor K. Azis
