Unggul warisan sejarah dan budaya, modal menuju Gowa Geopark

  • Whatsapp
Khadijah Thahir Muda (tengah)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Khadijah Thahir Muda, tenaga ahli cagar budaya Kabupaten Gowa yang juga dosen di Dpeartemen Arkeologi FIB Unhas menilai semesta Gowa dulu, adalah yang juga telah membesarkan nama Makassar yang kita kenal saat ini.

“Hal itu perlu menjadi kesadaran bersama untuk dapat menjadi basis dalam mengedukasi masyarakat di Gowa termasuk Sulawesi Selatan,” sebut Khadijah saat menjadi pembicara pada FGD Inisiasi Geopark Gowa yang digelar Pemda Gowa bekerjasama IKA Unhas Sulawesi Selatan.

“Bahwa kita ada di Gowa, daerah yang punya sejarah internasional,” ucap Khadijah saat membawakan topik Arkeologi Peninggalan Keragaman Budaya dan Sejarah Gowa, di Baruga Karaeng Pattingngalloang, Kantor Bupati Gowa, 17/4/2023.

Read More

Khadijah adalah alumni S1 Arkeologi. 1990. Universitas Hasanuddin, S2 Antropologi. 2006. Universitas Hasanuddin dan S3 Arkeologi. 2018. Universitas Gadjah Mada.

Tinggalan periodik

Khadijah membagikan periodisasi arkeologi berdasarkan masa klasik, Islam, kolonial Belanda, Kolonial Jepang dan saat ini. Dari periodisasi ini lalu digambarkan dimensi sejarah dan tinggalannya.

Menurut dia telah ada rilis yang menyebutkan 40 daftar situs atau tinggalan sejarah yang saat ini berada di kabupaten Gowa.

Mulai dari Makam Anrong Guru Moloking, Kompleks Makam Karaeng Campagaya, bunker Limbung dan Bunker Jembatan Kembar.

Tinggalan masa Islam di Gowa (dok: istimewa)

Pada masa Klasik ada Batu Tallua. Disebutkan tentang Batu Pelantikan yang sangat berhubungan dengan lstana kerajaan nun lampau, karena setelah raja dilantik di atas batu in maka raja akan menempati istana yang berada tidak jauh dari batu pelantikan.

Di dalam benteng terdapat pula “batu tallua”, yan menurut legenda merupakan tempat berpijaknya Tomanurung sehingga disucikan oleh masyarakat setempat.

Selanjutnya ada “sumur lompowa” , batu mappadundung, sumur Tomanurung yang dipercaya untuk mendapatkan kekuatan bagi prajurit kerajaan.  Situs-situs ini juga berhubungan langsung dengan Kehidupan Raja-Raja yang berada di empat daerah permukiman.

Masa Klasik

Dia menyebut Benteng Garassi sebagai tinggalan yang bisa menjadi keunggulan Gowa menuju agenda Gowa Geopark dari sisi cultural heritage.

Asesoris tinggalan Benteng Garassi (dok: istimewa)

Benteng Garassi, menurut Khadijah merupakan tanah urukan hingga kedalaman 70 cm, warna tanah berubah menjadi merah kecoklatan dengan tekstur halus. Ditemukan rangka manusia dengan penutup penutup mata berwarna kuning keputihan ditemukan dalam kondisi yang utuh, berbentuk kacamata tipe daun dan tangkai penghubung penutup mata rata dengan tangkainya.

Hiasan pada kedua daun penutup mata tampak garis- garis yang menggambarkan urat daun dan di tengahnya terdapat lingkaran kecil. (Ruqayyah,2004)

Zaman Islam

Tinggalan lain adalah Masjid Katangka. Masjid Katangka ini didirikan pada Tahun 1603 oleh raja Gowa yang ke 14 yang bernama I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna Syaikh Yusuf Al-Makassari dilahirkan di Gowa-Tallo, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M.

Sejak kecil Syaikh Yusuf Al-Makassari diangkat sebagai anak oleh raja Gowa, yakni Sultan Alauddin.

Makam Sultan Hasanuddin.

Ini juga unik dan tak serupa makam lain di antero Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Sulawesi bagian selatan mengalami peristiwa penting dalam perjalanan sejarah dan politik di Sulawesi Selatan

Benteng Sonba Opu

Benteng Somba Opu dibangun dalam lima fase, dimulai pada abad ke XI4 pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna 1511-1547 hingga fase kelima pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddins ebagai Raja Gowa XVI 1653-1670.

Pada masa Kerajaan Gowa Tallo, Benteng Somba Opu berfungsi sebagai bandar niaga internasional dengan fungsi sebagai benteng pertahanan. Benteng Somba Opu menjadi pusat perdagangan internasional akibat jatuhnya Melaka di tangan Portugis pada tahun 1511, (Raditya, 2022: 6)

Khadijah menyebut, tterkait Perang Makassar, perang ini berlangsung cukup lama sehingga membuat kerugian terhadap kedua belah pihak yang bertikai.Hal ini membuat VOC dan Kerajaan Gowa akhirnya menandatangani perjanjian Bongayya pada tanggal 18 November 1667.

Perjanjian ini berisikan sepuluh butir yang dimana salah satu isinya adalah penghancuran semua Benteng Kerajaan milik Kerajaan Gowa-Tallo (Benteng Garassi, Barombong, Panakkukang, Bayoa, Mariso, Kale Gowa, Ana’ Gowa, Tallo, Sanrobone, Ujung Tana) kecuali Benteng Ujungpandang (Benteng Rotterdam) dan Benteng Somba Opu(Raditya,2022

Kolonial Jepang

Ditemukan banyak bunker di Parangbugisi. Bunker Meriam secara administratif berada di Lingkungan Buttatoa, Kelurahan Bulutana, Kecamatan Tinggimoncong Bunker ini berbentuk dasar lingkaran, diameternya 4,6 meter dan tingginya 1,8 meter. Kondisinya masih utuh.

Lalu ada meriam. Meriam tersebut memiliki panjang dari pangkal hingga ujung moncong 4,3 meter dan tinggi badan (stand meriam) 1,2 meter (Hakim, 2015; 74-77)

Pada zaman Jepang, Pulau Sulawesi beserta pulau-pulau lainnya dijalankan oleh Dai Ni Nankenkantai (Armada Selatan ke-2) yang dipimpin oleh Laksamana Maeda dengan kantor pusat di Kota Makassar (Oktorino, 2013: 43)

Namun pada akhirnya tentara Belanda menyerah dengan tentara Jepang dan menandatangani penyerahan daerah Sulawesi Selatan kepada Jepang, yaitu pada pertengahan bulan Februari 1942. Hal tersebut berarti secara de jure daerah Sulawesi Selatan secara keseluruhan sudah berada di bawah pemerintahan Jepang.

Saat itu kerajaan yang dipimpin oleh raja Gowa ke-35, I Mangngimangngi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin. Kemudian dari Makassar(10 Februari 1942), tentara Jepang mengerahkan pasukan infanteri dan kavalerinya menuju Kecamatan Tinggimoncong.  Setelah menduduki Kecamatan Tinggimoncong, tentara Jepang menjadikan Kota Malino sebagai komando pusat.

Salah satu perilaku Jepang masa Perang Dunia II adalah saat menduduki suatu daerah, fasilitas di daerah tersebut yang biasanya milik Belanda, digunakan kembali (dimanfaatkan).

“Potensi cagar budaya, untuk periodisasi Islam, ada 72 persen,  yang besar kedua adalah kolonial Jepang, lalu hanya 5 persen Belanda, disusul Klasik 3 persen,” katanya.

Dari hasil penelitian akadmeisi, di luar dari BRIN, ada lebih dari 40 situs yang ada di Gowa. “Kalau di Jogja, ada ungkatan hampir setiap langkah dicurigai ada situs, kalau di Sulsel, ini mirip,” katanya.

“Hampir setap langkah ada situs, karena kebesaran sejarah kabupaten Gowa. Pernah ada pada beberapa tahun 80-an sesuai penelitian kami transek dari Gowa sampai Takalar banyak sekali situs,” ujarnya.

Karena saking banyaknya, kata Khadijah hingga butuh waktu sampai setahun.

Tentang Benteng

Struktur Benteng Garassi di daerah Taeng.  Itu sangat unik, lalu ada Makam Syekc Yusuf, Makam Sultan Hasanuddin.  “Makam Sultan Hasanuddin sangat khas untuk konteks Indonesia,” katanya.

Selanjutnya adalah Benteng Kalegowa yang merupakan salah satu yang diratakan Belanda dan punya nilai khusus.

“Lalu Benteng Sompa Opu, sebagai salah satu dari 10 benteng yang diratakan oleh Belanda, sesudah perjanjian Bungaya,” imbuh Khadijah.

Terkait Benteng Somba Opu, Khadijah menyebut sebagai salah satu yang unik sebegai benteng sebab di luar batu bata dan di dalamnya ada tumpukan tanah.  Hal yang disebut disebabkan untuk meredam jika ada neriam.

Dia juga menyebut jejak-jejak permukiman orang atau pedagang internasional.

“Dan untuk benteng sendiir hanya dipakai oleh raja dan bangsawan, di sekitarnya ada rumah oraang Gurkha, loji Inggris, Belanda, di luar benteng Somba Opu,” tambahnya.

Selain ini ada beberapa benteng yaitu Benteng Ujung Pandang, Benteng Panakukang.

“Kenapa Somba Opu rata? Karena apda saat perjanjian Bungayya, mestinya dihentikan namun ada ketidakpuasan dari sebagian orang dan mereka berperang, dan mendapat serangan kembali dari Belanda, beberpaa kali benteng dihantam meriam, lalu Belanda berkegiatan di Fort Rotterdam,” katanya.

Seeblum mengakhiri paparannya, Khadijah menyebut bahwa ada banyak tinggalan sejarah atau produk budaya yang masih perlu didalami di Gowa. Meski demikian, dengan merujuk pada kurang lebih 40 situs di atas rasanya sudah lebih dari cukup untuk menegaskan bahwa Geopark Gowa dari sisi cultural heritage sangat layak dan patutu ditindaklanjuti.

 

Editor: K. Azis

Related posts