Psikolog Paul Bloom dalam Against Empathy (2017) memang berargumen bahwa empati bisa menipu karena sering bersifat selektif
PELAKITA.ID – Di negeri ini, empati perlahan terkubur—bukan dengan teriakan, melainkan dengan kesunyian. Ia tidak mati seketika, melainkan sekarat perlahan, ditusuk ribuan sikap kecil yang dingin dan abai.
Kita kerap menunjuk jari ke arah penguasa, pejabat, atau elit yang berpesta di tengah jeritan rakyat. Namun sesungguhnya, kita pun terlibat dalam sebuah konspirasi sunyi: pembunuhan empati yang berlangsung tanpa kita sadari.
Empati dahulu adalah denyut nadi bangsa. Ia hidup dalam gotong royong, dalam sapaan tetangga, dalam tangan yang terulur ketika ada yang terjatuh.
Kini, ia terpinggirkan oleh budaya pamer (flexing), oleh kebisingan media sosial, oleh layar gawai yang lebih sering kita tatap dibanding wajah sesama. Tragedi kemanusiaan pun hanya menjadi konten: dikonsumsi, lalu dilupakan.
Siapa pembunuh empati? Kita bisa menyebut keserakahan ekonomi yang menimbulkan jurang kaya-miskin, bisa menuding politik yang kehilangan nurani, bisa menyalahkan kapitalisme yang mereduksi manusia menjadi angka statistik. Namun sejatinya, empati tidak hanya mati karena sistem yang bengkok, melainkan juga karena kita memilih diam.
Kita sibuk dengan diri sendiri, dengan gengsi, dengan citra, dengan algoritma yang melupakan kenyataan: ada manusia nyata di balik setiap angka kemiskinan dan berita duka.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa kesalehan sejati adalah kepedulian sosial.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1–3). Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ayat dan hadis ini adalah cambuk: agama bukan sekadar ritual, melainkan empati yang hidup.
Namun di negeri ini, empati sering dibunuh secara kolektif. Kita menonton berita banjir dan gempa, lalu cepat menekan tombol “skip” seakan derita hanyalah tontonan.
Kita melewati pengemis di lampu merah dengan kaca mobil tertutup rapat. Kita berdebat di media sosial tentang hal remeh, sementara tetangga kelaparan di samping rumah. Inilah konspirasi sunyi itu: empati sekarat di hadapan kita, dan kita membiarkannya.
Psikolog Paul Bloom dalam Against Empathy (2017) memang berargumen bahwa empati bisa menipu karena sering bersifat selektif. Namun yang terjadi di negeri ini lebih tragis: bukan empati yang selektif, melainkan empati yang mati. Kita tidak lagi menaruh diri di tempat orang lain, bahkan untuk sejenak.
Zygmunt Bauman, dalam Liquid Modernity (2000), menulis bahwa modernitas cair membuat hubungan antar manusia rapuh: kita mudah terhubung, tetapi keterikatan itu dangkal. Inilah wajah kita hari ini: berseliweran di ruang digital, dekat dalam jaringan, tetapi jauh dalam perasaan.
Maka, ketika kita bertanya, “Siapa yang membunuh empati di negeri ini?” jawabannya bukan hanya elit yang korup atau sistem yang timpang. Jawabannya adalah kita semua. Kita yang membiarkan hati membeku, kita yang nyaman dengan dunia pribadi tanpa resah oleh jeritan sekitar. Kita semua adalah tersangka dalam konspirasi sunyi ini.
Namun, belum terlambat. Empati bisa dihidupkan kembali bila kita berani melawan kebekuan hati.
Jika masjid kembali menjadi pusat kepedulian sosial, jika sekolah menanamkan rasa bukan hanya angka, jika media berhenti menjadikan derita sekadar rating, dan jika kita—setiap individu—mau menengok sekeliling sebelum kembali menatap layar.
Empati adalah denyut kehidupan. Tanpanya, bangsa ini hanyalah kerumunan tanpa jiwa. Maka, mari hentikan konspirasi sunyi ini. Hentikan pembunuhan terhadap empati, sebelum ia benar-benar terkubur dan kita menjadi bangsa yang mati rasa.