ASRI TADDA – Sekjen DPP Mileanies membagikan pandangannya terkait konteks dan implikasi jangka panjang putusan MK terkait pelaksanaan Pemilihan Legislatif. Mari simak.
PELAKITA.ID – Jika tak ada perubahan, hari ini Kamis (15/06/2023) Mahkamah Konstitusi akan mengumumkan keputusan mereka terkait gugatan terhadap model Pemilu Legislatif 2024.
Keputusan itu, apakah tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup, atau kombinasi dari keduanya.
Bagaimanapun, ketakpastian model Pileg 2024 sementara proses pendaftaran Bacaleg sudah berlangsung sejak sebulan lalu, tentu menjadi catatan tersendiri.
Saya berkeyakinan, sebagian besar yang mendaftar Bacaleg saat ini berasumsi bahwa Pileg 2024 akan dilangsungkan secara terbuka sebagaimana sebelumnya di Pileg 2019.
Jika asumsi ini ternyata bertolakbelakang dengan keputusan MK hari ini, misal MK menetapkan Pileg menggunakan sistem proporsional tertutup, maka saya khawatir, sebagian besar Bacaleg akan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam Pileg tahun depan.
Dengan kondisi itu, kemungkinan partisipasi politik khususnya di Pileg, juga bisa saja semakin tergerus sehingga pada akhirnya mempengaruhi legitimasi politis hasil Pileg.
Kita tentu tak ingin hal tersebut terjadi. Kita niscaya berharap, sebagaimana juga diinginkan oleh 7 Parpol peserta Pemilu 2024, Pileg mendatang masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sembari kita lakukan pembenahan-pembenahan yang memang dianggap perlu.
Secara personal saya sebenarnya setuju dengan sistem proporsional tertutup. Saya menganggap itu memang ideal diberlakukan, tetapi hanya jika kondisinya memungkinkan, yakni terlebih dahulu harus ada modernisasi sistem kepartaian di negara kita.
Modernisasi dapat dilakukan dengan membuka keran pembiayaan partai oleh negara melalui APBN sehingga parpol memikul konsekuensi untuk bekerja secara akuntabel dan transparan, dapat diaudit oleh sistem kenegaraan.
Jika Parpol dibiayai oleh negara, mereka bisa lebih fokus melakukan tugas dan fungsi pokoknya sebagai kanal pendidikan dan rekruitmen politik di masyarakat.
Dengan begitu, pola kaderisasi dan levelisasi keanggotaan dalam partai memungkinkan berjalan dengan baik hingga ke lapisan paling bawah sekalipun.
Hanya saja, modernisasi kepartaian hanya bisa berlangsung baik jika jumlah Parpol tidak terlalu banyak.
Artinya, kita masih perlu melakukan penyederhanaan jumlah parpol peserta Pemilu selanjutnya.
Jumlah parpol yang lebih sedikit jelas akan melahirkan kompetisi tinggi bagi setiap kader agar bisa sampai pada level tertinggi kaderisasi.
Itu artinya kualitas mereka bisa lebih baik karena telah teruji dalam kontestasi internal di partai masing-masing.
Dengan kondisi begitu, meski Pileg dilakukan secara tertutup, rakyat bisa percaya bahwa siapapun yang mewakili Parpol adalah kader terbaik yang memang sudah dipersiapkan melalui jenjang dan proses yang tidak instan.
Bukan semata hanya karena kedekatan dengan Ketua Parpol, misalnya.
Keputusan MK soal model Pileg 2024 tentu bisa menggambarkan bagaimana wajah demokrasi yang kita akan capai di masa-masa mendatang.
Kita pun mafhum bersama bahwa saat ini sungguh tidak produktif memutuskan sesuatu yang tidak populis tanpa persiapan yang matang.
Editor: K. Azis