PELAKITA.ID – Backhoe atau excavator yang lengannya layu di Muara Sungai Je’nemata itu sudah memasuki tahun ke 54-nya, tepat per 5 Juni 2023.
Pagi itu, air laut dari selat meriak di tepi rantai besi mesin ‘beko’ pengeruk itu. Seperti menepuk lengan yang moncongnya menghunjam pasir berlumpur.
Warga yang bermukim di perumahan mewah Bontoax Garden Hills di sepanjang bibir pantai itu tak ada yang tahu.
Sebagian warga besar memang datang dari daerah lain, dari pedalaman, dari gunung-gunung. Mereka bukan orang tempatan.
Mereka orang tajir. OKB, pengusaha, ada juga politisi tenar mesti sekolahnya tidak jelas. Ada juga influencer meski yang dilakukannya saban hari hanya pamer paha dan ketek.
Mereka tak mau tahu sejarah dan membincang apa yang bisa dilakukan di kawasan Je’nemata kecuali menghujat kiri-kanan.
Untuk apa? Itu kata mereka saat mereka diajak membicarakan masa depan kawasan di selatan Kota Bontoax.
“Kami sibuk.” “Ada pertemuan bisnis.” “Kami tanggung kopi dan penganan saja.”
“Kota ini sudah ada yang urus.”
***
Tokoh masyarakat yang juga anggota Wali Keselamatan Kebencanaan dan Wahana Kekerabatan Komunitas disingkat WKKWKK Kota Je’nemata, kita sebut saja Mabbarani duduk mencangkung di depan beko.
Tangannya meraih setumpuk pasir berlumpur yang sudah kering. Siklus laut surut mendera kawasan ini. Telapak tangannya menggengam erat sedimen itu. Gerahamnya gemeretak. Kulit pipinya nampak mengeras.
“Kurang ajar, mereka berpesta di hulu, membawa material durjana ke kawasan kami,” sungut Mabbarani.
Mabbarani beringsut. Menyeret punggungnya ke kursi malas yang disiapkaan warga di sejumlah cottage.
Dia meraih tablet Sungsang-nya. Memeriksa aplikasi ‘Metaverse Je’nemata’.
Sekali klik. Layar menunjuk ke satu perkampungan kecil di Hulu Karaeng atau sekitra 160 kilometer ke timur jauh.
Srettt…sret…. Aplikasi bekerja. Kampung itu nampak asri dan hening.
Pohon menjulang, sungai jernih, ikan-ikan nampak telanjang, rumah warga terbuat dari kayu, dinding gamacca, atap daun nipah, entah dari mana dapatnya. Di sudut kampung nampak sepasang kuda saling menaiki.
Layar bergerak, seperti pendulum waktu. 1990…1945, 1977, 2000…2023.
“Bammats! Siapa itu yang buang pembalut di batang sungai?” seru Mabba’ dengan mata melotot ke layar tablet. “ Waktu menunjuk tahun 2000.
“Sundats! Siapa itu yang buang kondom ke sempadan. Setang! Kenapa ada botol, baskom pecah, tali bekas, kantong kresek…”
Muka Mabbarani memerah. Matanya tidak berkedip di layar tab.
Layar memasuki kanal waktu 2023 Mabbarani melihat kawasan di sepanjang Hulu Karaeng, Bontoseno, Tamarunang, hingga Barumbung rumah-rumah sudah menyesaki bantaran, sempadan dan bahkan fondasi rumah sudah mengangkangi ruas sungai.
Pohon-pohon menjulang yang digambarkan di tahun 1945 sudah tak nampak.
Lebar sungai yang sebelumnya mencapai 20 meter di tahun 1977 kini tersisi 5 meter.
Badan sungai menciut, sedimentasi semakin tinggi di muara, semakin banyak perahu pengantar turis kandas.
Mabbarani mengelus dagu. Bola matanya berputar, lalu memicing. Sebagai tokoh masyarakat, dia mulai gamang.
Antara menyesali perubahan-perubahan yang ada atau membenarkan rencana pemerintah menjual sedimen di muara kota.
Antara menyusun rencana konservasi lahan di sepanjang sungai untuk disampaikan ke Pleno WKKWKK atau turun ke jalan bersama mahasiswa berdemo menolak jual beli sedimen.
Sebelum memutuskan apa yang dilakukannya, dia meng-klik gambar beko yang nangkring di sudut kanan atas.
Satu per satu informasi dimuntahkan Sang Tablet
“Milik NV Majoe Moendoer. bertahun 1969.”
“Satu beko wakaf, yang disimpan NV Majoe Moendoer untuk membantu warga mengeruk muara suatu ketika.”
“Beko ini lunglai dimakan usia, tak pernah digunakan. Tiada warga yang cakap operasikan.”
“Warga perumahan sudah 89 kali bikin proposal agar Pemerintah segera turun tangan. “
“Tak ada jawaban Pemerintah sementara serbuan sampah, limbah, residu semakin ofensif ke muara.”
“Warga samasekali belum pernah buat program swadaya pembersihan kanal, got, beranda pesisir sejak tahun 2020. Sejak perumahan ini dibangun.“
***
Untuk pembaca ketahui, setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Perayaan ini dicetuskan oleh negara Swedia yang mengusulkan ke PBB agar adanya hari mengenai lingkungan.
Pada tahun 1969, PBB menyutujui konferensi tentang lingkungan hidup yang diadakan di Swedia.
Mulai dari itu semua pejabat dunia mulai menyoroti lingkungan hidup dengan berkat adanya Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Untuk apa merayakannya? Demi meningkatkan kesadaran agar manusia mau melindungi lingkungan lingkungannya, hutan, tanah, airnya.
PBB pertama kali menetapkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tahun 1972.
Perayaan hari ini di Indonesia bermacam-macam. Mulai dari mengadakan seminar, perlombaan, kunjungan dan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Meski demikian, sampah masih berserakan di mana-mana, mulai dari hulu sungai hingga muara hati sejumlah pihak.
Selamat Hari Lingkungan Hidup 2 Juni 2023!
Tamarunang, 5/6