6000 Insinyur, 6000 Janji untuk Negeri: Nyala Api Hasanuddin untuk Bangsa

  • Whatsapp
Penulis, Muliadi Saleh (ujung kiri) bersana kolega di PII

Oleh: Muliadi Saleh – Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

PELAKITA.ID – Malam itu, langit Makassar seolah menunduk memberi hormat. Di tengah semilir angin dan bayang merah kampus perjuangan, sebanyak 836 anak bangsa berdiri tegak, mengucapkan sumpah suci keinsinyuran.

Mereka adalah bagian dari gelombang besar: hampir 6000 insinyur profesional lulusan Universitas Hasanuddin yang kini siap menyalakan lentera teknologi bangsa.

Dalam suasana yang penuh harap dan khidmat, Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Jamaluddin Jompa, menyampaikan dengan suara bergetar, “Hampir 6000 alumni profesi insinyur Unhas, termasuk yang diambil sumpahnya malam ini, adalah potensi luar biasa untuk membangun Indonesia.”

Tapi 6000 bukan sekadar angka. Ia adalah janji kolektif, tekad yang menyala, dan misi kebangsaan. 6000 cahaya yang siap menerangi lorong-lorong ketergantungan. 6000 tangan terampil yang tak hanya bisa memasang dan menggunakan, tetapi menciptakan.
6000 pikiran tajam yang bertekad memutus rantai impor alat sederhana.

Selamat PII!

Dari Spirit Sultan Hasanuddin ke Perlawanan Baru

Di jantung Kampus Merah, tempat nama Sultan Hasanuddin terus bergema sebagai lambang keberanian dan kedaulatan, kini lahir perlawanan baru.

Bukan lagi melawan penjajah dengan senjata dan darah, melainkan melawan kemiskinan inovasi, melawan mental inferior dalam teknologi, melawan keterlenaan intelektual yang membiarkan negeri ini tertinggal dalam cipta dan reka.

Para insinyur ini adalah prajurit zaman baru. Senjata mereka bukan pedang, melainkan obeng, mikroskop, CAD, coding, dan laboratorium. Mereka tidak hadir untuk sekadar bekerja, tapi untuk membangun peradaban.

Teknologi yang Ramah dan Membumi

Indonesia tidak butuh teknologi yang tinggi tetapi asing, kita butuh teknologi yang ramah, menyapa, dan membumi. Mesin panen yang dibuat anak bangsa sendiri, alat pengolah hasil laut dari tangan para nelayan, jembatan yang bukan hanya menyambung pulau, tapi menyambung harapan.

Seorang insinyur sejati paham bahwa teknologi adalah perpanjangan tangan Tuhan, alat untuk memudahkan hidup, bukan sekadar proyek pencitraan atau prestise pribadi.

Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad). Maka menjadi insinyur bukan hanya soal gelar, tapi soal kemanfaatan, soal pengabdian.

Awal dari Revolusi Tenang

Saat kita masih mengimpor kunci pas dan cangkul, kita sadar: perjuangan belum selesai.

6000 insinyur ini adalah awal. Awal dari revolusi tenang: yang akan menyala di bengkel-bengkel desa, di ladang-ladang petani, di pabrik kecil pinggir kota, di jantung industri halal dan pangan lokal. Di sanalah Indonesia sejati sedang menunggu— menunggu tangan-tangan teknologinya sendiri, yang lahir dari bumi, belajar dari rakyat, dan bekerja untuk negeri.

6000 insinyur. 6000 janji. 6000 cahaya. Kini giliran kita menjaga apinya. Jangan biarkan padam. Karena dari sinilah, masa depan Indonesia dibangun—bukan dengan kata-kata, tapi dengan karya nyata.

Editor Denun