Data Kementerian Pertanian tahun 2021 menyebutkan, Sulawesi Barat punya luas lahan sagu mencapai 1.212 hektar.
PELAKITA.ID – Ada yang menarik dan inspiratif saat penulis berkunjung ke kawasan wisata mangrove yang dikelola Kelompok Bunga Karang di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
Kunjungan penulis pada Kamis, 12 Oktober 2023 bersama peserta pelatihan Fasilitasi dan Pemberdayaan Masyarakat yang dikelola oleh Sulawesi Community Foundation.
Jika pada umumnya masyarakat memanfaatkan area ini untuk meningkatkan pendapatan ekonomi melalui usaha menjual makanan di sekitar areal wisata, seperti berjualan produk olahan, menanam bibit mangrove atau memancing ikan, seorang warga bernama Asman justeru tetap konsisten dengan sagu.
Asman, sudah menghabiskan berpuluh tahun dengan memanfaatkan pohon sagu. Sagu untuk bahan pangan. Begitu kira-kira.
“Saya, olah sagu saja, mengolah rumbia untuk dijadikan sagu,” ucapnya saat bertemu penulis.
Usianya telah tergolong renta. Dia kini berumur 73 tahun. Dia mengaku menjalani profesi ini sejak berumur 13 tahun.
Hasil dari aktivitas mengolah sagu ini, ia akui sebagai pekerjaan yang memberikan penghasilan tetap. untuk satu ikat sagu, ia hargai sebesar Rp15 ribu.
Dalam sehari, ia memperoleh keuntungan higga Rp. 200.000. sehingga tak salah jika ia mengklaim profesi tersebut merupakan sumber pokok penghidupannya.
“Dari penghasilan mengolah sagu, saya bisa menikah, membiayai kehidupan berumah tangga, dan membiayai anak sekolah hingga lulus”, ungkap Asman yang kini tinggal di rumah bersama empat orang anaknya.
Asman bisa jadi seperti legenda hidup dalam persaguan, dia sandarkan kehidupan, menyiapkan masa depan anak-anaknya dengan mengolah sagu. Hari-harinya dengan mengolah sagu, juga demi masa depan anak-anaknya.
Dia tetap optimis sebab masih banyak warga atau pengusaha yang berminat pada sagu olahannya. Apalagi jarak Kota Mamuju sebagai ibu kota provinsi, tak terlalu jauh dari Bebanga, kampung halamannya. Pasar masih terbuka.
“Selalu ada yang datang ambil atau beli,” kata dia.
Tentang manfaat mengolah sagu, dia menyebut telah dirasakan oleh anak-anaknya.
“Ada lima anak saya, 4 orang masih tinggala bersama, seorang sudah kerja d Kalimantan. Satu orang sudah jadi guru atau pegawai negeri di SMP Bebanga,” katanya.
“Ada yang masih kuliah, satu orang sementara dua lainnya masih sekolah,” imbuhnya.
Tentang kecintaannya pada sagu, Asman bercerita. “Ketika baru berumur 10 tahun, orang tua mulai mewariskan bagaimancara pengolahan sagu,” ujar dia.
“Akhirnya pada usia 13 tahun, saya mulai menggeluti profesi tersebut dengan serius,” lanjutnya.
“Waktu pertama kali jadi pembuat sagu, kami hanya menggunakan kapak untuk menebang. Kemudian sagu dihancurkan dengan cara diinjak-injak”, sambung Asman.
Kini Pak Asman terbantu dengan adanya mesin yang dimanfaatkan menghancurkan balok sagu.
Penulis mengamati bagaimana kerja mesin tersebut, termasuk tahapan pengolahan sagu.
Tidak hanya itu, ia pun memanfaatkan bahan yang ada untuk merakit alat pembantu lainnya.
“Tidak butuh modal yang besar untuk alat-alatnya. Hanya bensin sebagai bahan bakar mesin yang saya beli setiap 2 hari sekali,” jelasnya.
“Karena dalam sehari, mesin hanya menghabiskan setengah liter bensin untuk mencacah sagu”, tambah dia.
Selama 60 tahun melakoni profesinya, Pak Asman sedikitpun tidak pernah merasa minder.
Ia malah merasa kecewa karena tidak satupun anaknya yang ingin melanjutkan profesinya itu.
“Lima orang anakku saya biayai dari hasil penjualan sagu. Tapi belum ada satupun yang tertarik melanjutkan usaha ini,” kata dia seraya menyungging senyum.
“Anak kami yang paling tua sekarang kerja di Kalimantan, meninggalkan Sulawesi Barat”, sebutnya.
Jika ada yang membuat dia khawatir, itu adalah jumlah batang atau pohon rumbia yang semakin menipis. Karena pembangunan kawasan, perumahan dan alih lahan untuk usaha perkebunan, sejumlah kawasan yang dulunya lebat rumbianya, kini mulai menganga.
Ada yang menarik dari perbincangan penulis dengan Asman. Bahwa limbah dari sagu saat ini belum dimanfaatkan.
Dia pernh coba taburi di tanaman mangga yang menurutnya hampir mati. “Setelah ditaburi limbah sagu, pohon mangganya kembali tumbuh subur,” ucap dia.
Pembaca sekalian, tertarik untuk meneliti manfaat limbah sagu? Mari ke Mamuju, mari ke Sulbar!
Tentang sagu
Sagu merupakan salah satu contoh makanan yang masih dimanfaatkan warga di Sulawesi, Maluku hingga Papua.
Seperti halnya nasi, sagu juga memiliki kandungan karbohidrat tinggi. Namun, dalam sagu juga tercakup beragam nutrisi lain seperti protein, serat, kalsium, dan zat besi. Bahkan ada pula lemak, karoten, dan asam askorbat dalam jumlah kecil.
Sagu yang didapatkan dengan mengolah pohon sagu dengan nama latin Metroxylon sp.
Sagu bisa dipakai untuk bahan pembuat glukosa, pakan ternak, bahan pangan, hingga bahan tekstil.
Luas areal penanaman sagu di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 100.616 hektar untuk budidaya/semibudidaya. Saat itu, 90 persen lahan sagu di tanah air berada di wilayah Papua dan Papua Barat.
Data Kementerian Pertanian RI yang terbaru. luas total luas areal penanaman sagu di Indonesia pada tahun 2021 adalah 206.150 hektar.
Luasan tersebut terlihat turun jika dibandingkan dengan data 2018, yakni seluas 311.954 hektar.
Berdasarkan data Kementan RI, pada tahun 2021, persebaran wilayah penghasil sagu di Indonesia beserta luas areal untuk penanamannya adalah sebagai berikut:
Papua (58.377 hektar) Maluku (37.081 hektar) Maluku Utara (4.315 hektar) Aceh (6.364 hektar) Sumatera Barat (1.531 hektar) Riau (67.732 hektar) Kepulauan Riau (5.986 hektar) Kalimantan Barat (2.296 hektar).
Lalu ada Kalimantan Selatan (4.995 hektar) Kalimantan Timur (27 hektar) Sulawesi Utara (1.676 hektar) Sulawesi Tengah (3.269 hektar) Sulawesi Selatan (3.849 hektar) Sulawesi Barat (1.212 hektar) Sulawesi Tenggara (4.567 hektar) Papua Barat (2.872 hektar).
____
Penulis: Andri Nur Alam, penyuluh Kehutanan KPH Bonekahu, alumni Kehutanan Unhas 2009-2015.
Editor: K. Azis