PELAKITA.ID – Sekira dua atau tiga minggu lalu, di Rawajati, Jakarta, senior saya di Kelautan Unhas, Kak Naz cerita tentang bekal bawaan dari Sidrap, kampung halamannya.
“Kaloe kuerang battu ri Sidrap, nyamangi anjo punna pallu kacci,” begitu katanya saat saya cicipi ikan katombong pallu kaloe jelang dini hari itu.
Dia benar, dengan kaloe, ikan kembung yang dimasak dengan ‘pengasam’ dari mangga muda itu sungguh nikmat, apalagi jika ditaburi lombok biji.
Pagi ini, di Tamarunang, saya awalnya kelriru. Melihat sebungkus benda serupa ikan teri kering dibungkus api setelah saya pegang dan cium ternyata beraroma asam.
E! Kaloe!
Maka, setelah mengambil ikan kembung kering dari Galesong kemarin, saya bereksperimen dengan menumis ikan kering tersebut bersama kaloe. Nikmatnya sungguh luar biasa. Massapodda, kata millenials.
Kaloe adalah salah satu jejak masa lalu, dia mewujud ketika mangga di kebun dan hutan berbuah lebat alias surplus, kaloe adalah bagian dari khazanah kuliner sederhana.
Dia teman di kala hidupmu penuh garam dan garing. Dia tandem ikan basah kala asam dari Maumere langka di pasaran.
Kaloe yang dibuat dari irisan mangga muda lalu dijemur ini adalah sisa peninggalan tempo dulu yang mungkin tak lagi dirindukan oleh kaum millenials.
Juga anda barangkali?
Lihat kaloe, saya jadi ingat dapur dengan kayu-kayu kering untuk menanak nasi, tungku tanah dan gentong dari tanah liat.
Kaloe, adalah kita, yang lahir sebelum Android ditemukan, sebelum bumbu instan bertebaran meski kaloe tetap bertahan karena mangga juga bertahan, belum jadi ‘manggaruk-garuk atas nama modernisasi’.
Sudah Kaloe-kah, anda?
Redaksi