Riuh Jalanan, Retak Demokrasi

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID
  • Penulis berada di Jantung Makassar, Jalan Pettarani pada 29 Agustus 2025, tepatnya di Menara Pinisi UNM untuk satu event. Saat bergeser dan menikmati Thai Tea di Warkop Enreco di samping Mall Panakukang, tersiar kabar ada eskalasi semakin meluas, beberapa gedung pemerintah terbakar. Ini membuat perasaan waswas sehingga bergegas pulang melalui poros timur kota.
  • Walter Mignolo menulis tentang “sisi gelap modernitas,” di mana kekuasaan kerap menyembunyikan represi di balik janji stabilitas. Dalam kasus Indonesia, represi malah menyingkap wajah asli negara yang nampak gagal melindungi warganya.

PELAKITA.ID – Peristiwa terbakarnya sejumlah gedung pemerintah di Kota Makassar disertai penjarahan, demikian pula di sejumlah kota seperti Jakarta, Surabaya, Semarang hingga Medan menjadi fakta bahwa Indonesia kembali diguncang gelombang demonstrasi, kerusuhan, dan amarah kolektif.

Hingga tanggal 2 September 2025, jalanan di Kota Makassar masih diwarnai ban terbakar, poster protes, hingga bendera-bendera simbolik yang berkibar menantang gedung-gedung kekuasaan.

Semoga suasana kembali stabil. Aamiin!

Sesungguhnya, apa yang tampak di layar televisi atau jagat maya hanyalah permukaan dari krisis yang lebih dalam—sebuah luka sosial-politik yang lama dipendam dan kini menemukan ruang ledaknya.

Di balik kericuhan itu, kita melihat wajah ketimpangan yang kian nyata. Para wakil rakyat menikmati tunjangan mewah sementara jutaan keluarga berjuang melawan inflasi. Jurang ini menjelma simbol pengkhianatan.

Teori relative deprivation mengingatkan bahwa ketidakpuasan lahir bukan dari kemiskinan absolut, melainkan dari perbandingan yang menyakitkan.

Amartya Sen menulis, “Ketidakadilan nyata adalah ketika kemampuan manusia untuk hidup bermartabat terhalang oleh struktur sosial yang timpang.” Dalam konteks Indonesia, kemewahan elit di atas penderitaan rakyat adalah potret ketidakadilan yang tak lagi bisa ditutupi.

Namun, ketidakpuasan ini diperparah oleh tata kelola yang gagal dan bayang-bayang korupsi. Anggaran negara sering dilihat publik bukan sebagai jalan kesejahteraan, melainkan arena oligarki.

Michel Foucault pernah menyatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui wacana dan praktik yang menormalisasi ketidakadilan. Maka, kebijakan-kebijakan kontroversial—dari revisi undang-undang hingga alokasi anggaran—ditafsir rakyat sebagai bahasa kekuasaan yang menjauh dari kepentingan bersama.

Saat legitimasi runtuh, sekecil apa pun percikan bisa memicu letupan besar.

Ledakan itu semakin menyakitkan ketika represi negara hadir dalam wujud paling telanjang: kekerasan aparat.

Tragedi Affan Kurniawan menjadi titik balik, mengingatkan publik pada luka lama. Teori politik menyebut fenomena ini sebagai backfire effect—kekerasan negara justru melahirkan legitimasi moral bagi perlawanan.

Walter Mignolo menulis tentang “sisi gelap modernitas,” di mana kekuasaan kerap menyembunyikan represi di balik janji stabilitas. Dalam kasus Indonesia, represi malah menyingkap wajah asli negara yang nampak gagal melindungi warganya.

Lebih jauh, protes ini tumbuh tanpa wajah tunggal. Ia desentralisasi, spontan, dan sering simbolik.

Linda Tuhiwai Smith pernah menegaskan pentingnya “suara kolektif yang menolak terkungkung dalam struktur representasi lama.”

Indonesia hari ini sedang menyaksikan itu: politik yang tak lagi percaya pada institusi formal. Simbol-simbol jalanan—dari ban terbakar hingga meme politik—adalah bahasa baru, sebuah perlawanan pascarepresentasi.

Semua ini digandakan oleh media digital. Video kematian Affan dan meme tentang DPR menjadi viral, menyalakan solidaritas lintas kota dan generasi.

Habermas menyebut ruang publik sebagai arena deliberasi, namun di era algoritma, ruang itu berubah menjadi arena mobilisasi cepat. “Jaringan digital bukan hanya alat komunikasi,” tulis Manuel Castells, “tetapi saraf utama dari gerakan sosial kontemporer.”

Di Indonesia, saraf itu kini berdenyut kencang, menghubungkan kemarahan dari jalanan ke seluruh negeri dalam hitungan jam.

Jika kita rajut semua benang ini, terlihatlah satu ekologi kerusuhan: ketimpangan yang memicu rasa terhina, korupsi yang merobohkan legitimasi, represi yang menyulut amarah, kerapuhan representasi yang memaksa rakyat mencari bahasa politik baru, dan digitalisasi yang memperbesar gaungnya.

Ini bukan sekadar protes, melainkan krisis kepercayaan yang mendalam.

Pertanyaannya kini sederhana tapi genting: beranikah Indonesia memilih jalan reformasi ketimbang represi?

Jalan menuju keadilan redistributif, tata kelola yang transparan, aparat yang humanis, dan politik yang partisipatif adalah jalan sulit. Tetapi tanpa itu, demokrasi Indonesia hanya akan terus berputar dalam lingkaran protes dan kekerasan.

Riuh jalanan hari ini bukan sekadar kerusuhan. Ia adalah tanda peringatan, sebuah suara lantang bahwa demokrasi Indonesia sedang retak. Dan jika suara itu kembali diabaikan, sejarah bisa menulis ulang dirinya—dengan harga yang lebih mahal, dan luka yang lebih dalam.

Sorowako, 3 September 2025