- Bagi Todaro dan Smith, pembangunan tidak sekadar berarti peningkatan pendapatan nasional, tetapi juga mencakup perluasan kapabilitas manusia, pengurangan ketimpangan, serta pencapaian keberlanjutan.
- Berakar pada karya Walt W. Rostow dan Talcott Parsons, ontologi ini mendefinisikan pembangunan sebagai diferensiasi struktural, industrialisasi, dan rasionalisasi. Entitas yang “ada” dalam pandangan dunia ini adalah negara-bangsa sebagai unit analisis, ekonomi sebagai mesin pertumbuhan, dan ciri-ciri budaya sebagai fasilitator atau penghambat.
- Inti dari studi pembangunan terletak pada perdebatan ontologis tentang kesejahteraan dan kemajuan.
PELAKITA.ID – Pasca Perang Dunia Kedua, studi pembangunan telah menempati posisi unik di persimpangan antara penyelidikan akademis dan pembuatan kebijakan praktis.
Lahir dari kebutuhan mendesak untuk membangun kembali masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di negara yang saat itu disebut “Dunia Ketiga”, bidang ini dengan cepat berkembang menjadi disiplin ilmu multidimensi yang mencakup ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi, geografi, dan studi lingkungan.
Dengan demikian, studi pembangunan mencerminkan kompleksitas pokok bahasannya: studi ini bukan hanya tentang peningkatan pendapatan, tetapi juga tentang pembentukan kembali struktur sosial, lembaga politik, nilai-nilai budaya, dan hubungan ekologis.
Apa artinya berbicara tentang “pembangunan”? Siapakah aktor dan struktur yang terlibat dalam proses ini? Bagaimana kita tahu apakah pembangunan sedang berlangsung?
Nilai-nilai apa yang membenarkan kebijakan dan praktik tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari studi pembangunan.
Pertanyaan-pertanyaan ini juga menunjukkan bahwa pembangunan bukan hanya sebuah masalah empiris, tetapi juga sebuah konsep yang sangat normatif dan diperdebatkan.
Tujuan makalah ini adalah untuk menguraikan ketiga dimensi ini dalam kaitannya dengan studi pembangunan. Ontologi membahas hakikat fenomena yang ingin dipahami oleh studi pembangunan; epistemologi mengeksplorasi fondasi dan validitas pengetahuan yang dihasilkannya; dan aksiologi mengkaji nilai-nilai dan asumsi etika yang mendasari teori dan praktiknya.
Studi Pembangunan sebagai Bidang Kajian
Studi pembangunan muncul sebagai bidang kajian yang unik pada pertengahan abad ke-20, dibentuk oleh keadaan historis dan evolusi intelektual. Setelah dekolonisasi dan Perang Dingin, negara-negara yang baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dihadapkan pada tantangan berat: stagnasi ekonomi, ketidakstabilan politik, dan kemiskinan yang berkepanjangan.
Lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan donor bilateral berupaya mengatasi masalah ini melalui bantuan teknis dan bantuan pembangunan.
Pada saat yang sama, universitas-universitas di negara-negara maju mulai melembagakan program studi pembangunan untuk melatih para ahli yang mampu merancang dan mengimplementasikan kebijakan untuk pertumbuhan dan modernisasi.
Bidang Development Studies (Studi Pembangunan) sejak lama dibentuk oleh perspektif ekonomi yang mendasar, salah satunya yang paling berpengaruh dirumuskan oleh Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith dalam buku Economic Development (2020).
Kerangka pemikiran mereka menekankan keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan manusia.
Bagi Todaro dan Smith, pembangunan tidak sekadar berarti peningkatan pendapatan nasional, tetapi juga mencakup perluasan kapabilitas manusia, pengurangan ketimpangan, serta pencapaian keberlanjutan.
Bertolak belakang dengan paradigma ekonomi arus utama tersebut, Arturo Escobar melalui karyanya Encountering Development (1995) menawarkan kritik pascakolonial yang tajam.
Escobar berargumen bahwa “pembangunan” sering kali berfungsi bukan sebagai tujuan netral, melainkan sebagai wacana yang melanggengkan dominasi Barat atas Global South. Ia membongkar bahasa “kemajuan” dan “modernisasi,” dengan menunjukkan bagaimana istilah-istilah tersebut kerap meminggirkan pengetahuan lokal dan cara hidup alternatif.
Bagi Escobar, pembangunan sekaligus merupakan praktik pengetahuan dan bentuk kekuasaan. Kritik serupa diperkuat oleh Wolfgang Sachs melalui The Development Dictionary (1992), sebuah kumpulan esai yang membedah konsep-konsep inti seperti kemiskinan, kemajuan, dan keberlanjutan.
Sejalan dengan itu, Andre Gunder Frank melalui Capitalism and Underdevelopment in Latin America (1967) menghadirkan teori ketergantungan yang menyoroti ketimpangan struktural dalam kapitalisme global. Menurut Frank, kemakmuran negara-negara maju secara historis terkait erat dengan keterbelakangan negara-negara periferal.
Dengan demikian, keterbelakangan bukanlah akibat kegagalan internal, melainkan konsekuensi struktural dari eksploitasi global. Dimensi struktural ini diperdalam lagi oleh Immanuel Wallerstein dalam World-Systems Analysis (2004), yang menempatkan pembangunan dan keterbelakangan dalam kerangka sistem kapitalisme dunia yang terbagi menjadi zona inti (core), semi-periferi, dan periferi.
Ontologi Studi Pembangunan
Memahami Ontologi dalam Studi Pembangunan
Ontologi, dalam istilah filosofis, berkaitan dengan hakikat keberadaan dan eksistensi. Ontologi mengajukan pertanyaan paling mendasar tentang entitas apa yang ada di dunia dan bagaimana mereka dapat dikategorikan dan dihubungkan satu sama lain. Ketika diterapkan pada studi pembangunan, ontologi mengacu pada asumsi tentang apa itu “pembangunan”, realitas sosial apa yang merupakan ranah pembangunan, dan aktor, proses, serta struktur mana yang dianggap relevan.
Dengan demikian, ontologi membingkai objek kajiannya: tanpa asumsi ontologis, studi pembangunan tidak akan memiliki pokok bahasan yang koheren.
Pada intinya, studi pembangunan bergulat dengan pertanyaan: Apa itu pembangunan? Apakah pembangunan terutama merupakan proses ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB)? Apakah pembangunan merupakan proses politik pembangunan kelembagaan dan tata kelola?
Apakah pembangunan merupakan transformasi sosial menuju pemerataan dan keadilan? Ataukah pembangunan merupakan aspirasi yang plural dan didefinisikan secara lokal yang tidak dapat direduksi menjadi kategori universal? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bervariasi di berbagai tradisi teoretis, masing-masing didasarkan pada asumsi ontologis yang khas.
Ontologi Pembangunan yang Bersaing
Sejarah pemikiran pembangunan menggambarkan pluralitas ontologi yang telah membentuk bidang ini. Ontologi modernisasi. Teori modernisasi, yang dominan pada tahun 1950-an dan 1960-an, didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat berevolusi melalui urutan linear dari “tradisional” ke “modern.”
Berakar pada karya Walt W. Rostow dan Talcott Parsons, ontologi ini mendefinisikan pembangunan sebagai diferensiasi struktural, industrialisasi, dan rasionalisasi. Entitas yang “ada” dalam pandangan dunia ini adalah negara-bangsa sebagai unit analisis, ekonomi sebagai mesin pertumbuhan, dan ciri-ciri budaya sebagai fasilitator atau penghambat.
Kemiskinan dipandang sebagai kurangnya modernisasi, alih-alih akibat dari hubungan eksternal. Ontologi ketergantungan dan sistem dunia. Sebagai reaksi, para ahli teori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank, Fernando Henrique Cardoso, dan Samir Amin menolak ontologi modernisasi.
Ontologi pembangunan secara historis banyak dibentuk oleh teori modernisasi, yang paling menonjol dirumuskan oleh Walt Whitman Rostow dalam The Stages of Economic Growth (1960). Rostow mengajukan model linier tentang kemajuan masyarakat melalui lima tahap berbeda, mulai dari “masyarakat tradisional” hingga “era konsumsi massal tinggi.”
Ontologinya mengasumsikan bahwa pembangunan adalah proses universal dan terukur yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan modernisasi, dengan menempatkan masyarakat industri Barat sebagai model tertinggi.
Amartya Sen dan Martha Nussbaum menawarkan pergeseran besar dari ontologi berpusat pada pertumbuhan menuju ontologi yang berpusat pada manusia. Pendekatan partisipatorisnya menegaskan bahwa pembangunan tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang para ahli eksternal, melainkan harus memperhitungkan pengetahuan lokal, agensi, dan pengalaman hidup. Mendorong kritik lebih jauh,
Gustavo Esteva dan Arturo Escobar dalam Post-Development: Critical Debates on the Theory and Practice of Development (2017) menantang ontologi pembangunan itu sendiri.
Mereka berargumen bahwa “pembangunan” secara historis berfungsi sebagai konstruksi yang dipaksakan Barat, yang menghapus keragaman dunia kehidupan dan memaksakan model kemajuan yang seragam.
Sebaliknya, mereka mendorong pluralitas ontologi yang berakar pada keragaman budaya, otonomi lokal, serta alternatif terhadap pembangunan. Bersama-sama, para pemikir ini menunjukkan keragaman ontologis dalam Studi Pembangunan, mulai dari model modernisasi linier hingga perspektif plural, berpusat pada manusia, dan pasca-pembangunan.
Mereka berpendapat bahwa keterbelakangan bukanlah kondisi asli, melainkan produk dari hubungan eksploitatif antara “pusat” dan “pinggiran”. Mereka tidak hanya mempertanyakan teori-teori pembangunan, tetapi juga ontologi pembangunan itu sendiri.
Ontologi berpengaruh lainnya muncul dengan pendekatan kapabilitas Amartya Sen dan elaborasi Martha Nussbaum. Di sini, pembangunan dipahami sebagai perluasan kebebasan dan kapabilitas manusia—kesempatan substantif yang dimiliki manusia untuk menjalani kehidupan yang mereka hargai.
Dalam ontologi ini, individu merupakan pusat, tetapi tidak terisolasi; mereka tertanam dalam struktur sosial, politik, dan lingkungan yang memungkinkan atau membatasi pilihan mereka.
Pembangunan hadir bukan hanya sebagai pertumbuhan ekonomi, tetapi sebagai pengembangan potensi manusia.
Ontologi Kategori Sosial
Studi pembangunan juga membuat klaim ontologis tentang kategori sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, gender, dan lingkungan. Kemiskinan, misalnya, dapat didefinisikan secara ontologis sebagai kurangnya pendapatan, hilangnya kebutuhan dasar, ketiadaan kemampuan, atau eksklusi dari partisipasi sosial.
Setiap definisi membentuk indikator yang digunakan, kebijakan yang dirancang, dan intervensi yang dibenarkan. Demikian pula, gender dapat diperlakukan secara ontologis sebagai perbedaan biologis, sebagai konstruksi sosial, atau sebagai relasi kuasa.
Isu-isu lingkungan dapat dibingkai sebagai eksternalitas terhadap proses ekonomi, sebagai ekosistem intrinsik dengan hak-haknya sendiri, atau sebagai sistem sosio-ekologis yang saling terhubung.
Perspektif ontologis ini tidak hanya bersifat akademis—perspektif ini menentukan bagaimana masalah dilihat dan solusi apa yang dianggap sah.
Inti dari studi pembangunan terletak pada perdebatan ontologis tentang kesejahteraan dan kemajuan.
Apakah kemajuan diukur dengan akumulasi materi, kemajuan teknologi, atau modernisasi kelembagaan? Atau apakah ia terletak pada kesejahteraan subjektif, integritas budaya, keseimbangan ekologis, dan martabat manusia?
Ontologi dominan pertumbuhan yang berpusat pada PDB semakin ditantang oleh ukuran-ukuran alternatif seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kebahagiaan Nasional Bruto (Bhutan), dan indeks kemiskinan multidimensi. Alternatif-alternatif ini mencerminkan asumsi yang berbeda tentang apa yang “ada” sebagai pembangunan.
Mengapa Ontologi Penting
Ontologi penting karena ia menetapkan landasan bagi segala hal lain dalam studi pembangunan. Cara kita mendefinisikan pembangunan, mengidentifikasi aktor, mengkategorikan fenomena sosial, dan mengukur kemajuan, semuanya bergantung pada asumsi yang mendasari tentang apa yang ada dan apa yang penting.
Ontologi yang sempit berisiko mengecualikan aspek-aspek vital realitas, seperti identitas budaya, integritas ekologis, atau martabat manusia. Sebaliknya, ontologi yang plural dan refleksif membuka ruang bagi pendekatan yang lebih inklusif dan peka terhadap konteks. Singkatnya, ontologi studi pembangunan tidaklah tetap, melainkan diperdebatkan.
Epistemologi Studi Pembangunan
Memahami Epistemologi dalam Studi Pembangunan
Epistemologi, filsafat pengetahuan, membahas pertanyaan tentang hakikat, sumber, dan validitas pemahaman manusia. Epistemologi mempertanyakan: Bagaimana kita mengetahui apa yang kita klaim ketahui? Apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang sah? Metode dan kriteria apa yang membenarkan klaim kebenaran?
Dalam konteks studi pembangunan, epistemologi membahas cara pengetahuan tentang pembangunan dihasilkan, asumsi yang mendasari metode penelitian, dan otoritas yang diberikan kepada berbagai jenis bukti.
Studi pembangunan, sebagai bidang terapan dan interdisipliner, tidak beroperasi dengan satu epistemologi tunggal. Sebaliknya, studi ini mencakup berbagai tradisi epistemologis yang saling bersaing dan saling melengkapi.
Tradisi-tradisi ini meliputi positivisme, interpretivisme, teori kritis, dan pragmatisme, yang masing-masing membentuk bagaimana para ilmuwan menyelidiki pembangunan dan bagaimana para praktisi merancang kebijakan dan intervensi.
Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980) memberikan lensa kritis untuk memahami bagaimana pengetahuan pembangunan diproduksi dan dilegitimasi. Bagi Foucault, pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa.
Dalam studi pembangunan, perspektif ini menekankan bahwa wacana tentang “kemajuan,” “kemiskinan,” atau “modernitas” bukan sekadar bersifat deskriptif, tetapi berfungsi untuk membentuk realitas sosial dan mempertahankan hierarki tertentu.
Lembaga-lembaga pembangunan, mulai dari badan bantuan hingga pusat penelitian, dapat dipahami sebagai arena di mana kuasa dan pengetahuan berkelindan, menentukan apa yang dianggap sebagai pengetahuan sah serta suara siapa yang diperkuat atau disenyapkan.
Wawasan epistemologis ini memaksa para sarjana untuk mengkritisi bukan hanya isi dari pengetahuan pembangunan, tetapi juga kondisi dan institusi yang memproduksinya.
Melanjutkan interaksi antara teori dan praktik, Norman Long dan Ann Long dalam buku suntingan mereka Battlefields of Knowledge (1992) menekankan sifat pengetahuan pembangunan yang penuh kontestasi dan negosiasi.
Mereka berargumen bahwa pengetahuan pembangunan dibangun bersama di lapangan, ketika para pakar eksternal, aktor lokal, dan institusi berinteraksi—sering kali dengan kepentingan dan interpretasi yang saling bertentangan.
Demikian pula, Smith dalam Decolonizing Methodologies (2012) mengungkap warisan kolonial dalam riset sosial, khususnya terhadap masyarakat adat. Ia mengkritik bagaimana penelitian sering kali mengeksploitasi atau mengobjektifikasi komunitas adat, dan sebaliknya mengadvokasi metodologi yang berlandaskan rasa hormat, timbal balik, dan penentuan nasib sendiri.
Epistemologi Interpretivisme: Memahami Pengalaman Hidup
Berbeda dengan positivisme, epistemologi interpretivisme menekankan sifat realitas yang subjektif dan terkonstruksi secara sosial. Epistemologi ini berpendapat bahwa pengetahuan tidak hanya ditemukan tetapi ditafsirkan, karena makna tertanam dalam konteks budaya, sejarah, dan linguistik.
Oleh karena itu, tujuan penelitian bukanlah prediksi tetapi pemahaman—verstehen, meminjam istilah Max Weber.
Dalam studi pembangunan, interpretivisme menginformasikan pendekatan kualitatif seperti etnografi, wawancara mendalam, penilaian pedesaan partisipatif, dan studi kasus. Pendekatan interpretivisme khususnya berpengaruh dalam pembangunan partisipatif, studi gender, dan kritik pascakolonial.
Mereka menantang dominasi model universal dengan menunjukkan bagaimana pembangunan dialami secara berbeda di berbagai kelompok dan konteks sosial. Namun, para kritikus memperingatkan bahwa interpretivisme mungkin kesulitan dengan generalisasi, komparabilitas, dan penerapan kebijakan jika mengabaikan dinamika struktural yang lebih luas.
Epistemologi Kritis: Kekuasaan, Pengetahuan, dan Emansipasi
Epistemologi kritis, yang dipengaruhi oleh Marxisme, teori kritis, dan pascastrukturalisme, mengkaji hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.
Terinspirasi oleh para pemikir seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, Michel Foucault, dan Paulo Freire, orientasi ini berpendapat bahwa pengetahuan tidak pernah netral tetapi selalu tertanam dalam hubungan dominasi dan perlawanan.
Dalam studi pembangunan, epistemologi kritis mempertanyakan pengetahuan siapa yang penting dan kepentingan siapa yang dilayani oleh produksi pengetahuan.
Misalnya, gagasan Foucault tentang kekuasaan/pengetahuan mengungkapkan bagaimana wacana pembangunan membangun kategori-kategori seperti “kaum miskin”, “kaum terbelakang”, atau “kaum tradisional” dengan cara yang membenarkan intervensi dan kontrol.
Dalam beberapa dekade terakhir, pragmatisme telah muncul sebagai sudut pandang epistemologis yang memediasi dalam studi pembangunan. Pragmatisme memprioritaskan konsekuensi praktis dari pengetahuan dan kegunaan metode dalam mengatasi permasalahan dunia nyata.
Alih-alih berpegang teguh pada paradigma positivis atau interpretivisme, pragmatisme merangkul pluralisme metodologis, menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian metode campuran.
Sebagai contoh, sebuah studi tentang ketahanan pangan dapat menggunakan survei rumah tangga untuk mengukur tingkat malnutrisi sekaligus menggunakan kerja lapangan etnografis untuk memahami praktik budaya seputar pangan.
Salah satu pergeseran epistemologis paling signifikan dalam studi pembangunan kontemporer adalah pengakuan terhadap sistem pengetahuan masyarakat adat dan lokal.
Selama berabad-abad, epistemologi Barat mendominasi produksi pengetahuan pembangunan, seringkali meminggirkan atau mengabaikan cara-cara mengetahui lainnya.
Namun, epistemologi masyarakat adat—yang berakar pada tradisi lisan, praktik komunal, keyakinan spiritual, dan kearifan ekologis—menawarkan wawasan penting bagi pembangunan berkelanjutan dan inklusif.
Misalnya, pengetahuan ekologi masyarakat adat telah terbukti krusial dalam konservasi keanekaragaman hayati, adaptasi iklim, dan pengelolaan sumber daya. Pengetahuan lokal tentang kesuburan tanah, keanekaragaman tanaman, dan siklus air seringkali melampaui model ilmiah dalam hal relevansi dan penerapannya pada konteks tertentu.
Perdebatan Epistemologis dalam Praktik
Keragaman epistemologis studi pembangunan terwujud dalam perdebatan praktis tentang kebijakan dan intervensi. Misalnya: Pengukuran kemiskinan.
Pendekatan positivis menekankan indikator kuantitatif seperti ambang batas pendapatan, sementara penelitian interpretivis mengeksplorasi pengalaman hidup deprivasi, dan pendekatan kritis mempertanyakan kepentingan politik di balik definisi kemiskinan. Gender dan pembangunan.
Studi positivis mengukur kesenjangan gender dalam pendidikan dan ketenagakerjaan, interpretivis menganalisis narasi dan identitas perempuan, sementara feminis kritis mengkaji patriarki, kolonialitas, dan interseksionalitas.
Adaptasi perubahan iklim. Positivis mengandalkan model iklim dan penilaian risiko, interpretivis mendokumentasikan persepsi lokal tentang perubahan lingkungan, dan epistemologi lokal berkontribusi pada praktik ketahanan tradisional.
Perdebatan ini menggambarkan bagaimana pilihan epistemologis tidak hanya memengaruhi wacana akademis tetapi juga perancangan dan evaluasi kebijakan pembangunan.
Epistemologi studi pembangunan jauh dari monolitik. Epistemologi ini mencakup orientasi positivis, interpretivisme, kritis, pragmatis, dan pribumi, masing-masing dengan kekuatan dan keterbatasannya sendiri.
Yang menyatukan mereka adalah pengakuan bahwa pembangunan merupakan fenomena yang kompleks dan kontroversial yang tidak dapat dicakup oleh satu cara mengetahui saja.
Oleh karena itu, epistemologi yang plural dan refleksif sangatlah penting. Pluralisme mengakui legitimasi beragam cara mengetahui, sementara refleksivitas menuntut para akademisi untuk tetap menyadari posisi mereka dan relasi kuasa yang melekat dalam produksi pengetahuan.
Aksiologi dalam Studi Pembangunan
Aksiologi, yang berasal dari bahasa Yunani axios (nilai) dan logos (studi), adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai, termasuk etika dan estetika. Dalam Studi Pembangunan, aksiologi terutama berkaitan dengan etika, keadilan, dan kesejahteraan manusia. Aksiologi menekankan dimensi normatif pembangunan—apa yang seharusnya, alih-alih apa yang ada.
Perhatian utama aksiologis meliputi: Etika: Apa tanggung jawab moral negara, lembaga, dan individu dalam mendorong pembangunan? Keadilan: Bagaimana seharusnya manfaat dan beban pembangunan didistribusikan di antara individu, kelompok, dan bangsa?
Nilai-nilai Budaya: Bagaimana tradisi, kepercayaan, dan norma lokal memengaruhi agenda pembangunan?
Keberlanjutan: Apa kewajiban generasi sekarang terhadap generasi mendatang dalam hal pemanfaatan sumber daya dan pelestarian ekologi?
Dengan demikian, aksiologi dalam pembangunan bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi memiliki implikasi praktis bagi pembuatan kebijakan, kerja sama internasional, dan aksi akar rumput.
Berbagai teori pembangunan didasari oleh asumsi aksiologis yang berbeda.
Pertama seperti Teori Modernisasi berasumsi bahwa “kemajuan” berarti mengadopsi model industri dan budaya Barat, yang mencerminkan nilai-nilai pertumbuhan, rasionalitas, dan kemajuan linear..
Kedua, Teori Ketergantungan menghargai kedaulatan, keadilan, dan kesetaraan, mengkritik ketimpangan dan eksploitasi global.
Ketiga, Pendekatan Pembangunan Manusia (Amartya Sen, Martha Nussbaum) secara aksiologis didasarkan pada kebebasan, martabat, dan perluasan kapabilitas, alih-alih pertumbuhan PDB.
Keempat, Teori Pasca-Pembangunan menantang nilai-nilai universalis, menekankan penghormatan terhadap pluralitas budaya dan pengetahuan lokal.
Kelima, Pembangunan Berkelanjutan membawa nilai-nilai ekologis ke dalam pembangunan, menekankan keadilan antargenerasi dan etika lingkungan. Setiap paradigma mengungkapkan bagaimana nilai-nilai tertanam dalam definisi pembangunan dan pilihan kebijakan. Dengan demikian, aksiologi bukanlah lapisan eksternal, melainkan elemen konstitutif dari teori-teori pembangunan.
Dalam ranah aksiologi studi pembangunan, Amartya Sen (1987) menegaskan pentingnya etika dalam ilmu ekonomi.
Menurutnya, pembangunan tidak semata persoalan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyangkut keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan manusia.
Bersama Martha Nussbaum, Sen mengembangkan capability approach, yakni pendekatan yang menekankan pada kapasitas nyata individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap bernilai.
Dalam buku The Quality of Life (1993), mereka menunjukkan bahwa ukuran kualitas hidup tidak cukup dilihat dari pendapatan atau PDB, melainkan dari peluang nyata yang dimiliki seseorang untuk hidup bermartabat.
Pemikiran ini diperkaya oleh Sakiko Fukuda-Parr dan A.K. Shiva Kumar melalui antologi Readings in Human Development (2009) yang mendefinisikan pembangunan sebagai paradigma multidimensional.
Mereka menekankan pentingnya indikator pembangunan manusia yang komprehensif, tidak hanya berbasis ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik.
Gagasan ini sejalan dengan konsep Human Development Index (HDI) yang kemudian banyak digunakan oleh UNDP sebagai alat ukur global untuk menilai kualitas pembangunan. Sementara itu, Jeffrey Sachs dalam The Age of Sustainable Development (2015) menegaskan bahwa pembangunan harus berpijak pada prinsip keberlanjutan, mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi dengan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Joseph Stiglitz, bersama Sen dan Jean-Paul Fitoussi, melalui Report on the Measurement of Economic Performance and Social Progress (2009), mengkritik ukuran pembangunan yang terlalu sempit pada PDB.
Dilema Etika dalam Praktik Pembangunan
Perdebatan aksiologis tidak terbatas pada teori; perdebatan ini membentuk praktik pembangunan di dunia nyata. Seperti bantuan dan ketergantungan: Haruskah negara donor memprioritaskan kepentingan strategis mereka atau kebutuhan negara penerima?
Hak Asasi Manusia vs. Relativisme Budaya: Haruskah hak asasi manusia universal mengesampingkan tradisi lokal, atau haruskah otonomi budaya diutamakan?
Pertumbuhan Ekonomi vs. Perlindungan Lingkungan: Haruskah negara-negara mengejar industrialisasi yang pesat meskipun dengan mengorbankan kerusakan ekologis?
Keadilan vs. Efisiensi: Haruskah kebijakan mengutamakan efisiensi dan pertumbuhan secara keseluruhan, atau memprioritaskan kelompok terpinggirkan meskipun kurang efisien? Dilema-dilema ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak pernah netral nilai. Para pengambil keputusan harus menavigasi klaim aksiologis yang saling bersaing.
Aksiologi, Keadilan Global, dan Pembangunan
Konsep keadilan global merupakan inti dari perdebatan aksiologis dalam pembangunan.
Para cendekiawan seperti John Rawls, Thomas Pogge, dan Amartya Sen menyoroti kewajiban moral negara-negara kaya untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan global. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) merupakan ekspresi kontemporer dari komitmen aksiologis terhadap kesetaraan, martabat manusia, dan keberlanjutan lingkungan.
Lebih lanjut, perdebatan tentang keadilan iklim mencerminkan tanggung jawab antargenerasi dan transnasional. Aksiologi menuntut agar pembangunan tidak hanya memaksimalkan manfaat saat ini, tetapi juga memastikan keadilan lintas ruang dan waktu.
Meskipun kerangka kerja etika global penting, aksiologi juga menekankan kepekaan terhadap nilai-nilai lokal. Proyek pembangunan seringkali gagal ketika memaksakan nilai-nilai eksternal yang bertentangan dengan tradisi masyarakat.
Aksiologi menyerukan pendekatan partisipatif yang mengintegrasikan pengetahuan adat, warisan budaya, dan prioritas lokal.
Misalnya, dalam pembangunan masyarakat pesisir, nilai-nilai pengelolaan sumber daya kolektif, kekerabatan, dan ikatan spiritual dengan alam sama pentingnya dengan rasionalitas ekonomi. Mengabaikan nilai-nilai ini berisiko merusak legitimasi dan keberlanjutan upaya pembangunan.
Menuju Praktik Pembangunan yang Berbasis Nilai
Aksiologi mendorong studi pembangunan menuju refleksivitas: mengakui bahwa para akademisi, pembuat kebijakan, dan praktisi membawa nilai-nilai mereka sendiri ke dalam pekerjaan mereka.
Praktik pembangunan yang berwawasan nilai mensyaratkan; refleksi etis di setiap tahap perancangan dan implementasi proyek; pengambilan keputusan inklusif yang menghormati beragam suara; menyeimbangkan nilai-nilai universal (hak asasi manusia, martabat, keberlanjutan) dengan nilai-nilai budaya lokal; mekanisme akuntabilitas yang menjamin keadilan dan transparansi.
Dengan demikian, aksiologi menyediakan kompas untuk menavigasi tantangan pembangunan yang kompleks.
Jadi, aksiologi merupakan bagian integral dari Studi Pembangunan karena pembangunan pada dasarnya berkaitan dengan nilai-nilai: apa yang diinginkan, adil, dan baik bagi masyarakat. Dengan mengedepankan etika, keadilan, dan pertimbangan budaya, aksiologi membantu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, memastikan bahwa pembangunan
Kesimpulan
Studi Pembangunan sebagai Kajian Multidimensional
Secara ontologis, Studi Pembangunan mengakui bahwa “pembangunan” bukanlah suatu realitas tunggal yang tetap, melainkan sebuah konstruksi multidimensional yang mencakup pertumbuhan ekonomi, transformasi sosial, institusi politik, nilai-nilai budaya, serta keberlanjutan ekologi. Kompleksitas ini menjadikan Studi Pembangunan sebagai bidang yang dinamis dan senantiasa harus menafsirkan ulang makna “kemajuan” dalam konteks yang berbeda-beda.
Konstruksi Pengetahuan Bersifat Kontekstual dan Dapat Diperdebatkan
Secara epistemologis, Studi Pembangunan menunjukkan bahwa tidak ada satu cara tunggal dan universal dalam memahami pembangunan. Berbagai paradigma—positivis, interpretatif, kritis, maupun pascakolonial—melahirkan beragam penafsiran terhadap proses pembangunan.
Keragaman ini menegaskan pentingnya pluralisme metodologis dan sikap reflektif dalam penelitian, sehingga pengetahuan lokal dan pengalaman hidup masyarakat dapat melengkapi teori-teori global.
Nilai Tidak Terpisahkan dari Praktik Pembangunan
Secara aksiologis, Studi Pembangunan sarat dengan muatan nilai. Pilihan mengenai prioritas kebijakan, agenda penelitian, maupun kerangka evaluasi selalu dibentuk oleh pertimbangan etis—seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan, keberlanjutan, dan martabat manusia.
Dengan demikian, pembangunan tidak hanya menyangkut hasil yang dicapai, melainkan juga nilai-nilai yang menuntun prosesnya.
Menjembatani Teori dan Praktik Memerlukan Refleksivitas Etis
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi memperlihatkan bahwa Studi Pembangunan harus senantiasa kritis dan sadar diri.
Para praktisi maupun akademisi perlu terus menelaah bagaimana asumsi mereka tentang realitas (ontologi) dan cara memperoleh pengetahuan (epistemologi) selaras dengan nilai yang mereka junjung (aksiologi). Refleksivitas ini mencegah praktik pembangunan menjadi sekadar teknokratis atau ideologis semata.
Inklusivitas dan Keberlanjutan sebagai Imperatif Normatif
Refleksi aksiologis menegaskan bahwa pembangunan harus menempatkan inklusivitas dan keberlanjutan sebagai prioritas utama. Kelompok yang terpinggirkan, komunitas lokal, serta generasi mendatang tidak boleh dikesampingkan dari manfaat pembangunan.
Sebaliknya, pendekatan partisipatif, pengelolaan lingkungan yang bijak, dan keadilan antar generasi perlu menjadi inti dari agenda pembangunan.
Studi Pembangunan sebagai Disiplin Kritis, Etis, dan Transformatif
Secara keseluruhan, dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis menegaskan bahwa Studi Pembangunan bukan sekadar aktivitas akademik, melainkan sebuah disiplin yang bersifat transformatif.
Tujuan akhirnya bukan hanya memahami dan menjelaskan pembangunan, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih adil, setara, dan manusiawi.
References
Development Studies: Historical & Field of Inquiry
- Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2020). Economic Development (13th ed.). New York: Pearson.
- Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton: Princeton University Press.
- Sachs, W. (Ed.). (1992). The Development Dictionary: A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books.
- Frank, A. G. (1967). Capitalism and Underdevelopment in Latin America. New York: Monthly Review Press.
- Wallerstein, I. (2004). World-Systems Analysis: An Introduction. Durham: Duke University Press.
Ontology of Development
- Rostow, W. W. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.
- Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Chambers, R. (1997). Whose Reality Counts? Putting the First Last. London: Intermediate Technology Publications.
- Esteva, G., & Escobar, A. (2017). Post-Development: Critical Debates on the Theory and Practice of Development. London: Routledge.
Epistemology of Development Studies
- Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York: Pantheon.
- Long, N., & Long, A. (Eds.). (1992). Battlefields of Knowledge: The Interlocking of Theory and Practice in Social Research and Development. London: Routledge.
- Mignolo, W. D. (2011). The Darker Side of Western Modernity: Global Futures, Decolonial Options. Durham: Duke University Press.
- Smith, L. T. (2012). Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (2nd ed.). London: Zed Books.
Axiology of Development Studies
- Sen, A. (1987). On Ethics and Economics. Oxford: Blackwell.
- Nussbaum, M. C., & Sen, A. (Eds.). (1993). The Quality of Life. Oxford: Clarendon Press.
- Fukuda-Parr, S., & Shiva Kumar, A. K. (Eds.). (2009). Readings in Human Development: Concepts, Measures, and Policies for a Development Paradigm. Oxford: Oxford University Press.
- Sachs, J. D. (2015). The Age of Sustainable Development. New York: Columbia University Press.
- Stiglitz, J. E., Sen, A., & Fitoussi, J.-P. (2009). Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress. Paris.