“Kalau ada yang mau bertanggungjawab terhadap masa depannya ini anak-anak kalau di DO, saya setuju mereka di-DO.”
Prof Laica Marzuki
PELAKITA.ID – Admin WAG Kolaborasi Alumni Unhas belum menuntaskan kisi-kisi dan substansi obrolan ‘Orang Wajo dan Determinasinya’ lalu mencuat obrolan seru hari ini, tentang betapa antengnya Unhas menjerat mahasiswa DO bahkan memidanakan pasca terbentuknya Satgas pimpinan Prof Amir Ilyas.
Padahal, pada momentum yang sama Majelis Wali Amanah Unhas yang baru saja terpilih menjadi gunjingan publik. Ada nama Prof dr Zulkifli, Prof Idrus Parurusi hingga Prof Dwia Arietina Pulubuhu jadi ranting cabang perbincangan.
Baca di sini.
Pendek cerita terkait MWA, ada yang menilai betapa semena-menanya Rektor Unhas, tentang diabaikannya garis relasi JK hingga sosok seperti Prof Dwia Ariestina Pulubuhu mantan Rektor Unhas tak masuk line up MWA periode baru. Yang terpilih sosok yang dianggap jauh dari tradisi selama ini, pembesar, pejabat non-dosen dan tokoh nasional.
Gonjang ganjing mencuat, terdengar sebagai gunjingan di bulan suci.
Jangan di-DO
Aksi tawuran dan pembelaan diri mahasiswa di lingkup Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan setelah merasa diserang oleh Fakultas Peternakan berbuntut panjang.
Tujuh orang mahasiswa tersangka, dipamer ke publik dengan baju tahanan, kepala digunduli, seperti membuka sejarah baru bahwa mahasiswa yang dicokok dalam kampus bisa dengan mudah jadi pesakitan.
“Betapa tegas dan cepatnya aksi Satgas pasca perkelahian antara FIKP dan Peternakan dua pekan lalu,” sebut Kamaruddin Azis, admin WAG Kolaborasi Alumni Unhas.
Dia juga menyebut sangat tidak setuju dengan ancaman DO dan terungku untuk adik-adik mahasiswa itu. Apalagi setelah tersiar kabar bahwa awal mula tawuran itu karena ada provokasi dan indikasi mahasiswa yang minum-mnuman keras dalam kampus.
Perbincangan tentang mahasiswa yang di-DO dan dipidanakan itu bermula dari potret organisasi kampus dan bagaimana organisasi daerah atau Organda dibawa-bawa ke ranah kampus yang oleh Ode Sukirman disebut sebagai persoalan sebab bisa saja membawa-bawa almamater lain masuk ke Unhas.
“Hilang marwahnya itu UNHAS kalau mahasiswa-mahasiswa kampus lain masuk Unhas demi membela atau membawa nama-nama Organda,” cetus Ode yang juga alumni FMIPA Unhas ini.
Dia juga mengaku tidak setuju kawan-kawan mahasiswa di-DO.
“Dulu ada Prof Laica Marzuki yang bela mahasiswa di Komdis Universitas kalau mau di-DO. Beliau bilang, kalau ada yang mau bertanggungjawab terhadap masa depannya ini anak-anak kalau di DO, saya setuju mereka di-DO,” ucap Laica saat itu.
Mengapa tawuran
M Zulficar Mochtar, alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 90 yang pernah menjadi Dirjen Perikanan Tangkap KKP menilai kampus-kampus ternama Indonesia, apalagi di luar negeri, sudah lama tidak ada kasus tawuran fisik.
“Sudah lebih dewasa dan bergeser jauh orientasinya. Mereka sudah bergeser ke persaingan hobby, bakat, penemuan, karya, dan lain sebagainya,” tanggap pria yang akrab disapa Vicar itu.
Menurutnya, tawuran yang terjadi di Akrokompleks Unhas antara Fakultas Peternakan dan FIKP itu bisa jadi adalah sebuah penyakit. “Bisa juga kejar eksistensi, tapi bisa juga kasus biasa atau insidentil yang membesar,” tambahnya.
Dia menjelaskan kalau alasan ketiga, sepertinya bisa diselesaikan dengan cara biasa. Akarnya tidak dalam, terjadi seketika. Semua pihak pasti menyesali.
“Kalau alasan kedua sepertinya perlu rekayasa dari kampus, agar mahasiswa yang kurang kerjaan dan kelebihan energi bisa disalurkan melalui berbagai jurus. Olahraga, organisasi, study banding, diskusi berjilid, berbagai lomba, field trip, dan lain-lain, mungkin bisa mengurangi,” sarannya.
Sementara untuk alasan pertama, menurut Vicar memang berat. Perlu disembuhkan segera. “Agar tidak menjalar dan merusak lebih jauh. Iklim akademik harus terjaga,” pesannya.
“Yang pasti, baik yang pertama, kedua dan ketiga, memang butuh jurus penanganan yang jeli,” tegasnya.
Dia juga menilai, andai saja Kampus Unhas ada di Jakarta atau kota-kota besar di Jawa, dia yakin tidak bakal banyak tawuran.
“Kampus-kampus di Jawa, apalagi di PTN/S utama, sibuk bikin banyak kegiatan, inovasi, dan lain-lain. Interaksi dengan masyarakat juga luas. Peluang kerja dan peluang lainnya juga sangat besar. Orang bakal terdesak untuk lebih terukur,” tambahnya.
“Demo besar-besar juga, sebelum magrib sudah bubar. Mereka kuatir disusupi. Mahasiswa menjadi lebih dewasa. Karena kondisi memaksa begitu,” ujarnya.
Di Jawa, yang tawuran dan jadi begal adalah anak SMP dan SMA yang baru masuk. SMA tahap akhir kelas 2 apalagi 3 bahkan sudah geser ke orientasi lebih jauh. Mereka siap-siap masuk dunia kerja atau lainnya.
Penyederhanaan solusi?
Hal senada disampaikan Nurdin Amir. Dia menilai bergampangan men-DO tampaknya merupakan penyerderhanaan saja dari mereka yang tidak mau mengurusi beberapa permasalahan.
Dia setuju dengan anggapan M Zulficar Mochtar bahwa tawuran yang terjadi selama ini bisa jadi adalah pertama sebagai penyakit, bisa juga sebagai kejar eksistensi, tapi bisa juga kasus biasa/insidentil yang membesar.
“Tiga akar itu yang tidak serabut bukan juga tunggang. Mungkin juga hanya akar angin!” timpal Nurdin.
Dia menegaskan bahwa tawuran di Unhas itu tidak bisa dilihat dari satu aspek saja.
“Tawuran kan ada pemicunya, nah di situ yang harus di dalami dulu. Kedua, bagaimana interaksi pendidik dengan mahasiswa, kampus jadi pabrik pekerja atau melahirkan intelektual. Jangan-jangan mahasiswanya sudah tdk dekat lagi sama dosennya, atau birokratnya atau elit,” sebut Nurdin.
Berita mahasiswa tawuran, serangan balik, penangkapan oleh Polrestabes dan adanya Satgas dinilai Ostaf Al Mustafa sebagai lambat responnya Rektor Unhas menengahi persoalan sedari awal.
“Padahal dalam urusan belalai dan gading, itu harus diserahkan pada gajah yang terbesar, masak kita para pelanduk yang harus turun tangan menaiki Menara Gading itu,” ujarnya terkait masuknya aparat penegak hukum ke kampus.
Bagi dia, teramat cepat men- DO. Dengan berseloroh, dia menyatakan memang kesalahan yang tidak baik bagi mereka para laki yakni melakukan perkelahian tidak imbang atau pengeroyokan.
“Padahal kan bisa dibuat ring khusus untuk menuntaskan amarah dari kepalan tinju.”
Pisahkan Organda dan organisasi kemahasiswaan fakultas
Ostaf melontarkan ide, bisakah dilakukan mahkamah virtual yakni mereka diberikan kesempatan mengatakan mengapa mereka tawuran.
“Mungkin mereka bisa saja menjawab dengan berbohong, tetapi setidaknya anak-anak itu suatu ketika akan dipermalukan sendiri oleh kebohongannya. Pada suatu masa ketika kebohongan tidak semassif sekarang, mungkin itu terjadi,” tambah Ostaf.
Dia pun menengarai ada persinggungan antara organisasi mahasiswa dan Organda itu. “Memang ada tokoh-tokoh organda yang memanfaatkan keberaniannya di arena tarung yang beda, seperti rakyat tergusur mereka bantu dengan semangat bara botol bersumbu dan sejenisnya,” lanjutnya.
“Pokoknya janganlah di-DO, beri kesempatan seorang professor untuk menjadi penjamin atau bahkan sudah lebih dari cukup bila ada yang mampu berkata seperti Prof Laica,” tanggap Ostaf.
Dia menyampaikan itu sembari megutip Prof Laica Marzuki. “
Jadi memang jangan menggampang-gampangkan DO, apalagi pernyataan Prof. Laica yang amat tinggi moral kemanusiaannya. Anak-anak itu tidak berbahaya secara moral dan akhlak karena pasti ada metode untuk perbaikan sikap,” imbuhnya.
“Kita harusnya punya serial Kitab Tawuran atau Buku Kelahi di Unhas yang berisi tentang siapa dan apa juga bagaimana mereka demikian. Juga berisi besaran kerugian materi dan inmateri suatu fakultas atau Unhas secara keseluruhan atas kelakuan mereka,” sebut Ostaf.
Dia mencontohkan bagaimana alumni dari Fakultas Hukum dulu ditahan atau di DO karena membakar sesuatu dan kemudian bekerja di bagian hukum Kantor Bupati Gowa. Secara personal, orangnya baik dalam pergaulan. “Ketidakdekatan perlu dipastikan jadi harus ada pertanyaan investigatif ke mereka, bukan asal DO saja,” sebut Ostaf.
Apa yang disampaikan Vicar dan tanggapan alumni Unhas di atas oleh Syamsir Anchi harus disampaikan ke otoritas kampus, ke Reltor.
“Itu model solusi, sayang jika tidak tersampaikan.atau jangan-jangan boleh jadi ada yang rekayasa chaos, biar ‘naik’ lagi namanya Unhas,” pungkas Anchi.
Editor: K. Azis