KORPRI | Sejarah Panjang, Peran Besar, dan Kontribusi yang Menguap

  • Whatsapp
Kita tidak membutuhkan KORPRI yang gagah di atas podium, tetapi lengang di lapangan. Kita membutuhkan KORPRI yang benar-benar hidup di hati anggotanya. Ilustrasi barisan anggota KORPRI

Jika KORPRI ingin dihormati, bukan sekadar diperingati, maka ia harus hadir dalam kehidupan nyata ASN, bukan hanya dalam protokol. Ia harus memberi perlindungan, bukan hanya pengumuman. Ia harus menguatkan kesejahteraan, bukan sekadar menyusun visi.

Oleh: Mustamin Raga (Anggota KORPRI)

PELAKITA.ID – Ada satu organisasi yang hidup bersisian dengan sejarah Republik ini, tumbuh bersama dinamika politik negara, dan melekat di tubuh para aparatur sipil seakan menjadi identitas kedua setelah seragam dinas. Namanya Korps Pegawai Republik Indonesia atau disingkat KORPRI.

Sebuah organisasi yang lahir pada 29 November 1971, di tengah semangat Orde Baru yang kala itu ingin menata birokrasi menjadi alat stabilitas dan pembangunan.

Sejak kelahirannya, KORPRI digadang-gadang menjadi rumah besar bagi seluruh pegawai negeri, sebuah wadah yang bertugas memperkokoh persatuan, meningkatkan kinerja, dan menjaga nilai-nilai pengabdian.

Di atas kertas, sejarahnya rapi. Narasinya mulia. Statutanya ideal. Tetapi, seperti banyak catatan sejarah lembaga dalam negeri, ada jarak antara apa yang tertulis dan apa yang terasa di lapangan.

Rumah Besar yang Terlalu Sunyi

KORPRI seharusnya menjadi tali pengikat bagi jutaan ASN di seluruh Indonesia. Dalam bayangan ideal, organisasi ini menjadi wadah yang memberi suara bagi pegawai kecil di pelosok, ruang bernaung bagi mereka yang tertindas sistem, dan motor penggerak inovasi kolektif dalam pelayanan publik.

Namun, pada kenyataannya, banyak anggota hanya merasakan KORPRI sebagai sesuatu yang “ada tapi tak hadir.” Seperti kursi kosong di ruang rapat: keberadaannya nyata, tetapi tidak memberi kehangatan apa-apa.

Ironisnya, organisasi yang begitu besar ini sering kali serupa peta birokrasi kita sendiri, mahal dicetak, tapi jarang menunjukkan arah.

Sejarah yang Megah, Realitas yang Retak

KORPRI di masa awal adalah alat konsolidasi politik. Ia dibentuk bukan semata untuk menyejahterakan ASN, melainkan untuk memberi garis komando yang lebih lurus kepada pemerintah.

Dari masa ke masa, KORPRI memang berubah. Ia mencoba menjadi lebih profesional, lebih netral, lebih proporsional. Bahkan setelah reformasi, ketika ASN mulai menyadari bahwa mereka bukan lagi “mesin politik” pemerintah, KORPRI berupaya merapikan diri menjadi organisasi yang lebih fungsional.

Tetapi di sinilah masalahnya: perubahan organisasi ini lebih sering bergerak sebagai wacana daripada tindakan.
Sebagai simbol, KORPRI kuat. Sebagai konsep, ia indah. Tetapi sebagai instrumen kesejahteraan pegawai? Sulit ditemukan dalam realitas keseharian.

Para anggota kadang bertanya dalam hati, “Apa sesungguhnya kontribusi organisasi ini kepada kami?” Pertanyaan itu muncul bukan dari niat merendahkan, melainkan dari rasa hampa yang terlalu lama dibiarkan tanpa jawaban.

Seragam Indah, Fungsi yang Samar

Setiap tahun, tanggal 29 November, para ASN merayakan Hari KORPRI dengan seragam kebesaran warna biru motif batik. Seragamnya begitu khas, begitu indah, hingga orang awam dapat mengenalinya dari kejauhan. Namun keindahan seragam itu kadang seperti metafora dari organisasi itu sendiri. Tampilan luar yang rapi dan teratur, sementara fungsi dalamnya tak terlalu terasa.

Jika kontribusi diukur dari seberapa sering nama KORPRI muncul dalam keseharian pegawai, maka jawabannya mungkin hanya ketika:

1. Iuran dipotong otomatis.
2. Surat imbauan peringatan Hari KORPRI beredar.
3. Upacara rutin diselenggarakan.

Selebihnya, organisasi ini seakan berjalan dalam dunia paralel, hidup, tetapi tidak menyentuh.

Kontribusi: Banyak Janji, Minim Bukti

Dalam dokumen formal, KORPRI memiliki misi besar: meningkatkan kesejahteraan, memberikan perlindungan, memperkuat nilai netralitas, membina jiwa korsa, dan menjadi bagian dari pelayanan publik yang modern.

Tetapi pertanyaannya, di mana jejak kontribusi itu dirasakan?

Apakah ada perlindungan hukum ketika seorang pegawai kecil ditekan oleh atasan?
Apakah ada pembelaan ketika seorang ASN menjadi korban keputusan politik yang absurd?
Apakah ada pendampingan ketika pegawai di daerah terpencil harus menghadapi risiko kerja yang tak sebanding dengan gaji?

Jawaban jujur yang sering muncul adalah: tidak, atau setidaknya hampir tidak.

Justru yang sering terdengar adalah keluhan halus dari para pegawai negeri sendiri bahwa organisasi ini hanya kuat saat upacara, tetapi hilang suara ketika anggotanya menghadapi masalah nyata.

Sindiran Lembut untuk Organisasi Besar

KORPRI sering membanggakan kekokohannya sebagai organisasi profesi terbesar di Indonesia, dengan anggota jutaan orang. Tetapi sebuah organisasi besar yang tak memberi manfaat nyata adalah seperti pohon besar yang rindangnya hanya dinikmati burung, bukan mereka yang menanamnya.

Mungkin ini terdengar sinis, tetapi bukankah sindiran kadang lebih jujur daripada pujian?

Jika KORPRI ingin dihormati, bukan sekadar diperingati, maka ia harus hadir dalam kehidupan nyata ASN, bukan hanya dalam protokol. Ia harus memberi perlindungan, bukan hanya pengumuman. Ia harus menguatkan kesejahteraan, bukan sekadar menyusun visi.

Sebab kalau tidak, KORPRI hanya akan menjadi nama yang besar dalam sejarah, tetapi kecil dalam kenangan anggotanya.

ASN Butuh Naungan yang Nyata

Saya bukan hendak meremehkan peran organisasi ini. Saya hanya ingin mengajak jujur melihat kenyataan. ASN adalah tulang punggung pelayanan publik, tetapi mereka juga manusia biasa yang membutuhkan perlindungan, ruang aspirasi, dan perhatian organisasi. Mereka bukan robot yang bisa diperintah tanpa diberi naungan.

Jika KORPRI tetap ingin menjadi wadah resmi dan berwibawa, maka ia harus berjalan bersama anggotanya
ke lapangan, ke desa terpencil, ke kantor yang fasilitasnya jauh dari layak, ke hati para pegawai yang bekerja dalam senyap tanpa sorotan.

KORPRI harus hadir sebagai rumah, bukan sekadar papan nama.

Harapan yang Tidak Boleh Padam

Di balik semua kritik ini, ada harapan. Harapan bahwa KORPRI dapat memperbarui dirinya. Bahwa organisasi besar ini dapat menjadi motor perubahan dalam birokrasi. Bahwa ia bisa menjadi pelindung, pembina, sekaligus suara moral bagi jutaan ASN.

Kita tidak membutuhkan KORPRI yang gagah di atas podium, tetapi lengang di lapangan. Kita membutuhkan KORPRI yang benar-benar hidup di hati anggotanya.

Dan mungkin, suatu hari nanti, para ASN bisa berkata dengan bangga “Ya, kami punya organisasi yang bukan hanya nama, tetapi juga nyata memberi makna.”

___

Lapangan Upacara, 1 Desember 2025