PELAKITA.ID – Kebisingan dan ketegangan kian melanda ruang interaksi kita. Mulai dari suara motor berknalpot bising (knalpot racing/aftermarket) dan dentuman musik “sound horeg” di jalanan, hingga teriakan bernada tinggi di ruang publik yang merembes ke ruang privat melalui media sosial.
Situasi ini semakin terasa ketika latar kehidupan sedang tidak menguntungkan: kantong kempis, perut keroncongan, atau emosi yang mudah meledak.
Ketegangan kian bertambah jika lingkungan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan ikut bergejolak.
Ketika kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan sulit terpenuhi, pelanggaran hak orang lain bahkan kekerasan verbal dan fisik menjadi risiko nyata.
Fakta menunjukkan, kekerasan terjadi di berbagai tingkat: dari keluarga inti (anak–orang tua, kakak–adik, suami–istri), di tempat kerja, di lapangan, hingga konflik antar kelompok—mulai dari perebutan sumber daya, konflik antar kampung, lokasi penangkapan ikan, lahan pertanian/perkebunan, tanah adat, dan lainnya.
Di tingkat negara, kebijakan yang tidak tepat sasaran, program yang elitis, serta ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dapat memperluas kebisingan dan ketegangan.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut “Jolly Roger” oleh sejumlah remaja dan mahasiswa di ruang publik, misalnya, bisa dibaca sebagai salah satu indikator keresahan itu.
Ketegangan yang berlapis dengan kontradiksi memicu ketidakpercayaan (distrust), kebencian (hatred), serta kekerasan verbal dan fisik yang memunculkan konflik.
Konflik ini justru memperbesar kebencian dan kekerasan—fase yang dikenal sebagai spiral of hatred and violence atau spiral kebencian dan kekerasan.
Menghentikan Spiral Kebencian dan Kekerasan
Pencegahan memerlukan kombinasi pendekatan struktural dan pendekatan interaksional.
Contoh pendekatan struktural: Kebijakan Pemerintahan Prabowo–Gibran yang memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto—meredakan ketegangan politik nasional.
Program deradikalisasi dan kontraradikalisasi BNPT di era Jokowi–JK hingga Jokowi–Ma’ruf Amin, termasuk RAN PE tahap pertama dan kedua (menunggu Perpres 2025), merupakan soft approach yang berhasil menurunkan potensi kekerasan berbasis radikalisme-terorisme.
Soft approach di bidang kesejahteraan: Program ketahanan pangan melalui pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan; program makan bergizi gratis yang terhubung dengan petani, nelayan, dan peternak; serta hilirisasi produk dalam negeri untuk membuka lapangan kerja—semuanya menjadi solusi nyata mengurangi keresahan sosial.
Peran Koperasi Merah Putih
Koperasi Merah Putih diharapkan hadir sebagai penggerak ekonomi rakyat dan peredam ketegangan sosial, khususnya mengatasi kelangkaan sembako, gas, dan BBM.
Kedua, menjadi alternatif pinjaman berbunga rendah, menggantikan pinjaman online, bank keliling, dan rentenir, dengan model cicilan yang terjangkau seperti Grameen Bank.
Ketiga, berkolaborasi dengan koperasi yang telah ada di desa/kelurahan untuk menghindari konflik antar pengurus dan lembaga.
Hilirisasi komoditas untuk meningkatkan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja (pengangguran Februari 2025 tercatat 7,28 juta orang) juga menjadi langkah strategis meredakan ketegangan ekonomi.
Pendekatan Interaksional
Selain kebijakan struktural, pendekatan yang membangun hubungan humanis di masyarakat sangat penting. Menghargai kearifan lokal dalam mengelola sumber daya dan tanah adat hingga menerapkan prinsip No One Left Behind, memastikan semua pihak—termasuk kelompok minoritas dan rentan—mendapatkan perhatian, akses, dan partisipasi.
Membangun Ruang Ramah. Kita memerlukan ruang interaksi yang ramah—mulai dari keluarga, lingkungan sosial, tempat kerja, ruang publik, hingga media sosial. Ruang ramah mencakup ramah fisik – lingkungan aman dan nyaman. Ramah SDM – sikap saling menghormati. Ramah kegiatan/program – kegiatan yang membangun harmoni.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kini mengembangkan Ruang Bersama Indonesia (RBI) di desa/kelurahan sebagai ruang ramah bagi anak, perempuan, lansia, disabilitas, dan seluruh warga tanpa diskriminasi.
Harapannya, RBI dapat menjadi prime mover mencegah spiral kebencian dan kekerasan serta menumbuhkan generasi yang ramah, harmonis, bersatu, sejahtera, dan siap menuju Indonesia Emas 2045.
Aamiin.