PELAKITA.ID – Studi pembangunan merupakan bidang yang tidak hanya berbicara tentang strategi ekonomi atau indikator pertumbuhan, tetapi juga menyangkut pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendasar.
Untuk memahami pembangunan secara utuh, diperlukan tiga landasan utama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ketiga pilar ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran yang saling melengkapi dalam menjelaskan apa itu pembangunan, bagaimana kita mengetahuinya, dan nilai apa yang seharusnya membimbingnya.
Pertama, ontologi dalam studi pembangunan menyoal tentang apa itu pembangunan. Pertanyaan ontologis mengajak kita menelusuri hakikat pembangunan itu sendiri.
W. W. Rostow misalnya, memahami pembangunan sebagai proses linear dalam bentuk tahapan ekonomi, mulai dari masyarakat tradisional hingga ke tahap konsumsi massal.
Sebaliknya, Amartya Sen dan Martha Nussbaum melihat pembangunan sebagai perluasan kapabilitas manusia, yaitu kemampuan setiap individu untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga.
Sementara itu, Arturo Escobar menegaskan bahwa pembangunan sering kali merupakan wacana Barat yang mengekalkan dominasi atas negara-negara di Global South.
Dari sini, jelas bahwa secara ontologis pembangunan dapat dipahami sebagai pertumbuhan, kebebasan, kapabilitas, keberlanjutan, bahkan juga relasi kuasa.
Kedua, epistemologi menyoroti cara kita mengetahui dan mempelajari pembangunan. Michel Foucault memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan; ia tidak netral, melainkan dibentuk oleh relasi sosial dan politik.
Dalam kerangka ini, pertanyaan epistemologis yang muncul adalah: pengetahuan siapa yang diakui dalam wacana pembangunan?
Apakah statistik dan indikator ekonomi sudah cukup, atau kita juga perlu mendengar narasi masyarakat, metode partisipatif, bahkan kearifan lokal?
Pemikir seperti Linda Tuhiwai Smith dan Walter Mignolo menegaskan pentingnya dekolonisasi metodologi, yakni menggeser dominasi paradigma Barat dan memberikan ruang bagi pengetahuan masyarakat adat serta perspektif non-Barat dalam membangun basis pengetahuan pembangunan yang lebih inklusif.
Ketiga, aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai dan etika yang harus membimbing pembangunan.
Sen dalam On Ethics and Economics menekankan bahwa pembangunan tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan moral, terutama soal keadilan dan kebebasan. Bersama Nussbaum, ia menegaskan bahwa pembangunan seharusnya berfokus pada kualitas hidup, bukan sekadar angka pertumbuhan.
Pemikir lain seperti Jeffrey Sachs dalam The Age of Sustainable Development menyoroti pentingnya keberlanjutan, sementara Joseph Stiglitz bersama Sen dan Jean-Paul Fitoussi menekankan perlunya ukuran baru yang lebih adil untuk menilai kinerja ekonomi dan kemajuan sosial.
Dengan demikian, aksiologi memberikan kompas moral: pembangunan harus berpihak pada manusia, martabat, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Jika dilihat dalam satu kerangka terpadu, ketiga dimensi ini membentuk fondasi filosofis studi pembangunan.
Ontologi memberikan pemahaman tentang apa itu pembangunan, epistemologi menjelaskan bagaimana kita mengetahuinya dan dengan metode apa, sementara aksiologi menuntun pada nilai dan tujuan yang ingin dicapai.
Ontologi memberi objek kajian, epistemologi memberi cara mengetahui, dan aksiologi memberi arah serta makna.
Dengan demikian, studi pembangunan tidak hanya menjadi disiplin teknis, melainkan juga disiplin reflektif yang menggabungkan pemahaman tentang realitas, cara memperoleh pengetahuan, dan nilai yang seharusnya menjadi panduan.