Jangan Abaikan Kontribusi Perikanan Skala Kecil dalam SDGs

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID
  • Dalam logika kapitalisme biru, nelayan kecil ditempatkan sebagai kelas marjinal. Statistik ekonomi biru OECD bahkan tidak mewakili mereka karena dianggap “sulit diestimasi.” Akibatnya, peran mereka makin terpinggirkan sementara industrialisasi terus dipromosikan.
  • Tanpa nelayan kecil, SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), SDG 14 (Ekosistem Laut), dan SDG 15 (Ekosistem Daratan) mustahil tercapai. Mereka menjaga mangrove, padang lamun, dan terumbu karang dari eksploitasi berlebihan. Namun dalam praktik, kebijakan sering bias industri, mendorong overfishing, dan menyingkirkan komunitas pesisir.

PELAKITA.ID – Ketika jargon Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 bergema di forum-forum internasional, realitas di tepi laut sering luput dari sorotan. Perikanan skala kecil—yang menopang pangan, gizi, dan mata pencaharian jutaan orang—nyaris tidak pernah hadir dalam imajinasi besar pembangunan berkelanjutan.

Nelayan kecil yang setiap hari melaut dengan perahu sederhana, menyalurkan ikan segar ke pasar lokal, dan menjaga ekosistem laut dengan cara tradisional, kerap dipinggirkan oleh narasi industrialisasi dan “ekonomi biru” yang berpihak pada modal besar.

Padahal, kontribusi mereka sangat penting. Nelayan kecil menyumbang tangkapan global, menyediakan gizi esensial bagi miliaran manusia, serta menjadi sumber penghidupan hampir setengah miliar orang di dunia. Mengabaikan perikanan skala kecil sama artinya menggagalkan pencapaian SDGs itu sendiri.

Jaring Pengaman Sosial-Ekonomi yang Tak Terlihat

Perikanan skala kecil adalah jaring pengaman sosial dan ekonomi bagi jutaan orang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, namun sering luput dari agenda pembangunan.

Data FAO memperkirakan sektor ini menyumbang setidaknya 40% (37,3 juta ton) dari total tangkapan perikanan global dan menyediakan rata-rata 20% asupan gizi harian dari enam mikronutrien penting (kalsium, zat besi, selenium, seng, vitamin A, omega-3 EPA dan DHA) bagi sekitar 2,3 miliar orang.

Selain itu, sektor ini membuka lapangan kerja bagi 60 juta orang—termasuk 21 juta perempuan—dan menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 492 juta orang secara global.

Kontribusi ini menjadikan perikanan skala kecil sebagai elemen penting ketahanan pangan, gizi, serta kesejahteraan sosial-ekonomi. Ironisnya, peran besar ini jarang tercermin dalam kebijakan pembangunan. Inilah bentuk invisible power—kuasa yang membuat kontribusi nelayan kecil tak terlihat dalam statistik dan kebijakan.

Nelayan kecil paling dekat dengan SDG 1 (Tanpa Kemiskinan) dan SDG 8 (Pekerjaan Layak). Mereka menyerap mayoritas tenaga kerja perikanan, termasuk di Indonesia, tetapi jarang diakui sebagai pilar ekonomi utama.

Sebaliknya, kebijakan lebih sering memihak industri besar. Tanpa nelayan kecil, pasar tradisional akan kehilangan denyut, distribusi protein murah terhambat, dan ketahanan pangan nasional rapuh.

Dalam logika kapitalisme biru, nelayan kecil ditempatkan sebagai kelas marjinal. Statistik ekonomi biru OECD bahkan tidak mewakili mereka karena dianggap “sulit diestimasi.” Akibatnya, peran mereka makin terpinggirkan sementara industrialisasi terus dipromosikan.

Perikanan skala kecil bukan sekadar mencari ikan, tetapi juga membentuk jaringan kehidupan sosial. Perempuan memainkan peran penting dalam pra-tangkap, pasca-tangkap, hingga distribusi. Ini menunjukkan keterkaitan erat dengan SDG 5 (Kesetaraan Gender), SDG 2 (Tanpa Kelaparan), dan SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan).

Bagi masyarakat adat pesisir, laut bahkan menjadi identitas: konsumsi makanan laut mereka 15 kali lebih tinggi dibanding populasi non-adat. Mengabaikan nelayan kecil berarti merusak kebudayaan dan identitas kolektif. Perikanan skala kecil adalah arena reproduksi sosial: solidaritas, ritual, dan kearifan lokal. Kehilangannya berarti hancurnya identitas komunitas.

Dengan operasi sederhana dan alat tangkap multigear, nelayan kecil relatif lebih ramah lingkungan, sejalan dengan SDG 12 (Produksi dan Konsumsi yang Bertanggung Jawab) dan SDG 14 (Ekosistem Laut). Namun mereka justru kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim, reklamasi, dan pencemaran. Dampaknya mencakup hilangnya ruang tangkap, warisan budaya, pendapatan ekonomi, hingga kesehatan mental masyarakat pesisir.

Inilah bentuk nyata ecological violence—ketidakadilan ekologis di mana mereka yang paling ramah terhadap alam justru paling menderita akibat kerusakan. Beban krisis ekologis ditanggung kelompok yang paling lemah secara ekonomi dan politik.

Konsep Blue Economy yang digadang dalam pembangunan global sering menyingkirkan nelayan kecil atas nama efisiensi. Sebagai tandingan, muncul wacana Blue Justice yang menekankan keadilan distribusi, perlindungan hak masyarakat pesisir, dan pengakuan pengetahuan lokal. Konsep ini sejalan dengan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh) serta SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

Blue Justice bukan sekadar teknokrasi, tetapi perjuangan politik-ekologis untuk menggeser relasi kuasa global yang timpang dalam pengelolaan laut.

SDGs: Retorika atau Kesempatan?

Kegagalan mengakui kontribusi nelayan kecil berdampak pada hilangnya akses laut, ketidakpastian generasi pesisir, hingga kegagalan pencapaian SDGs di banyak negara. Pertanyaan mendasar: apakah SDGs hanya retorika indah di atas kertas, atau bisa menjadi instrumen keadilan sosial-ekologis?

Tanpa nelayan kecil, SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), SDG 14 (Ekosistem Laut), dan SDG 15 (Ekosistem Daratan) mustahil tercapai. Mereka menjaga mangrove, padang lamun, dan terumbu karang dari eksploitasi berlebihan. Namun dalam praktik, kebijakan sering bias industri, mendorong overfishing, dan menyingkirkan komunitas pesisir.

Selama ini nelayan kecil diposisikan sebagai objek: penerima bantuan, target statistik, atau pelengkap laporan. Padahal, mereka adalah subjek dengan pengetahuan ekologis, strategi bertahan, dan praktik budaya yang menopang laut jauh sebelum istilah “pembangunan berkelanjutan” lahir.

Sosiologi kritis mengajarkan bahwa pembangunan tidak netral; ia sarat dominasi dan eksklusi. Nelayan kecil dipinggirkan bukan karena tak mampu, tetapi karena struktur ekonomi-politik global lebih memilih korporasi besar sebagai “juara” pembangunan maritim. Inilah bentuk kolonialisme baru atas laut.

Menempatkan nelayan kecil sebagai subjek berarti membalik logika pembangunan: bukan negara atau lembaga internasional yang menentukan agenda, melainkan komunitas pesisir itu sendiri.

Keberhasilan pembangunan pesisir bergantung pada siapa yang memiliki kendali atas laut dan bagaimana distribusi manfaatnya.

Indonesia dan Jalan Menuju Pengakuan

Sebagai negara maritim terbesar, Indonesia seharusnya menjadi pelopor pengarusutamaan perikanan skala kecil dalam pencapaian SDGs. Bukan sekadar simbol retorika, melainkan komitmen politik untuk melindungi wilayah tangkap tradisional, memperkuat koperasi nelayan, dan menjamin akses pasar yang adil.

Jika gagal, bonus demografi maritim bisa berubah menjadi bencana sosial-ekologis. Laut dikuasai korporasi, nelayan kecil semakin terpinggirkan, dan SDGs hanya menjadi hiasan diplomasi. Namun, jika negara berani berpihak, perikanan skala kecil dapat menjadi bukti nyata bahwa pembangunan global bisa berlandaskan keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan pangan.

Editor Denun